MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kantor Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) di Jalan Pangeran Diponegoro Medan, dalam tiga hari berturut-turut didemo kelompok masyarakat terkait masalah mafia tanah. Gubsu Edy Rahmayadi pun menanggapi serius serangkaian aksi dari elemen-elemen masyarakat tersebut.
Kemarin (8/2), giliran puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Peduli Lingkungan Hidup Sumut yang melakukan aksi di depan kantor Gubsu. Mereka meminta Gubernur Edy Rahmayadi mengevaluasi seluruh perusahaan perkebunan kelapa sawit yang ada di Sumut, sesuai dengan Inpres No 8/2018. Hal ini demi menyelamatkan kawasan hutan yang tidak sedikit beralih fungsi tanpa izin.
Dikaitkan dengan pengusutan alih fungsi hutan produksi terbatas yang dilakukan PT Anugerah Langkat Makmur (ALAM) yang tengah dijalankan Polda Sumut, mahasiswa menyatakan langkah gubernur dalam 4 bulan kepemimpinannya untuk menata kawasan hutan masih jalan di tempat. Akibatnya, mafia tanah merajalela. “Kami mencatat, terdapat kurang lebih 60 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang merusak kawasan hutan di Sumut sehingga beralih fungsi,” ujar Koordinator Aksi Indra Minka, dalam orasinya.
Usai melakukan orasi, mahasiswa tetap menanti agar gubernur bersedia berdialog mendengarkan aspirasi mereka. Usai Salat Jumat, Edy pun menemui puluhan mahasiswa tersebut.
Karena sempat menutup badan jalan dan menyebabkan terjadinya kemacetan, Edy dalam dialog bersama perwakilan mahasiswa mengaku merasa terganggu. Menurutnya, tidak seharusnya pendemo menutup jalan untuk menyampaikan aspirasi yang baik, karena dia siap menerima dan mendengarkan.
“Saya sangat terbuka dengan siapapun yang ingin bertemu dengan saya. Tetapi tolong dengan cara yang baik-baik. Jangan menutup jalan di depan kantor saya, ajukan baik-baik kalau ingin memberi paparan, dengan senang hati saya terima. Apalagi paparan tersebut membawa banyak kebaikan untuk Sumut,” ujarnya.
Secara keseluruhan, Edy menyatakan tuntutan yang disampaikan mahasiswa yang berisi enam poin mengarah pada tuduhan atau gugatan terhadap PT ALAM. Intinya adalah, meminta evaluasi terhadap seluruh perusahaan perkebunan kelapa sawit yang diduga berdiri di atas lahan hutan. Para pemilik perusahaan tersebut disebut sebagai mafia. “Bukan hanya 61, tetapi ada 117 perusahaan perkebunan besar yang berdiri di atas lahan hutan di Langkat,” tegas Edy.
UU No 23/2004 yang menyebutkan, gubernur memiliki kewenangan mengevaluasi operasional perkebunan, ungkapnya, hanya menegaskan soal status, bukan tentang batas.
Dia menyatakan, biarkan proses hukum berjalan atas dugaan alih fungsi hutan terhadap PT ALAM. Oleh karenanya dia tidak mengeluarkan komentar apapun terkait hal itu. Tidak ingin persoalan tersebut dipolitisir. “Praduga tak bersalah wajib hukumnya, biarkan proses dulu. Nanti dituduh pencemaran nama baik seperti Ahmad Dhani,” ujar Edy.
Perihal salah satu tuntutan yang menilai kinerja Gubsu selama empat bulan masih jalan di tempat, Edy menanggapi dengan mengatakan, segala sesuatu tentu membutuhkan proses. Saat ini, dirinya masih membenahi internal birokrasi. “Kalau kalian memang punya niat baik, bantu saya. Berikan solusi. Empat bulan tentu tidak cukup untuk membenahi seluruh Sumut. Banyak yang sudah lima tahun, 10 tahun menjabat tidak selesai semua masalah, saya baru empat bulan. Jangan menilai buruknya saja, Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) 2019 yang biasanya selesai di bulan Maret, telah saya tuntaskan Desember lalu,” tuturnya.
Untuk itu sebagai solusi, Gubsu menantang agar massa pendemo menyiapkan paparan dan solusi yang menurut mereka terbaik untuk menyelesaikan masalah tuntutan alih fungsi hutan. “Silahkan kalian presentasikan, kita fasilitasi di sini. Saya akan undang OPD terkait dan pakar. Kita diskusikan bersama untuk Sumut yang lebih baik,” katanya.
