32 C
Medan
Friday, June 28, 2024

Jangan Cuma Ngomong, tapi Buktikan

istimewa
WAWANCARA: Hakim Adhoc PN Medan Merry Purba menjawab wartawan di gedung KPK, Rabu (5/9).

MEDAN- Hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Medan, Merry Purba merasa dizalimi dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK, 28 Agustus lalu. Ia mengklaim kalau dirinya sengaja ditumbalkan oleh pihak tertentu dalam kasus tersebut.

Dalam pengakuannya kepada wartawan usai diperiksa KPK, Rabu (5/9) lalu, ia tak pernah menerima uang sepeser pun terkait perkara Tamin Sukardi yang ditanganinya. Bahkan, kata Merry, uang yang ditemukan di ruang kerjanya merupakan uang yang sengaja diletakan oleh seseorang.

Menyahuti pengakuan Merry Purba ini, Ketua PN Medan Dr Djaniko Girsang yang baru dilantik menggantikan Marsuddin Nainggolan mengatakan, penyidik KPK yang menangani perkara tersebut pastinya bekerja profsional. Lagipula, proses hukum tidak bisa diintervensi oleh siapapun.

Namun begitu, Djaniko berharap, curahan hati yang disampaikan Merry kepada wartawan kemarin, bisa didengar penyidik KPK sehingga menjadi bahan masukan dalam mengungkap kasus tersebut. “ Penyidik (KPK) sudah melakukan penyidikan, mereka kan sudah memiliki hukum-hukum penyidikan sendiri. Tapi itu tadi, patut pula didengar keluhan-keluhan yang beliau (Merry Purba) berikan. Itu patut didengar,” kata Djaniko kepada Sumut Pos, Kamis (6/9).

Sementara, pengamat hukum Abdul Hakim Siagian menilai, Hakim Merry Purba harusnya tidak cuma mengaku sebagai korban. Tapi juga harus mampu mengungkapkannya dengan bukti dan fakta-fakta yang ada. “Jadi, kalau lah dia korban, dia kan hakim yang memeriksa fakta, fenomena korupsi dan menjatuhkan hukuman. Justru itu, bukan statement yang dibutuhkan. Kalau dia ngomong begitu tak bisa membuktikan, dia justru menambah masalah baru,” kata Abdul Hakim.

Ia juga mempertanyakan sikap hakim Merry yang tidak dari awal menyebut kalau dia menjadi korban dalam kasus tersebut. “Inilah fenomena puncak gunung es. Yang kita tangkap dari bahasa dikorbankan, berarti kan ada pemain, ada sutradara atau ada mungkin stuntman di situ.

Kemarin dia bilang tidak tahu kasus apa melibatkan dirinya. Jadi, dari analisis kita, bukan berarti kita berprasangka buruk dengan dia, maka baiknya dia terbuka saja menceritakan agar kasus ini terang benderang. Karena sekali lagi kalau dia tidak bisa membuktikan, atau menunjukkan fakta, bahwa dia sebagai korban ini akan memperburuk posisi dia,” paparnya lagi.

Selanjutnya, kata Abdul Hakim, ada beberapa indikator pernyataan Merry soal dissenting opinion pada sidang vonis Tamin Sukardi, inilah yang menjadi rangkaian yang sudah dikumpulkan oleh KPK. “Kemudian, penyadapan yang digunakan KPK itu pasti sudah tersusun rapi. Jadi menariknya lagi, Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan sudah dibawa ke Jakarta, kemudian dilepas hanya sebagai saksi. Dan oleh MA dia dicopot dan tidak jadi lanjut promosinya. Dan dia menerima yang dibikin oleh MA. Pertanyaannya, kalau dia tidak terlibat, apa mungkin dia diam saja?” terangnya.

Menurutnya bila nanti dalam perjalanan penyidikan kasusnya KPK bisa membuktikan sejumlah penegak hukum yang tersangkut OTT kemarin bersalah, hukuman yang mereka terima perlu ditambahkan sepertiganya, karena mereka aparat penegak hukum. “Kemudian lagi, perlu dikenakan pasal pencucian uang,” sebutnya.

