MEDAN, SUMUTPOS.CO – Ahmed, 30, kehilangan ayah dan saudaranya dalam konflik bersenjata di Somalia. “Hidup tidak mungkin di Somalia,” katanya.
Karena itulah dia memutuskan untuk pergi sejauh 11.000 kilometer untuk mencari hidup yang lebih baik.
Ketika dia bertemu seseorang yang berjanji bisa membawanya ke Australia, dia setuju untuk membayar US$4.000 (Rp49 juta) dan terbang dari Ethiopia ke Malaysia. Dia tinggal selama beberapa hari di Kuala Lumpur, Malaysia.
Satu hari, sekitar tengah malam, dia dan dua pria Somalia lain dibawa ke sebuah perahu yang dia kira akan membawa mereka ke Australia.
Namun ketika perahu mencapai pinggir pantai, mereka ditinggalkan oleh pria yang mereka bayar. Kemudian, barulah dia tahu bahwa dia tidak tiba di Australia, tetapi Indonesia.
Kisah Ahmed adalah satu dari ribuan kisah laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang memadati pusat detensi imigrasi di seluruh Indonesia.
Ada sekitar 10.000 pencari suaka di Indonesia, kebanyakan berasal dari negara Asia, Timur Tengah, dan Afrika, yang ingin mencari hidup baru di Australia.
Namun pemerintah Australia tidak menginginkan mereka. Sejak pertengahan 2013, pemerintahan baru telah menerapkan kebijakan ketat untuk menghalangi upaya mereka.
Kapal-kapal yang memuat pencari suaka ditolak dan siapa pun yang bisa mencapai Australia akan ditahan di kamp-kamp lepas pantai.
Bahkan jika mereka adalah pengungsi, mereka tidak akan dizinkan bermukim di Australia, kata pemerintah mereka.
Terlalu penuh
Ahmed kini menghuni pusat detensi imigrasi di Medan. Rumah detensi memiliki kapasitas 150, namun saat ini hampir 400 orang tinggal di sana, termasuk puluhan anak-anak, sebagian masih berusia satu tahun.
“Ini merupakan beban bagi kami,” kata Purba Sinaga, Kepala Detensi Imigrasi Medan kepada wartawan BBC Alice Budisatrijo.
“Semua pusat detensi di Indonesia lebih dari kapasitas.”
Ia mengatakan bangunan itu tidak dirancang untuk menyediakan akomodasi jangka panjang. Ini menjelaskan kurangnya fasilitas dasar seperti kamar tidur.
Bau keringat dan urin terasa menyengat di hidung. Bagian tengah bangunan, yang berfungsi sebagai ruang makan, secara teratur tergenang banjir.
Para pencari suaka mengatakan perkelahian sering terjadi karena ketegangan etnis, masalah personal atau hanya karena frustrasi.
Dalam satu ruangan dekat kantor petugas imigrasi, sekitar belasan anak-anak berdesakan untuk belajar. Gurunya juga pencari suaka yang tinggal di rumah detensi itu.
Usia anak-anak ini berkisar lima tahun hingga belasan tahun, tapi semua belajar hal yang sama – yaitu menggambar dan berbicara tentang awan dan pepohonan.
Tak ingin pulang
Kebanyakan imigran penghuni rumah detensi di Medan adalah warga Somalia. Mereka mengatakan mereka melarikan diri negara itu karena perang saudara dan kelompok ekstremis al-Shabab.
Aydarus Mohamed, 26, mengatakan al-Shabab membunuh orang tuanya dan kakaknya. “Saya ingin pergi ke negara manapun, Amerika, Australia, negara manapun. Saya tidak bisa hidup di Somalia. Saya tidak bisa kembali ke Somalia,” pintanya.
Aydarus dan adiknya Mahamud Mohamed telah disertifikasi sebagai pengungsi oleh UNHCR, namun tidak ada kejelasan kapan mereka akan ditempatkan di negara lain.
Para pencari suaka harus hidup dalam kondisi sempit, karena pusat detensi terlalu penuh.
Sebagian orang menceritakan bagaimana hidupnya terancam, namun sejumlah orang lain mengaku mereka mencari kehidupan yang lebih baik.
Pencari suaka yang hanya bermotif ekonomi seperti inilah yang ingin dihalangi oleh Australia dengan sejumlah kebijakan-kebijakan kerasnya.
Indonesia, bagaimanapun, tidak senang dengan sikap Australia.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Michael Tene mengatakan, Indonesia menyesalkan “keputusan sepihak oleh Australia”.
Dia mengatakan sikap itu berlawanan “dengan semangat kerjasama dan kolaborasi” antar dua negara. (BBC)