25.6 C
Medan
Wednesday, May 22, 2024

DPRD Medan Mulai Goyah

Foto: TRIADI WIBOWO/SUMUT POS Polisi berjaga jaga saat puluhan massa yang tergabung dalam Mewakili Masyarakat Pribumi Indonesia berunjuk rasa di depan gedung Centre Point jalan Jawa Medan, Jumat (27/3/2015).
Foto: TRIADI WIBOWO/SUMUT POS

SUMUTPOS.CO- Penahanan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) terhadap Direktur Utama PT Agra Citra Kharisma (ACK), Handoko Lie, mulai membuat anggota DPRD Medan goyah. Setidaknya, dengan dipenjaranya bos Centre Point itu, suara untuk menunda proses Izin Mendirikan Bangunan (IMB) mulai terdengar.

Padahal sebelumnya, dari 9 fraksi di DPRD Medan hanya PKS yang menolak dan Demokrat yang menunda perubahan peruntukan lahan yang dikuasai PT ACK tersebut. “Lebih baik ditahan dulu semua proses perizinan, takutnya ada yang salah dalam proses tersebut,” kata Sekretaris Fraksi Hanura DPRD Medan Ratna Sitepu.

Kalimat Ratna yang merupakan Ketua Komisi A DPRD Medan, ini penahanan yang dilakukan Kejagung terhadap bos PT ACK. Kata dia, dengan ditahannya bos PT ACK, maka ada sesuatu hal yang salah dan dianggap melanggar hukum dalam persoalan pengalihan lahan milik PT KAI di masa lalu.

Bukan hanya masalah pidana, persoalan hukum perdata juga tengah ditangani oleh Mahkamah Agung (MA) atas peninjauan kembali (PK) yang diajukan PT KAI. “Tentu lebih baik pemberian IMB menunggu persoalan hukum baik pidana maupun perdata tuntas,”ujar Ratna usai rapat Laporan Kerja Pertanggungjawaban (LKPj), Rabu (8/4) sore.

Seperti diberitakan tujuh fraksi yang meloloskan permohonan perubahan peruntukan yang diajukan Handoko Lie adalah Gerindra, PAN, PPP, PDIP, Golkar, Persatuan Nasional (Parnas), dan Hanura.

Meski begitu, menurut Ratna, operasional Centre Point tetap bisa berjalan. “Operasional tetap dibiarkan tanpa izin, jadi tidak ada yang perlu dirisaukan, tunggu sajalah proses hukumnya selesai,” jelasnya.

IMB Jalan Terus
Sikap berbeda ditunjukkan Pemerintah Kota (Pemko) Medan. Penahanan Handoko Lie yang terkait dalam kasus peralihan tanah di Jalan Jawa, Kelurahan Gang Buntu, Kecamatan Medan Timur itu, sepertinya tidak mempengaruhi apapun. Pemko Medan memastikan akan tetap memproses permohonan IMB yang diajukan bos PT ACK tersebut.

“Tidak ada kaitannya (penahanan Handoko Lie), jadi IMB tetap berjalan seperti biasa,” kata Asisten Umum Setda Medan, Ikhwan Habibi Daulay ketika ditemui di ruang kerjanya, Rabu (8/4).

Persoalan hukum pidana yang ditangani Kejagung, menurut Habibi tidak dapat dikaitkan dengan persoalan perdata yang tengah diproses Pemko Medan. Kecuali, pihak Kejagung menetapkan status sita tanah di Jalan Jawa karena masih dalam proses hukum. “Sah-sah saja (Kejagung) menyita tanah di Jalan Jawa, karena memang itu wewenang instansi tersebut,” bilangnya.

Proses penyitaan, tentunya diakui Habibi dapat menentukan kelangsungan operasional Mal Centre Point. Walaupun begitu, jika seandainya penyidik Kejagung menetapkan status sita atas tanah tersebut, beberapa pertimbangan logika pasti dilakukan seperti pertimbangan jumlah tenaga kerja yang akan kehilangan pekerjaan apabila operasional dihentikan.

Selain itu, ketika operasional dihentikan maka perolehan pendapatan asli daerah (PAD) Kota Medan juga tidak akan maksimal. “Tapi itu tergantung Kejagung, bagaimana mengembangkan kasus tersebut,”paparnya.

Dihentikannya upaya memproses IMB Centre Point, kata dia, apabila masyarakat melakukan gugatan class action atas surat keputusan (SK) persetujuan perubahan peruntukan tanah di Jalan Jawa yang disetujui DPRD.