Selanjutnya dia berharap KPK tidak terkesan kejar tayang dalam menangkap para mafia peradilan. “Siapa yang tidak tahu Tamin Sukardi? Saya rasa sudah menjadi rahasia umum siapa Tamin Sukardi. Begitu dekatnya dia dengan aparat penegak hukum. Sejak kapan dia mulai ‘bermain’ dengan hukum? Kemudian, apakah cuma Tamin Sukardi saja yang begitu? Makanya saya dukung kerja KPK dalam memberantas korupsi dengan cara yang tidak biasa, karena korupsi di negara ini sudah luar biasa. Tapi saya berharap jangan kejar tayang, seakan-akan kan begitu. Artinya semua pemain mafia hukum ditangkap,” pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya, Merry Purba yang menjadi anggota majelis hakim perkara Tamin merasa ada sesuatu di balik penetapan tersangka dirinya. Dia berkilah tak mengerti soal uang dari Tamin. “Saya enggak tahu ini semua. Tolong berkata jujur, jangan korbankan, mentang-mentang saya ini hakim ad hoc, tidak ada pembela di Mahkamah Agung,” katanya.

Merry juga mengatakan, pihak yang ditangkap tangan oleh KPK adalah panitera pengganti PN Medan Helpandi. Dia mengklaim dijebak sehingga seakan-akan ikut menerima uang suap dari Direktur PT Erni Putra Terari, Tamin Sukardi.

Ia mengaku tak pernah menerima uang sepeser pun terkait perkara Tamin yang ditanganinya itu. Bahkan, kata Merry, uang yang ditemukan di ruang kerjanya merupakan uang yang sengaja diletakan oleh seseorang. “Kalau pun ada keberadaan uang di meja saya, kata mereka ya, saya tidak tahu. Meja saya itu selalu terbuka, dan tidak pernah tertutup dan saya tidak pernah menerima apapun,” ujarnya.

“Makanya saya berkesimpulan, mohon supaya diambil sidik jari siapa yang menerima uang itu dan siapa yang menempatkan uang itu di meja saya,” kata Merry melanjutkan.

Merry pun meminta kepada Marsuddin Nainggolan dan Wahyu Prasetyo Wibowo untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. Dia kembali menegaskan tak mengetahui perkara suap yang menjerat dirinya tersebut. “Saya bukan pemain, saya tidak tahu apa ini semua, coba berpikirlah,” tuturnya.

Lebih lanjut, Merry meminta maaf kepada MA, keluarga, kerabat serta seluruh masyarakat Indonesia atas kejadian yang menjeratnya. Menurutnya, keluarga hingga seluruh masyarakat sudah mengetahui bahwa dirinya ditangkap oleh KPK.

Diketahui, Merry merupakan satu dari empat tersangka kasus suap terhadap PN Medan yang tengah ditangani KPK. Empat tersangka itu yakni, Helpandi, Merry Purba, Tamin Sukardi selaku pihak swasta, dan Hadi Setiawan yang merupakan orang kepercayaan Tamin.

Merry diduga menerima uang sebesar 280 ribu dolar Singapura dari Tamin. Uang suap tersebut diberikan secara dua tahap melalui dua orang perantara. Pemberian tahap pertama dilakukan pada 24 Agustus 2018 di Hotel JW Marriot Medan sebesar 150 ribu dolar Singapura melalui perantara Helpandi dan Hadi Setiawan.

Kemudian, untuk pemberian kedua sebesar 130 ribu dolar Singapura yang diduga akan diberikan kepada Merry oleh Helpandi pada 28 Agustus 2018 di PN Medan. Namun, saat sedang transaksi, KPK keburu melakukan OTT.

KPK menduga uang tersebut diberikan oleh Tamin kepada Merry untuk mempengaruhi putusan perkara kasus korupsi penjualan tanah berstatus aset negara yang menjerat Tamin. Karena dalam putusan yang dibacakan pada 27 Agustus 2018, Merry berpendapat, dakwaan tidak terbukti sehingga majelis hakim berbeda pendapat (dissenting opinion).

