30 C
Medan
Thursday, May 16, 2024

Pembayaran Online Cacat Hukum

MEDAN, SUMUTPOS.CO- Kerja sama yang dibangun PDAM Tirtanadi dengan perbankan dan jasa pos dinilai cacat hukum. Pasalnya, sistem pembayaran itu melanggar ketentuan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 2009, Pasal 16 huruf h yakni, “Melakukan pinjaman mengikatkan diri dalam perjanjian, dan melakukan kerjasama dengan pihak lain dengan persetujuan gubernur atas pertimbangan Dewan Pengawas”.

Selain itu, berkaitan dengan kewenangan melakukan perjanjian sesuai SK Gubernur Sumatera Utara Nomor 539/060/K/Tahun 2009 Tentang Struktur Organisasi dan tata Kerja PDAM Tirtanadi jo Nomor 148/Kpts/2008 tentang Pengesahan SK Direksi, Pasal 6 Wewenang Direktur Utama (ayat 3 dan 4) dinyatakan, menandatangani perjanjian kerjasama, neraca dan rincian laba rugi perusahaan, dan menandatangani ikatan hukum dengan pihak lain. “Secara hukum dapat dimaknai, proses perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga (PDAM Tirtanadi dengan pihak perbankan/PT Pos, Red) dan penerapan pembayaran via bank atau jasa pos (transaksi online) dimaksudkan mesti mendapat persetujuan gubernur sebagai pemegang saham/pemilik. Sekaligus mendapat pertimbangan dari Dewan Pengawas,” tegas Direktur Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LAPK) Farid Wajdi kepada Sumut Pos, Senin (1/12).

Dari proses yang ada, kata Farid, mulai perjanjian kerjasama dan proses pembayaran dilaksanakan gubernur pernah mengeluarkan persetujuan dan Dewan Pengawas PDAM Tirtanadi pada saat perjanjian kerjasama ditandatangani, sedang dalam keadaan kosong atau tidak ada.

“Fakta lain yang dikesampingkan adalah yang memiliki kewenangan menandatangani perjanjian kerjasama dan ikatan hukum dengan pihak lain adalah direktur utama. Fakta menunjukkan perjanjian kerjasama dan ikatan hukum itu tidak diwakili direktur utama, melainkan pihak lain di luar direktur utama. Sebab itu baik segi prosedur maupun substansi perjanjian sistem pembayaran itu bertentangan dengan dengan hukum sehingga masuk dalam kualifikasi cacat hukum. Jadi, perjanjian kerjasama dan segala turunannya dinyatakan tidak sah,” urainya.

Dia melanjutkan, pihak terkait seperti lembaga perbankan perlu meninjau ulang soal perjanjian itu, karena prosedur formal tidak ada persetujuan gubernur dan pihak yang menandatangani (subjek hukum) tidak memiliki kompetensi hukum.

“Ketika penagihan rekening air secara door to door dihentikan, dan pelanggan diminta membayar rekening air di loket-loket Cabang PDAM Tirtanadi dan bank, sebenarnya ada beberapa pelanggaran yang dilakukan.

Biaya penagihan rekening air secara manual (door to door), telah masuk dalam struktur kenaikan tarif pada 2013 lalu. Secara nominal ada biaya hubungan langganan sebesar Rp18 miliar yang diperuntukkan guna menagih rekening itu,” jelas Farid.

Dia mempertanyakan kemana dan untuk apa uang sebesar Rp18 miliar itu dipergunakan, pasca-sistem pembayaran online diberlakukan. “BPK atau BPKP perlu turun tangan untuk mengaudit keberadaan uang sebesar Rp18 miliar dimaksud dikaitkan dengan kedudukannya sebagai biaya hubungan langganan. Apakah ada potensi disalahgunakan? Berikutnya berkaitan dengan tenaga petugas penagihan, ada sekitar lebih kurang 600 orang yang tidak difungsikan akibat peralihan sistem itu,” ujarnya.