“Sebenarnya yang cocok melakukan gugatan itu PT KAI, karena instansi tersebut yang sedang bersengketa dengan PT ACK. Setidaknya produk hukum yang dihasilkan DPRD Medan dalam bentuk SK digugat pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN),” jelasnya.

“Kalau PT KAI memenangkan putusan sela, maka Pemko Medan dengan sendirinya akan menghentikan proses penerbitan IMB Centre Point,” tambahnya.

Dijelaskannya, persoalan Pemko Medan tetap memproses permohonan IMB Centre Point tidak dapat dijerat dengan hukum. Apabila persyaratan yang tertuang di dalam Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Wali Kota (Perwal) tentang retribusi IMB mampu terpenuhi.

Penetapan tersangka Abdillah, lanjutnya, karena proses peralihan tanah dari PT Bonauli ke PT ACK. Sedangkan, penetapan tersangka kepada Rahudman Harahap dikarenakan perpanjangan hak pengelolaan lahan (HPL) yang tidak sesuai dengan prosedur.

“Karena tidak ada kaitannya, maka dari itu proses penerbitan IMB Centre Point tetap berlangsung dan saat ini SK persertujuan DPRD tengah diproses Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda),” tukasnya.

Titik Terang
Sementara itu, PT KAI  menyambut baik dan memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Kejagung  atas upaya penanganan kasus aset PT KAI di Gang Buntu, Medan dengan mengeluarkan keputusan penahanan Direktur PT ACK.

PT KAI juga telah menempuh proses yang panjang  dalam rangka mempertahankan aset  seluas 7,3 hektar yang diklaim dan kini dikuasai  PT ACK.

Ironisnya, PT KAI menyayangkan sikap Pemko Medan yang membiarkan bangunan yang telah berdiri berbentuk mall, ruko, apartemen , hotel, rumah sakit berdiri tanpa mengantongi  IMB.

Pengalihan tanah milik PT KAI menjadi HPL Pemerintah Kota Medan pada tahun 1982, pemberian HGB di atas HPL Pemko Medan kepada PT Bonauli pada tahun 1994, pengalihan HGB dari PT Bonauli kepada PT ACK pada tahun 2004, serta perpanjangan HGB pada tahun 2011 tersebut merupakan satu urutan kejadian yang terkait dengan Perjanjian Pengelolaan lahan Gang Buntu milik PT KAI.

Konsep awal perjanjian antarapihak swasta dengan PT KAI pada waktu itu diawali dengan rencana PT KAI untuk membangun perumahan karyawan PT KAI dan fasilitas umum lainnya di atas lahan Gan Buntu. Konsep awal ini bermula pada tahun 1981.

Dengan kurangnya dana milik PT KAI pada waktu itu maka PT KAI mencari pola lain yang akhirnya PT KAI memilih pola kerjasama dengan pihak swasta. Pihak swasta tersebut akan membangun seluruh fasilitas perumahan dan pihak swasta mendapat imbalan berupa bidang lahan dari PT KAI.

Dimana pola kerja sama tersebut kemudian dituangkan dengan beberapa perjanjian. Dalam kerjasama tersebut pada awalnya PT KAI (dahulu Djawatan Kereta Api) melakukan kerjasama dengan PT Inanta. Kerjasama pengelolaan mengharuskan Djawatan untuk melepaskan hak atas tanah terlebih dahulu dengan pihak swasta tersebut.

Namun pemerintah pada saat itu tidak menyetujui pelepasan tanah Djawatan dengan pihak swasta. Pemerintah hanya dapat menyetujui apabila pelepasan hak dilakukan dengan pemerintah.

Djawatan Kereta Api kemudian melepaskan hak atas tanah kepada Pemko, dan selanjutnya Pemko Medan mengajukan HPL atas tanah tersebut pada tahun 1982 yang diterbitkan oleh Menteri Dalam Negeri pada tahun yang sama.

Dalam perjalanan waktunya antara tahun 1982 hingga tahun 1994, terjadi perubahan-perubahan atas perjanjian. Salah satu perubahan yaitu pengalihan hak dan kewajiban PT Inanta kepada PT Bonauli pada tahun 1989, kemudian perubahan lokasi pembangunan perumahan karyawan pada tahun 1990.

Selanjutnya, sampai  tahun 1994, PT Bonauli yang telah menerima pengalihan hak dan kewajiban dari PT Inanta tersebut tidak juga melakukan pembangunan perumahan karyawan sebagaimana dalam perjanjian.