Dan Tamin divonis 6 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan dan uang pengganti Rp 132 miliar. Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa yakni 10 tahun pidana penjara dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan dan uang pengganti Rp132 miliar. (dvs)

istimewa
WAWANCARA: Hakim Adhoc PN Medan Merry Purba menjawab wartawan di gedung KPK, Rabu (5/9).

MEDAN- Hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Medan, Merry Purba merasa dizalimi dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK, 28 Agustus lalu. Ia mengklaim kalau dirinya sengaja ditumbalkan oleh pihak tertentu dalam kasus tersebut.

Dalam pengakuannya kepada wartawan usai diperiksa KPK, Rabu (5/9) lalu, ia tak pernah menerima uang sepeser pun terkait perkara Tamin Sukardi yang ditanganinya. Bahkan, kata Merry, uang yang ditemukan di ruang kerjanya merupakan uang yang sengaja diletakan oleh seseorang.

Menyahuti pengakuan Merry Purba ini, Ketua PN Medan Dr Djaniko Girsang yang baru dilantik menggantikan Marsuddin Nainggolan mengatakan, penyidik KPK yang menangani perkara tersebut pastinya bekerja profsional. Lagipula, proses hukum tidak bisa diintervensi oleh siapapun.

Namun begitu, Djaniko berharap, curahan hati yang disampaikan Merry kepada wartawan kemarin, bisa didengar penyidik KPK sehingga menjadi bahan masukan dalam mengungkap kasus tersebut. “ Penyidik (KPK) sudah melakukan penyidikan, mereka kan sudah memiliki hukum-hukum penyidikan sendiri. Tapi itu tadi, patut pula didengar keluhan-keluhan yang beliau (Merry Purba) berikan. Itu patut didengar,” kata Djaniko kepada Sumut Pos, Kamis (6/9).

Sementara, pengamat hukum Abdul Hakim Siagian menilai, Hakim Merry Purba harusnya tidak cuma mengaku sebagai korban. Tapi juga harus mampu mengungkapkannya dengan bukti dan fakta-fakta yang ada. “Jadi, kalau lah dia korban, dia kan hakim yang memeriksa fakta, fenomena korupsi dan menjatuhkan hukuman. Justru itu, bukan statement yang dibutuhkan. Kalau dia ngomong begitu tak bisa membuktikan, dia justru menambah masalah baru,” kata Abdul Hakim.

Ia juga mempertanyakan sikap hakim Merry yang tidak dari awal menyebut kalau dia menjadi korban dalam kasus tersebut. “Inilah fenomena puncak gunung es. Yang kita tangkap dari bahasa dikorbankan, berarti kan ada pemain, ada sutradara atau ada mungkin stuntman di situ.

Kemarin dia bilang tidak tahu kasus apa melibatkan dirinya. Jadi, dari analisis kita, bukan berarti kita berprasangka buruk dengan dia, maka baiknya dia terbuka saja menceritakan agar kasus ini terang benderang. Karena sekali lagi kalau dia tidak bisa membuktikan, atau menunjukkan fakta, bahwa dia sebagai korban ini akan memperburuk posisi dia,” paparnya lagi.

Selanjutnya, kata Abdul Hakim, ada beberapa indikator pernyataan Merry soal dissenting opinion pada sidang vonis Tamin Sukardi, inilah yang menjadi rangkaian yang sudah dikumpulkan oleh KPK. “Kemudian, penyadapan yang digunakan KPK itu pasti sudah tersusun rapi. Jadi menariknya lagi, Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan sudah dibawa ke Jakarta, kemudian dilepas hanya sebagai saksi. Dan oleh MA dia dicopot dan tidak jadi lanjut promosinya. Dan dia menerima yang dibikin oleh MA. Pertanyaannya, kalau dia tidak terlibat, apa mungkin dia diam saja?” terangnya.

Menurutnya bila nanti dalam perjalanan penyidikan kasusnya KPK bisa membuktikan sejumlah penegak hukum yang tersangkut OTT kemarin bersalah, hukuman yang mereka terima perlu ditambahkan sepertiganya, karena mereka aparat penegak hukum. “Kemudian lagi, perlu dikenakan pasal pencucian uang,” sebutnya.