Padahal, jelas Farid lagi, kalau merujuk filosofi fungsi sosial BUMD dan tugas pemerintah daerah adalah menyerap tenaga kerja sebanyak mungkin. “Sebab itu Gubernur dan Dewan Pengawas sebaiknya mengambil alih masalah ini. Jadi, segala bentuk pelanggaran hukum yang dilakukan manajemen PDAM Tirtanadi dapat dihentikan, karena merugikan semua pihak. Bagaimanapun, terlalu banyak blunder yang telah dilakukan manajemen PDAM,” pungkasnya.

Sekretaris sekaligus Anggota Dewas PDAM Tirtanadi Provsu, Hardi Mulyono menanggapi dingin pernyataan Dirut LAPK Farid Wajdi. “Sah-sah saja orang mau berpendapat apa. Kan nggak mungkin karena dia menyampaikan hal itu, terus kita ubah lagi kebijakannya,” ujarnya saat dikonfirmasi kemarin sore.

Meski tak mengingat pasti kapan kerja sama itu terjalin, Hardi mengaku hal itu sudah ada setelah dewan pengawas terbentuk. “Mungkin September 2014. Begitu kita (Dewas) dilantik, kerja sama itu sudah ada,” ujarnya.

Disinggung bahwa kerja sama itu dianggap cacat hukum, Hardi mengakui bahwa sebelum ada Dewas, perjanjian sudah disepakati oleh direksi. Dia juga menyatakan, Sekda Nurdin Lubis yang waktu itu yang menjadi Ketua Dewas sudah mengomunikasikan kepada Gubsu Gatot atas kerja sama tersebut. “Pada saat itu beliau (Nurdin Lubis, Red) sudah meminta persetujuan Gubsu,” ujarnya.

Anggota Dewas Ahmad Taufan Damanik menyatakan hal senada. Menurutnya, pembayaran sistem online yang dinilai cacat hukum oleh LAPK, tidak jadi persoalan. “Boleh saja beliau katakan seperti itu, tapi buktinya sampai sekarang hal itu bukan apa-apa. Gubernur juga sebenarnya memahami bahwa hal ini merupakan sebuah kebijakan yang bertujuan baik. Cuma sanggupkah direksi melaksanakannya? Itu saja pertanyaannya,” ujarnya saat dihubungi Sumut Pos.

Ia mengkritisi pasal yang dipakai Farid Wajdi, di mana menurutnya pasal tersebut tidak mengurai tegas terkait pelanggaran dimaksud. Dalam hal ini kata Taufan, pihaknya memiliki sikap berbeda. “Direksi mungkin melihat sistem ini akan bermanfaat bagi kemudahan pelanggan. Apalagi bila berkaca pada kasus koperasi karyawan tempo hari, di mana jadi soal terhadap transparansi keuangan perusahaan,” ujarnya.

Menurutnya ini merupakan kerja sama yang berbeda dari ketentuan dan aturan yang disebut itu. “Jadi kita anggap ini soal teknis. Kerja sama ini berbeda dengan peraturan dimaksud,” sebutnya.

Taufan mengaku kalau Gubsu dan Dewas tidak ada sama sekali memberikan arahan terkait ini. Menurutnya melalui sistem online akan terjadi transparansi dalam hal keuangan. “Sistem online ini lebih terjamin dalam pembayaran, sebab antara perusahaan dan pelanggan tidak bertemu langsung, tetapi melalui jasa perbankan,” katanya.

Pada dasarnya, sambung Taufan, pihaknya menilai kerja sama yang dibangun itu sudah tepat. Hanya saja memang pelaksanaannya belum maksimal. Untuk itu pihaknya meminta agar teknis pelaksanaan tersebut dapat disempurnakan kembali dengan pihak yang terikat atas kerja sama itu. “Jadi kita yang minta untuk kaji ulang pelaksanaannya. Kita setuju pembayaran online karena memudahkan pelanggan. Tapi sayangnya pelaksanaannya belum sepenuhnya siap. Karena itu kita minta dikaji ulang pelaksanaannya, bukan membatalkan MoU-nya,” pungkasnya.

