MEDAN-Pemerintah Kota Medan menegaskan setiap pedagang buku tidak boleh memiliki lebih dari satu kios. Dengan demikian, jumlah 180 kios yang telah disediakan pemko untuk pedagang buku dapat terbagi rata semua.
Wakil Wali Kota Medan Akhyar Nasution mengatakan, dari data yang ia peroleh, setiap pedagang ada yang punya lima sampai tujuh kios. Dari data itu, kios tersebut dibagikan untuk sanak saudara mereka seperti istri dan anak. “Kalau seperti ini bagaimana kita mengatur mereka. Aturannya kan satu pedagang punya satu kios,” katanya kepada Sumut Pos, Selasa (6/12).
Akhyar menjelaskan, pada prinsipnya Pemko Medan melalui Dinas Perumahan dan Pemukiman telah menyediakan 180 kios di sisi timur Lapangan Merdeka. Kios-kios tersebut dibangun sesuai data resmi pedagang.
“Maunya antara mereka itu berdamailah. Bicarakan dulu bagaimana baiknya. Karena penambahan 64 kios itu tidak mungkin pemko lakukan. Mau di mana dibangun lagi coba? Tunjukkan sama kami. Kan tidak mungkin Lapangan Merdeka itu habis untuk mereka,” kata Akhyar.
Alasan pemko yang belum mengeluarkan surat perjanjian pemakaian kios hingga kini, disebabkan menunggu data dari kelompok pedagang lainnya, yakni Asosisasi Pedagang Buku Lapangan Merdeka (Aspeblam). “Kita tidak mau nanti setelah terima surat, terus itu yang diperjualbelikan. Inikan pola-pola lama. Sementara kios itukan punya pemko, jadi harus ada serah terima terlebih dahulu. Masuk dulu ke sana lalu sama-sama kita verifikasi,” jelas mantan anggota DPRD Medan ini.
Sebelumnya, pedagang buku bekas yang tergabung dalam Persatuan Pedagang Buku Lapangan Merdeka (P2BLM) meminta dilakukan sistem undian ulang pemakaian kios di sisi timur. P2BLM mengklaim, sejak penggusuran 2013 silam pihaknya yang memperjuangkan revitalisasi lapak pedagang buku. “Hal ini wajar dilakukan karena sistem pemakaian kios pada peruntukkan yang baru,” kata
Ketua P2BLM Nelson Marpaung saat ditemui Sumut Pos di sisi timur Lapangan Merdeka, baru-baru ini.
Pihaknya juga telah memberikan data nama-nama pedagang buku resmi kepada Pemko Medan. Di mana sesuai kesepakatan yang dibangun 2015 lalu, yang difasilitas Komnas HAM, minta penambahan 64 kios. Namun alasan yang menguatkan kenapa sistem kocok ulang pemakaian kios dilakukan. Sebab surat keputusan mengenai perjanjian pinjam pakai pada 2003 dianggap sudah gugur.
“Logikanya begini, mereka mengklaim harus ada SK seperti saat berjualan di tempat lama, sedangkan di bangunan sekarang sudah berubah. Harusnya kan SK itu diikuti dengan bangunan yang ada saat ini. Dan itu (SK) lama sudah dianggap gugur,” jelasnya.