Selanjutnya dia berharap KPK tidak terkesan kejar tayang dalam menangkap para mafia peradilan. “Siapa yang tidak tahu Tamin Sukardi? Saya rasa sudah menjadi rahasia umum siapa Tamin Sukardi. Begitu dekatnya dia dengan aparat penegak hukum. Sejak kapan dia mulai ‘bermain’ dengan hukum? Kemudian, apakah cuma Tamin Sukardi saja yang begitu? Makanya saya dukung kerja KPK dalam memberantas korupsi dengan cara yang tidak biasa, karena korupsi di negara ini sudah luar biasa. Tapi saya berharap jangan kejar tayang, seakan-akan kan begitu. Artinya semua pemain mafia hukum ditangkap,” pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya, Merry Purba yang menjadi anggota majelis hakim perkara Tamin merasa ada sesuatu di balik penetapan tersangka dirinya. Dia berkilah tak mengerti soal uang dari Tamin. “Saya enggak tahu ini semua. Tolong berkata jujur, jangan korbankan, mentang-mentang saya ini hakim ad hoc, tidak ada pembela di Mahkamah Agung,” katanya.

Merry juga mengatakan, pihak yang ditangkap tangan oleh KPK adalah panitera pengganti PN Medan Helpandi. Dia mengklaim dijebak sehingga seakan-akan ikut menerima uang suap dari Direktur PT Erni Putra Terari, Tamin Sukardi.

Ia mengaku tak pernah menerima uang sepeser pun terkait perkara Tamin yang ditanganinya itu. Bahkan, kata Merry, uang yang ditemukan di ruang kerjanya merupakan uang yang sengaja diletakan oleh seseorang. “Kalau pun ada keberadaan uang di meja saya, kata mereka ya, saya tidak tahu. Meja saya itu selalu terbuka, dan tidak pernah tertutup dan saya tidak pernah menerima apapun,” ujarnya.

“Makanya saya berkesimpulan, mohon supaya diambil sidik jari siapa yang menerima uang itu dan siapa yang menempatkan uang itu di meja saya,” kata Merry melanjutkan.

Merry pun meminta kepada Marsuddin Nainggolan dan Wahyu Prasetyo Wibowo untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. Dia kembali menegaskan tak mengetahui perkara suap yang menjerat dirinya tersebut. “Saya bukan pemain, saya tidak tahu apa ini semua, coba berpikirlah,” tuturnya.

Lebih lanjut, Merry meminta maaf kepada MA, keluarga, kerabat serta seluruh masyarakat Indonesia atas kejadian yang menjeratnya. Menurutnya, keluarga hingga seluruh masyarakat sudah mengetahui bahwa dirinya ditangkap oleh KPK.

Diketahui, Merry merupakan satu dari empat tersangka kasus suap terhadap PN Medan yang tengah ditangani KPK. Empat tersangka itu yakni, Helpandi, Merry Purba, Tamin Sukardi selaku pihak swasta, dan Hadi Setiawan yang merupakan orang kepercayaan Tamin.

Merry diduga menerima uang sebesar 280 ribu dolar Singapura dari Tamin. Uang suap tersebut diberikan secara dua tahap melalui dua orang perantara. Pemberian tahap pertama dilakukan pada 24 Agustus 2018 di Hotel JW Marriot Medan sebesar 150 ribu dolar Singapura melalui perantara Helpandi dan Hadi Setiawan.

Kemudian, untuk pemberian kedua sebesar 130 ribu dolar Singapura yang diduga akan diberikan kepada Merry oleh Helpandi pada 28 Agustus 2018 di PN Medan. Namun, saat sedang transaksi, KPK keburu melakukan OTT.

KPK menduga uang tersebut diberikan oleh Tamin kepada Merry untuk mempengaruhi putusan perkara kasus korupsi penjualan tanah berstatus aset negara yang menjerat Tamin. Karena dalam putusan yang dibacakan pada 27 Agustus 2018, Merry berpendapat, dakwaan tidak terbukti sehingga majelis hakim berbeda pendapat (dissenting opinion).

Dan Tamin divonis 6 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan dan uang pengganti Rp 132 miliar. Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa yakni 10 tahun pidana penjara dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan dan uang pengganti Rp132 miliar. (dvs)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/