Anehnya, PT Bonauli pada waktu itu dapat memperoleh HGB atas tanah HPL meskipun telah tegas diatur dalam perjanjian bahwa pihak PT Bonauli tidak dapat memperoleh HGB apabila kewajiban para pihak yaitu untuk membangun perumahan karyawan belum dilakukan. Lebih lanjut bahwa tanpa persetujuan PT KAI, pada tahun 2002 PT Bonauli kemudian mengalihkan hak dan kewajibannya kepada PT ACK hingga saat ini.

“Atas kejanggalan yang terjadi dalam pelaksanaan perjanjian ini maka PT KAI mencurigai adanya tindak pidana yang dilakukan dalam penerbitan HGB atas HPL tersebut. PT KAI kemudian melaporkan ke kepolisian dan Kejaksaan Agung, yang diikuti dengan Penetapan tersangka atas Direktur PT ACK yaitu Handoko Lie berdasarkan Surat Perintah Penyidikan No: 10/F.2/Fd.1/01/ 2014 tanggal 20 Januari 2014,”ungkap Vice President Divisi Regional 1 Sumatera Utara PT. KAI (Persero) Saridal melalui keterangan resminya.

Setelah keputusan penahanan Direktur PT ACK dilakukan oleh Kejaksaan, PT KAI berharap kasus perdata yang sedang ditangani dapat segera memperoleh penyelesaian dari Mahkamah Agung.

Menurut Saridal, PT  KAI tidak berniat menyakiti masyarakat yang masih menggunakan tanah KA , namum masyarakat yang menggunakan Aset PT KAI supaya segera menyerahkan kembali aset tersebut kepada PT KAI atau mengajukan kontrak perjanjian. “Semoga masalah ini dapat menemui titik terang,” pungkasnya. (dik/rbb)

(dik)

Foto: TRIADI WIBOWO/SUMUT POS Polisi berjaga jaga saat puluhan massa yang tergabung dalam Mewakili Masyarakat Pribumi Indonesia berunjuk rasa di depan gedung Centre Point jalan Jawa Medan, Jumat (27/3/2015).
Foto: TRIADI WIBOWO/SUMUT POS

SUMUTPOS.CO- Penahanan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) terhadap Direktur Utama PT Agra Citra Kharisma (ACK), Handoko Lie, mulai membuat anggota DPRD Medan goyah. Setidaknya, dengan dipenjaranya bos Centre Point itu, suara untuk menunda proses Izin Mendirikan Bangunan (IMB) mulai terdengar.

Padahal sebelumnya, dari 9 fraksi di DPRD Medan hanya PKS yang menolak dan Demokrat yang menunda perubahan peruntukan lahan yang dikuasai PT ACK tersebut. “Lebih baik ditahan dulu semua proses perizinan, takutnya ada yang salah dalam proses tersebut,” kata Sekretaris Fraksi Hanura DPRD Medan Ratna Sitepu.

Kalimat Ratna yang merupakan Ketua Komisi A DPRD Medan, ini penahanan yang dilakukan Kejagung terhadap bos PT ACK. Kata dia, dengan ditahannya bos PT ACK, maka ada sesuatu hal yang salah dan dianggap melanggar hukum dalam persoalan pengalihan lahan milik PT KAI di masa lalu.

Bukan hanya masalah pidana, persoalan hukum perdata juga tengah ditangani oleh Mahkamah Agung (MA) atas peninjauan kembali (PK) yang diajukan PT KAI. “Tentu lebih baik pemberian IMB menunggu persoalan hukum baik pidana maupun perdata tuntas,”ujar Ratna usai rapat Laporan Kerja Pertanggungjawaban (LKPj), Rabu (8/4) sore.

Seperti diberitakan tujuh fraksi yang meloloskan permohonan perubahan peruntukan yang diajukan Handoko Lie adalah Gerindra, PAN, PPP, PDIP, Golkar, Persatuan Nasional (Parnas), dan Hanura.

Meski begitu, menurut Ratna, operasional Centre Point tetap bisa berjalan. “Operasional tetap dibiarkan tanpa izin, jadi tidak ada yang perlu dirisaukan, tunggu sajalah proses hukumnya selesai,” jelasnya.

IMB Jalan Terus
Sikap berbeda ditunjukkan Pemerintah Kota (Pemko) Medan. Penahanan Handoko Lie yang terkait dalam kasus peralihan tanah di Jalan Jawa, Kelurahan Gang Buntu, Kecamatan Medan Timur itu, sepertinya tidak mempengaruhi apapun. Pemko Medan memastikan akan tetap memproses permohonan IMB yang diajukan bos PT ACK tersebut.