Mantan Pangkostrad ini juga menegaskan, aktivitas demo terkait masalah ini jangan lagi dilanjutkan. Ia meminta lebih baik berikan masukan konkrit langsung kepadanya melalui paparan atau presentasi. “Hormat aku sama kau kalau mau kasih masukan. Kubayar kau, serius saya loh ini. Jangan kau demo-demo aku begini. Baru juga empat bulan jadi gubernur. Masalah ini pun sedang ku cari formatnya, bantu aku cari solusinya,” tegas Edy.
Tak Tersentuh Hukum
Menyikapi perambah hutan lindung yang disulap menjadi perkebunan sawit, Direktur Eksekutif Rumah Baharia Azhar Kasir mengapresiasi Polda Sumut. Namun, dia berharap Polda Sumut tidak cuma berhenti di kasus PT ALAM saja. Pasalnya, masih banyak perusahaan maupun milik perseorangan yang belum tersentuh hukum hingga kini.
“Saya tidak ingin menanggapi permasalahan PT ALAM. Saya hanya ingin menanggapi permasalahan perambahan hutan lindung yang sudah berjalan bertahun-tahun ini. Tapi tidak satupun mafia perambah hutan ini ditindak secara hukum yang berlaku,” kata Azhar Kasir kepada Sumut Pos, Jumat (8/2).
Menurutnya, selama ini pihak Dinas Kehutanan Sumut hanya melakukan peringatan tanpa membawa para mafia ini hingga persidangan. Selain itu, baik aparat kehutanan dan penegak hukum hanya melakukan penertiban saja. Mereka hanya menebang puluhan atau ratusan hingga ribuan hektare lahan sawit. Tanpa ada tindak lanjut yang berarti dan dibawa ke ranah hukum. “Coba bayangkan, bukan hanya puluhan atau ratusan, tapi sudah sampai ribuan hektare lahan hutan lindung beralih fungsi jadi tanaman sawit. Tapi apa yang kita lihat, ada tidak mafianya terseret hukum atau dipidanakan?” ungkap pria kelahiran Kabupaten Langkat ini.
Maka dari itu, dia meminta, dalam permasalahan penegakan hukum, pihak kepolisian jangan sampai terkesan tebang pilih. Sebab, jika ingin melakukan tindakan tegas, tidak mungkin jajaran Poldasu khusunya Polres Langkat atau Polsek di Langkat ini tidak tahu siapa mafianya. “Kalaupun tidak tahu, paling tidak bisa berkeoordinasi dengan dinas kehutanan. Namun inikan tidak, penegak hukum seolah tidak ingin mengambil tindakan tegas terhadap para mafia. Mereka hanya melakukan penertiban, yang ujjng-ujungnya tanaman sawit yang sudah ditertipkan akan tumbuh kembali, karena lahan tersebut dikembalikan ke para mafia,” paparnya.
Penertipan sendiri, menurutnya, merupakan tindakan yang sia-sia belaka dan hanya menghabiskan anggaran. “Mari sama-sama kita selamatkan hutan kita, jika salah langsung tindak tanpa ada tebang pilih. Karena saya meyakini, jika permasalahan ini banyak yang terlibat dan dugaan kuat oknum dari dinas kehutanan juga ikut bermain,” paparnya.
Jadi untuk itu, dirinya meminta, kalau penegak hukum juga dapat melakukan penyelidikan dan pengembangan kasus terhadap oknum-oknum dinas kehutanan. Sehingga seluruhnya dapat jelas dan gamblang sehingga didapat siapa saja pelaku-pelaku perambah hutan lindung ini.
Untuk diketahui, hasil penelusuran wartawan jumlah kawasan hutan mangrove dan hutan lindung yang berada dalam pengawasan KPH wilayah I Stabat, berjumlah 69.907,89 hektare. Kawasan itu terbagi menjadi tiga bagian, di antaranya Hutan Lindung seluas 4.401,81 hektare, Hutan Produksi 25.101,22 hektare dan kawasan Hutan Produksi Terbatas seluas 40.404,86 hektare. Dengan kata lain, setidaknya dari keseluruhan sekitar 20 persen saja hutan yang selamat dari perambahan. Sementara sekitar 80 persen hutan lindung sudah dieksploitasi menjadi perkebunan. (prn/bam)