AKAL sehat tak menolak bila maju jadi calon anggota legislatif (caleg) amat menguras kantong. Inilah konsekuensi dari gaya berpolitik yang ditanam sendiri oleh para politikus kita. Uang jadi senjata demi meraih kemenangan.
Tak bisa dimungkiri, dana kampanye adalah item penting dalam proses Pemilu. Begitu pula dalam menghadapi Pemilu April inin
Biaya politik ini diperlukan parpol dan para caleg agar bisa bersaing mendapatkan suara pemilih. Dana itu dibutuhkan untuk sosialisasi, seperti melalui spanduk, baliho, kaus, iklan di media massa, atau berbagai pertemuan langsung dengan masyarakat pemilih.
Berapa anggaran yang diperlukan agar seorang caleg bisa terpilih pada Pemilu mendatang? Jumlahnya memang beragam, dan bisa tidak terhingga tergantung kebutuhan.
Tapi paling tidak, berdasarkan pengalaman pada Pemilu sebelumnya, seorang caleg untuk DPRD tingkat kabupaten/kota, harus siap-siap merogoh koceknya berkisar Rp300 juta hingga Rp500 juta. Jumlah itu bisa lebih besar lagi untuk caleg tingkat provinsi. Bahkan untuk caleg DPR RI, konon dibutuhkan hingga Rp1,2 miliar sampai Rp1,5 miliar.
Besaran dana kampanye ini sangat erat kaitannya dengan disahkannya UU No 8/ 2012 tentang Pemilu Legislatif yang menetapkan sistem proporsional terbuka pada Pemilu 2014. Dengan UU ini, setiap caleg diwajibkan memperoleh suara terbanyak agar dapat terpilih sebagai wakil rakyat.
Bagi caleg pendatang baru, barangkali hanya bisa mengandalkan kocek sendiri atau sumbangan dari sanak saudara dan kolega. Namun beda lagi dengan caleg incumbent. Tuntutan besarnya dana kampanye memaksa mereka menghalalkan segala cara, salah satunya dengan memanfaatkan atau mendompleng program-program pemerintah.
Salah satu pos anggaran dalam APBD yang seringkali diotak-atik para caleg adalah dana bantuan sosial (Bansos) dan hibah. Seperti yang mengemuka dalam beberapa hari terakhir ini. Tarik-menarik pengesahan APBD Sumut ditengarai gara-gara kemunculan besaran anggaran Bansos yang tak logis. Nilainya naik 500 persen dibanding APBD sebelumnya.
Pemanfaatan dana Bansos dan hibah ini sebenarnya bukan gejala baru. Praktik serupa pernah juga terjadi pada Pemilu 2009 silam, dan terendus oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Praktik ini pun tidak hanya terjadi di tingkat daerah, tapi merambah hingga ke pusat.
Penggunaan atau memanfaatkan dana Bansos atau hibah, juga dana-dana lainnya yang bersumber dari APBD dan APBN, untuk kampanye, tentu tidak sepatutnya dilakukan para caleg. Anggaran negara yang berarti uang rakyat, wajib sebesar-besarnya dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk pribadi atau golongan.
Mari melihat hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memberikan opini wajar dengan pengecualian untuk Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2013. Dalam temuan itu tergambar belanja Bansos Rp1,91 triliun mengendap di rekening kementerian dan lembaga. Tidak disetor ke kas negara.
Sejak April 2013 ketika KPU mengumumkan perekrutan caleg parpol, maka disitulah uang mulai merajalela. Mengutip buku Wakil Ketua DPR Pramono Anung, umumnya caleg menghabiskan dana Rp1 miliar untuk kampanye. Jika dikalikan 100 anggota DPRD Sumut yang kembali maju menjadi caleg, angkanya mencapai Rp100 miliar.
Berulangkali para aktivis anti-korupsi berteriak perihal moratorium Bansos di APBD/APBN tahun 2014. Dan, ketersendatan pengesahan APBD Sumut 2014 adalah bukti konkret betapa dana Bansos dan hibah adalah mata anggaran paling diincar oleh anggota DPRD yang mayoritas maju kembali sebagai caleg. Dua dana ini amat ‘seksi’ lantaran tak perlu tender, dan prosedurnya sudah ‘dihapal mati’.
Apapun situasinya Pemprovsu jangan melempem. Harus tegas bersikap! APBD bukan untuk misi politik, mutlak kepentingan publik. Begitupun ketegasan ini harus dibarengi sikap konsisten gubernur/wakil gubernur agar tak menggunakan APBD bagi kelompok atau golongannya.
Kita tolak politikus yang mengobok-obok uang rakyat untuk kampanye. Sekali lagi, Bansos bukan untuk dijarah! (redaksi@hariansumutpos.com)