Sementara mewakili direksi, Kepala Hubungan Masyarakat (Humas) PDAM Tirtanadi, Amrun, yang dikonfirmasi mengenai hal ini menjelaskan, perubahan sistem pembayaran rekening PDAM secara online itu justru bertujuan untuk memudahkan para pelanggan. “Perubahan ini bertujuan untuk kemudahan pelanggan, terutama dikaitkan dengan sistem online pada pembayaran rekening listrik,” ucapnya.

Menurutnya, meski memberlakukan sistem pembayaran rekening air secara online, namun pembayaran secara manual yakni melalui loket tetap dipertahankan. “Artinya pelanggan masih bisa membayar tagihan rekeningnya melalui loket yang disiapkan. Hanya saja, pasti akan ada antrian di loket-loket tersebut, dan karena itulah pihaknya akan secepatnya menjalin kerjasama dengan sejumlah bank lain untuk sistem online pembayaran,” beber Amrun.

Dia menambahkan, sampai saat ini sistem online pembayaran rekening baru terkoneksi dengan Bukopin dan kantor pos. Di mana dari beberapa penjajakan itu, seperti Bank Sumut, BRI dan BNI, instansi dimaksud belum sepenuhnya siap dalam tahap pelaksanaan, sehingga perlu dilakukan pembahasan kembali. “Kita berupaya memantapkan persiapan kerja sama dalam hal teknis. Setelah MoU pada September lalu, ternyata baru Bukopin dan kantor pos yang siap jalan,” imbuhnya.

Sebelumnya, mengenai kerjasama penagihan dengan pihak bank yang kabarnya tidak diketahui Gubsu Gatot Pujo Nugroho, Amrun mengatakan, sesuai aturan yang tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2009 tentang Perusahaan Daerah Air Minum, teknis dimaksud memang sudah diatur. Artinya, ada MoU yang harus diketahui gubernur, ada pula yang tidak. “Ini yang perlu dilihat oleh publik, bahwa aturan berlaku terkait hal ini. Mana yang memang menjaminkan aset atau mana yang tidak menjaminkan aset. Mana yang harus diteken gubernur atau tidak,” ujarnya. (prn/adz)

MEDAN, SUMUTPOS.CO- Kerja sama yang dibangun PDAM Tirtanadi dengan perbankan dan jasa pos dinilai cacat hukum. Pasalnya, sistem pembayaran itu melanggar ketentuan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 2009, Pasal 16 huruf h yakni, “Melakukan pinjaman mengikatkan diri dalam perjanjian, dan melakukan kerjasama dengan pihak lain dengan persetujuan gubernur atas pertimbangan Dewan Pengawas”.

Selain itu, berkaitan dengan kewenangan melakukan perjanjian sesuai SK Gubernur Sumatera Utara Nomor 539/060/K/Tahun 2009 Tentang Struktur Organisasi dan tata Kerja PDAM Tirtanadi jo Nomor 148/Kpts/2008 tentang Pengesahan SK Direksi, Pasal 6 Wewenang Direktur Utama (ayat 3 dan 4) dinyatakan, menandatangani perjanjian kerjasama, neraca dan rincian laba rugi perusahaan, dan menandatangani ikatan hukum dengan pihak lain. “Secara hukum dapat dimaknai, proses perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga (PDAM Tirtanadi dengan pihak perbankan/PT Pos, Red) dan penerapan pembayaran via bank atau jasa pos (transaksi online) dimaksudkan mesti mendapat persetujuan gubernur sebagai pemegang saham/pemilik. Sekaligus mendapat pertimbangan dari Dewan Pengawas,” tegas Direktur Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LAPK) Farid Wajdi kepada Sumut Pos, Senin (1/12).

Dari proses yang ada, kata Farid, mulai perjanjian kerjasama dan proses pembayaran dilaksanakan gubernur pernah mengeluarkan persetujuan dan Dewan Pengawas PDAM Tirtanadi pada saat perjanjian kerjasama ditandatangani, sedang dalam keadaan kosong atau tidak ada.

