28.9 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

Dari Bogor Butuh 18 Jam Sampai di Medan

Mayor Penerbang Sonny, Pilot Helikopter Basarnas untuk Pemprovsu

Hidup berpindah-pindah dan meninggalkan keluarga memang sudah menjadi risiko prajurit. Seperti yang dialami Mayor Penerbang (Pnb) Sonny, gara-gara helikopter milik Badan SAR Nasional (Basarnas) berpindah tangan ke Pemprovsu, dia pun harus tinggal di Medan selama sebulan.

Ari Sisworo, Medan

Kehadiran Sonny di Medan diawali oleh kesepakatan yang dibuat Pelaksana Tugas (Plt) Gubsu Gatot Pujo Nugroho dengan Basarnas. Dari kesepakatan itu, Pemprovsu mendapatkan sebuah helikopter Bo-105 No Registrasi HR 1519 buatan Jerman sebagai sarana pendukung manakala terjadi bencana di wilayah Sumut.

Masalahnya, helikopter tak mungkin terbng tanpa awaknya. Nah, untuk itulah Sonny hadir di Medan. Selain Sonny, co pilot Lettu Pnb Boy Nanang, engineer Peltu Asep DH, dan avionic Sertu Hadi P juga turut hadir. Mereka berempat berasal dari Lapangan Udara (Lanud) Atang Senjaya, Bogor.

Sonny ketika ditemui Sumut Pos di Mess Pemprovsu, Jalan T Daud Medan, Jumat (6/1), sekira pukul 16.00 WIBn

terlihat segar bugar. Berbalut kaus warna hijau yang sering dikenakan tentara dan celana ponggol jins warna biru dongker, Sonny ramah menyambut. Pria kelahiran Cepu, Jawa Tengah, 26 Mei 1977 silam ini pun langsung mempersilahkan Sumut Pos untuk duduk di kursi yang tersedia di depan kamarnya.
“Ooh, silahkan mas,” sambutnya.

Pelan namun pasti, perbincangan mulai dibuka. Berawal dari kedatangannya dengan menerbangkan heli Basarnas dari Bogor ke Medan, hingga sedikit pengalamannya menerobos angkasa dari satu daerah ke daerah lainnya di Indonesia.
Suami Dwi Handayani (31) dan ayah dari Sekar Arum Kinanti (9) dan Bagas Arya Sena (6) tahun ini bertutur, untuk menerbangkan heli dari Bogor ke Medan ini, dibutuhkan waktu terbang selama lebih kurang 18 jam 15 menit.
“Itu untuk waktu terbangnya. Tapi, dari Bogor ke Medan, kami sempat transit selama empat kali. Satu kali transit sekitar 30 menit,” ungkapnya.

Empat daerah yang menjadi transit ke empat awak heli Basarnas tersebut yakni di Bandara Tanjung Karang, Lampung. Kemudian, Bandara Sultan Mahmud Badaruddin (Palembang), Bandara Sultan Taha (Jambi), dan terakhir di Bandara Sultan Syarif Kasim (Pekanbaru).

Dalam penerbangan dari Bogor ke Medan, tidak serta merta tanpa hambatan. Untungnya, hambatan yang ada tidak terlalu berisiko, sehingga keempat awak bisa sampai ke Bandara Polonia Medan, pada Kamis (5/1) lalu dengan selamat. Menurutnya, kawasan yang relatif menjadi hambatan yakni penerbangan Jambi-Pekanbaru dan Pekanbaru-Medan.
Untuk rute ini, mereka mesti berjibaku dengan kabut asap yang relatif tebal. “Ya, karena ada kebakaran hutan,” urai pria yang telah memiliki jam terbang selama 1.800 jam tersebut.

Pembicaraan mulai melantur ke secuplik manfaat heli tersebut. Heli buatan Jerman itu, memiliki daya tampung untuk lima orang. Empat awak dan satu penumpang. Jika digunakan untuk kondisi bencana, heli tersebut bisa diawaki dua orang saja dan tiga korban.

“Kalau beban yang bisa diangkut, antara 600-800 kilogram,” beber pria yang telah beberapa kali menginjakkan kakinya di Sumut dan terakhir saat evakuasi korban pesawat Cassa yang jatuh di Bahorok, Langkat beberapa waktu lalu itu.

Kelebihan Heli tersebut, tuturnya, memiliki kemampuan hoisting (pengambilan korban di perairan maupun darat), rafling (menurunkan personel ke area bencana), free jump (menjatuhkan personel), dan air dropping (menurunkan bahan makanan).

“Banyak manfaat heli ini dalam misi SAR. Tapi terpenting, pesawat ini akan stay atau tinggal di Sumut diperuntukkan untuk penanggulangan bencana. Kalau kami ini akan dirotasi selama sebulan sekali dengan personel lainnya dari Lanud yang sama. Satu bulan ke depan, kami kembali ke Lanud Bogor,” cetusnya.