“Fakta lain yang dikesampingkan adalah yang memiliki kewenangan menandatangani perjanjian kerjasama dan ikatan hukum dengan pihak lain adalah direktur utama. Fakta menunjukkan perjanjian kerjasama dan ikatan hukum itu tidak diwakili direktur utama, melainkan pihak lain di luar direktur utama. Sebab itu baik segi prosedur maupun substansi perjanjian sistem pembayaran itu bertentangan dengan dengan hukum sehingga masuk dalam kualifikasi cacat hukum. Jadi, perjanjian kerjasama dan segala turunannya dinyatakan tidak sah,” urainya.

Dia melanjutkan, pihak terkait seperti lembaga perbankan perlu meninjau ulang soal perjanjian itu, karena prosedur formal tidak ada persetujuan gubernur dan pihak yang menandatangani (subjek hukum) tidak memiliki kompetensi hukum.

“Ketika penagihan rekening air secara door to door dihentikan, dan pelanggan diminta membayar rekening air di loket-loket Cabang PDAM Tirtanadi dan bank, sebenarnya ada beberapa pelanggaran yang dilakukan.

Biaya penagihan rekening air secara manual (door to door), telah masuk dalam struktur kenaikan tarif pada 2013 lalu. Secara nominal ada biaya hubungan langganan sebesar Rp18 miliar yang diperuntukkan guna menagih rekening itu,” jelas Farid.

Dia mempertanyakan kemana dan untuk apa uang sebesar Rp18 miliar itu dipergunakan, pasca-sistem pembayaran online diberlakukan. “BPK atau BPKP perlu turun tangan untuk mengaudit keberadaan uang sebesar Rp18 miliar dimaksud dikaitkan dengan kedudukannya sebagai biaya hubungan langganan. Apakah ada potensi disalahgunakan? Berikutnya berkaitan dengan tenaga petugas penagihan, ada sekitar lebih kurang 600 orang yang tidak difungsikan akibat peralihan sistem itu,” ujarnya.

Padahal, jelas Farid lagi, kalau merujuk filosofi fungsi sosial BUMD dan tugas pemerintah daerah adalah menyerap tenaga kerja sebanyak mungkin. “Sebab itu Gubernur dan Dewan Pengawas sebaiknya mengambil alih masalah ini. Jadi, segala bentuk pelanggaran hukum yang dilakukan manajemen PDAM Tirtanadi dapat dihentikan, karena merugikan semua pihak. Bagaimanapun, terlalu banyak blunder yang telah dilakukan manajemen PDAM,” pungkasnya.

Sekretaris sekaligus Anggota Dewas PDAM Tirtanadi Provsu, Hardi Mulyono menanggapi dingin pernyataan Dirut LAPK Farid Wajdi. “Sah-sah saja orang mau berpendapat apa. Kan nggak mungkin karena dia menyampaikan hal itu, terus kita ubah lagi kebijakannya,” ujarnya saat dikonfirmasi kemarin sore.

Meski tak mengingat pasti kapan kerja sama itu terjalin, Hardi mengaku hal itu sudah ada setelah dewan pengawas terbentuk. “Mungkin September 2014. Begitu kita (Dewas) dilantik, kerja sama itu sudah ada,” ujarnya.

Disinggung bahwa kerja sama itu dianggap cacat hukum, Hardi mengakui bahwa sebelum ada Dewas, perjanjian sudah disepakati oleh direksi. Dia juga menyatakan, Sekda Nurdin Lubis yang waktu itu yang menjadi Ketua Dewas sudah mengomunikasikan kepada Gubsu Gatot atas kerja sama tersebut. “Pada saat itu beliau (Nurdin Lubis, Red) sudah meminta persetujuan Gubsu,” ujarnya.

Anggota Dewas Ahmad Taufan Damanik menyatakan hal senada. Menurutnya, pembayaran sistem online yang dinilai cacat hukum oleh LAPK, tidak jadi persoalan. “Boleh saja beliau katakan seperti itu, tapi buktinya sampai sekarang hal itu bukan apa-apa. Gubernur juga sebenarnya memahami bahwa hal ini merupakan sebuah kebijakan yang bertujuan baik. Cuma sanggupkah direksi melaksanakannya? Itu saja pertanyaannya,” ujarnya saat dihubungi Sumut Pos.