Perbincangan mengalir ke pengalamannya. Sonny yang juga pernah menerbangkan pesawat Super Puma mengaku, sepanjang dia menjadi penerbang di TNI AU, area yang menurutnya paling rawan adalah ketika terbang ke Papua. Hal itu dikarenakan Papua dilingkupi pegunungan dan hutan, kawasan seperti itu sering terjadi lost contact. Belum lagi cuaca yang begitu cepat berubah, sehingga terkadang mengganggu penerbangan.

“Ada banyak area yang blank spot. Kalau HP biasanya tidak ada signal. Kalau sudah memasuki daerah itu, dibutuhkan konsentrasi yang tinggi,” paparnya.Bukan berarti di Sumut tidak memiliki risiko yang tinggi. Sonny menuturkan, salah satu daerah rawan di Sumut adalah di area Langkat, terutama saat evakuasi pesawat Cassa beberapa waktu lalu. “Daerahnya bergelombang. Relatif susah dalam penerbangan apalagi saat evakuasi kecelakaan pesawat beberapa watu lalu itu,” terangnya.

Tak berapa lama dia menelepon ketiga rekannya. Satu per satu muncul dengan mengenakan pakaian penerbang mereka masing-masing. Suasana semakin meriah, pembicaraan diselingi sekilas senyum dan tawa kecil.
Sonny juga sempat bercerita, dalam menjalani profesi sebagai penerbang, dirinya acapkali meninggalkan istri dan kedua buah hatinya untuk waktu yang relatif lama.

“Saya sebulan pergi, nanti dua minggu sama keluarga. Biasanya seperti itu. Tapi sebagai prajurit dan saat ini di-BKO-kan ke Sumut untuk menerbangkan heli ini, sudah menjadi tanggung jawab dari profesi saya,” kisahnya.
Mengenai biaya kehidupan di Medan, Sonny dan ketiga rekannya mendapatkan jatah uang saku sebesar Rp200 ribu per hari, uang makan sebesar Rp50 ribu per hari dan akomodasi. “Akomodasi, ya, di sini kami nginapnya. Kalau uang makan Rp50 ribu, ya kami pikir cukup lah. Kalau nantinya kurang, mungkin minta tambahan. Kalau gaji tetap dari TNI AU,” pungkasnya. (*)

Mayor Penerbang Sonny, Pilot Helikopter Basarnas untuk Pemprovsu

Hidup berpindah-pindah dan meninggalkan keluarga memang sudah menjadi risiko prajurit. Seperti yang dialami Mayor Penerbang (Pnb) Sonny, gara-gara helikopter milik Badan SAR Nasional (Basarnas) berpindah tangan ke Pemprovsu, dia pun harus tinggal di Medan selama sebulan.

Ari Sisworo, Medan

Kehadiran Sonny di Medan diawali oleh kesepakatan yang dibuat Pelaksana Tugas (Plt) Gubsu Gatot Pujo Nugroho dengan Basarnas. Dari kesepakatan itu, Pemprovsu mendapatkan sebuah helikopter Bo-105 No Registrasi HR 1519 buatan Jerman sebagai sarana pendukung manakala terjadi bencana di wilayah Sumut.

Masalahnya, helikopter tak mungkin terbng tanpa awaknya. Nah, untuk itulah Sonny hadir di Medan. Selain Sonny, co pilot Lettu Pnb Boy Nanang, engineer Peltu Asep DH, dan avionic Sertu Hadi P juga turut hadir. Mereka berempat berasal dari Lapangan Udara (Lanud) Atang Senjaya, Bogor.

Sonny ketika ditemui Sumut Pos di Mess Pemprovsu, Jalan T Daud Medan, Jumat (6/1), sekira pukul 16.00 WIBn

terlihat segar bugar. Berbalut kaus warna hijau yang sering dikenakan tentara dan celana ponggol jins warna biru dongker, Sonny ramah menyambut. Pria kelahiran Cepu, Jawa Tengah, 26 Mei 1977 silam ini pun langsung mempersilahkan Sumut Pos untuk duduk di kursi yang tersedia di depan kamarnya.
“Ooh, silahkan mas,” sambutnya.

Pelan namun pasti, perbincangan mulai dibuka. Berawal dari kedatangannya dengan menerbangkan heli Basarnas dari Bogor ke Medan, hingga sedikit pengalamannya menerobos angkasa dari satu daerah ke daerah lainnya di Indonesia.
Suami Dwi Handayani (31) dan ayah dari Sekar Arum Kinanti (9) dan Bagas Arya Sena (6) tahun ini bertutur, untuk menerbangkan heli dari Bogor ke Medan ini, dibutuhkan waktu terbang selama lebih kurang 18 jam 15 menit.
“Itu untuk waktu terbangnya. Tapi, dari Bogor ke Medan, kami sempat transit selama empat kali. Satu kali transit sekitar 30 menit,” ungkapnya.

Empat daerah yang menjadi transit ke empat awak heli Basarnas tersebut yakni di Bandara Tanjung Karang, Lampung. Kemudian, Bandara Sultan Mahmud Badaruddin (Palembang), Bandara Sultan Taha (Jambi), dan terakhir di Bandara Sultan Syarif Kasim (Pekanbaru).

Dalam penerbangan dari Bogor ke Medan, tidak serta merta tanpa hambatan. Untungnya, hambatan yang ada tidak terlalu berisiko, sehingga keempat awak bisa sampai ke Bandara Polonia Medan, pada Kamis (5/1) lalu dengan selamat. Menurutnya, kawasan yang relatif menjadi hambatan yakni penerbangan Jambi-Pekanbaru dan Pekanbaru-Medan.
Untuk rute ini, mereka mesti berjibaku dengan kabut asap yang relatif tebal. “Ya, karena ada kebakaran hutan,” urai pria yang telah memiliki jam terbang selama 1.800 jam tersebut.

Pembicaraan mulai melantur ke secuplik manfaat heli tersebut. Heli buatan Jerman itu, memiliki daya tampung untuk lima orang. Empat awak dan satu penumpang. Jika digunakan untuk kondisi bencana, heli tersebut bisa diawaki dua orang saja dan tiga korban.

“Kalau beban yang bisa diangkut, antara 600-800 kilogram,” beber pria yang telah beberapa kali menginjakkan kakinya di Sumut dan terakhir saat evakuasi korban pesawat Cassa yang jatuh di Bahorok, Langkat beberapa waktu lalu itu.

Kelebihan Heli tersebut, tuturnya, memiliki kemampuan hoisting (pengambilan korban di perairan maupun darat), rafling (menurunkan personel ke area bencana), free jump (menjatuhkan personel), dan air dropping (menurunkan bahan makanan).

“Banyak manfaat heli ini dalam misi SAR. Tapi terpenting, pesawat ini akan stay atau tinggal di Sumut diperuntukkan untuk penanggulangan bencana. Kalau kami ini akan dirotasi selama sebulan sekali dengan personel lainnya dari Lanud yang sama. Satu bulan ke depan, kami kembali ke Lanud Bogor,” cetusnya.

Perbincangan mengalir ke pengalamannya. Sonny yang juga pernah menerbangkan pesawat Super Puma mengaku, sepanjang dia menjadi penerbang di TNI AU, area yang menurutnya paling rawan adalah ketika terbang ke Papua. Hal itu dikarenakan Papua dilingkupi pegunungan dan hutan, kawasan seperti itu sering terjadi lost contact. Belum lagi cuaca yang begitu cepat berubah, sehingga terkadang mengganggu penerbangan.

“Ada banyak area yang blank spot. Kalau HP biasanya tidak ada signal. Kalau sudah memasuki daerah itu, dibutuhkan konsentrasi yang tinggi,” paparnya.Bukan berarti di Sumut tidak memiliki risiko yang tinggi. Sonny menuturkan, salah satu daerah rawan di Sumut adalah di area Langkat, terutama saat evakuasi pesawat Cassa beberapa waktu lalu. “Daerahnya bergelombang. Relatif susah dalam penerbangan apalagi saat evakuasi kecelakaan pesawat beberapa watu lalu itu,” terangnya.

Tak berapa lama dia menelepon ketiga rekannya. Satu per satu muncul dengan mengenakan pakaian penerbang mereka masing-masing. Suasana semakin meriah, pembicaraan diselingi sekilas senyum dan tawa kecil.
Sonny juga sempat bercerita, dalam menjalani profesi sebagai penerbang, dirinya acapkali meninggalkan istri dan kedua buah hatinya untuk waktu yang relatif lama.

“Saya sebulan pergi, nanti dua minggu sama keluarga. Biasanya seperti itu. Tapi sebagai prajurit dan saat ini di-BKO-kan ke Sumut untuk menerbangkan heli ini, sudah menjadi tanggung jawab dari profesi saya,” kisahnya.
Mengenai biaya kehidupan di Medan, Sonny dan ketiga rekannya mendapatkan jatah uang saku sebesar Rp200 ribu per hari, uang makan sebesar Rp50 ribu per hari dan akomodasi. “Akomodasi, ya, di sini kami nginapnya. Kalau uang makan Rp50 ribu, ya kami pikir cukup lah. Kalau nantinya kurang, mungkin minta tambahan. Kalau gaji tetap dari TNI AU,” pungkasnya. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/