Ia mengkritisi pasal yang dipakai Farid Wajdi, di mana menurutnya pasal tersebut tidak mengurai tegas terkait pelanggaran dimaksud. Dalam hal ini kata Taufan, pihaknya memiliki sikap berbeda. “Direksi mungkin melihat sistem ini akan bermanfaat bagi kemudahan pelanggan. Apalagi bila berkaca pada kasus koperasi karyawan tempo hari, di mana jadi soal terhadap transparansi keuangan perusahaan,” ujarnya.

Menurutnya ini merupakan kerja sama yang berbeda dari ketentuan dan aturan yang disebut itu. “Jadi kita anggap ini soal teknis. Kerja sama ini berbeda dengan peraturan dimaksud,” sebutnya.

Taufan mengaku kalau Gubsu dan Dewas tidak ada sama sekali memberikan arahan terkait ini. Menurutnya melalui sistem online akan terjadi transparansi dalam hal keuangan. “Sistem online ini lebih terjamin dalam pembayaran, sebab antara perusahaan dan pelanggan tidak bertemu langsung, tetapi melalui jasa perbankan,” katanya.

Pada dasarnya, sambung Taufan, pihaknya menilai kerja sama yang dibangun itu sudah tepat. Hanya saja memang pelaksanaannya belum maksimal. Untuk itu pihaknya meminta agar teknis pelaksanaan tersebut dapat disempurnakan kembali dengan pihak yang terikat atas kerja sama itu. “Jadi kita yang minta untuk kaji ulang pelaksanaannya. Kita setuju pembayaran online karena memudahkan pelanggan. Tapi sayangnya pelaksanaannya belum sepenuhnya siap. Karena itu kita minta dikaji ulang pelaksanaannya, bukan membatalkan MoU-nya,” pungkasnya.

Sementara mewakili direksi, Kepala Hubungan Masyarakat (Humas) PDAM Tirtanadi, Amrun, yang dikonfirmasi mengenai hal ini menjelaskan, perubahan sistem pembayaran rekening PDAM secara online itu justru bertujuan untuk memudahkan para pelanggan. “Perubahan ini bertujuan untuk kemudahan pelanggan, terutama dikaitkan dengan sistem online pada pembayaran rekening listrik,” ucapnya.

Menurutnya, meski memberlakukan sistem pembayaran rekening air secara online, namun pembayaran secara manual yakni melalui loket tetap dipertahankan. “Artinya pelanggan masih bisa membayar tagihan rekeningnya melalui loket yang disiapkan. Hanya saja, pasti akan ada antrian di loket-loket tersebut, dan karena itulah pihaknya akan secepatnya menjalin kerjasama dengan sejumlah bank lain untuk sistem online pembayaran,” beber Amrun.

Dia menambahkan, sampai saat ini sistem online pembayaran rekening baru terkoneksi dengan Bukopin dan kantor pos. Di mana dari beberapa penjajakan itu, seperti Bank Sumut, BRI dan BNI, instansi dimaksud belum sepenuhnya siap dalam tahap pelaksanaan, sehingga perlu dilakukan pembahasan kembali. “Kita berupaya memantapkan persiapan kerja sama dalam hal teknis. Setelah MoU pada September lalu, ternyata baru Bukopin dan kantor pos yang siap jalan,” imbuhnya.

Sebelumnya, mengenai kerjasama penagihan dengan pihak bank yang kabarnya tidak diketahui Gubsu Gatot Pujo Nugroho, Amrun mengatakan, sesuai aturan yang tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2009 tentang Perusahaan Daerah Air Minum, teknis dimaksud memang sudah diatur. Artinya, ada MoU yang harus diketahui gubernur, ada pula yang tidak. “Ini yang perlu dilihat oleh publik, bahwa aturan berlaku terkait hal ini. Mana yang memang menjaminkan aset atau mana yang tidak menjaminkan aset. Mana yang harus diteken gubernur atau tidak,” ujarnya. (prn/adz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/