“Tidak ada kaitannya (penahanan Handoko Lie), jadi IMB tetap berjalan seperti biasa,” kata Asisten Umum Setda Medan, Ikhwan Habibi Daulay ketika ditemui di ruang kerjanya, Rabu (8/4).

Persoalan hukum pidana yang ditangani Kejagung, menurut Habibi tidak dapat dikaitkan dengan persoalan perdata yang tengah diproses Pemko Medan. Kecuali, pihak Kejagung menetapkan status sita tanah di Jalan Jawa karena masih dalam proses hukum. “Sah-sah saja (Kejagung) menyita tanah di Jalan Jawa, karena memang itu wewenang instansi tersebut,” bilangnya.

Proses penyitaan, tentunya diakui Habibi dapat menentukan kelangsungan operasional Mal Centre Point. Walaupun begitu, jika seandainya penyidik Kejagung menetapkan status sita atas tanah tersebut, beberapa pertimbangan logika pasti dilakukan seperti pertimbangan jumlah tenaga kerja yang akan kehilangan pekerjaan apabila operasional dihentikan.

Selain itu, ketika operasional dihentikan maka perolehan pendapatan asli daerah (PAD) Kota Medan juga tidak akan maksimal. “Tapi itu tergantung Kejagung, bagaimana mengembangkan kasus tersebut,”paparnya.

Dihentikannya upaya memproses IMB Centre Point, kata dia, apabila masyarakat melakukan gugatan class action atas surat keputusan (SK) persetujuan perubahan peruntukan tanah di Jalan Jawa yang disetujui DPRD.

“Sebenarnya yang cocok melakukan gugatan itu PT KAI, karena instansi tersebut yang sedang bersengketa dengan PT ACK. Setidaknya produk hukum yang dihasilkan DPRD Medan dalam bentuk SK digugat pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN),” jelasnya.

“Kalau PT KAI memenangkan putusan sela, maka Pemko Medan dengan sendirinya akan menghentikan proses penerbitan IMB Centre Point,” tambahnya.

Dijelaskannya, persoalan Pemko Medan tetap memproses permohonan IMB Centre Point tidak dapat dijerat dengan hukum. Apabila persyaratan yang tertuang di dalam Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Wali Kota (Perwal) tentang retribusi IMB mampu terpenuhi.

Penetapan tersangka Abdillah, lanjutnya, karena proses peralihan tanah dari PT Bonauli ke PT ACK. Sedangkan, penetapan tersangka kepada Rahudman Harahap dikarenakan perpanjangan hak pengelolaan lahan (HPL) yang tidak sesuai dengan prosedur.

“Karena tidak ada kaitannya, maka dari itu proses penerbitan IMB Centre Point tetap berlangsung dan saat ini SK persertujuan DPRD tengah diproses Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda),” tukasnya.

Titik Terang
Sementara itu, PT KAI  menyambut baik dan memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Kejagung  atas upaya penanganan kasus aset PT KAI di Gang Buntu, Medan dengan mengeluarkan keputusan penahanan Direktur PT ACK.

PT KAI juga telah menempuh proses yang panjang  dalam rangka mempertahankan aset  seluas 7,3 hektar yang diklaim dan kini dikuasai  PT ACK.

Ironisnya, PT KAI menyayangkan sikap Pemko Medan yang membiarkan bangunan yang telah berdiri berbentuk mall, ruko, apartemen , hotel, rumah sakit berdiri tanpa mengantongi  IMB.

Pengalihan tanah milik PT KAI menjadi HPL Pemerintah Kota Medan pada tahun 1982, pemberian HGB di atas HPL Pemko Medan kepada PT Bonauli pada tahun 1994, pengalihan HGB dari PT Bonauli kepada PT ACK pada tahun 2004, serta perpanjangan HGB pada tahun 2011 tersebut merupakan satu urutan kejadian yang terkait dengan Perjanjian Pengelolaan lahan Gang Buntu milik PT KAI.

Konsep awal perjanjian antarapihak swasta dengan PT KAI pada waktu itu diawali dengan rencana PT KAI untuk membangun perumahan karyawan PT KAI dan fasilitas umum lainnya di atas lahan Gan Buntu. Konsep awal ini bermula pada tahun 1981.

Dengan kurangnya dana milik PT KAI pada waktu itu maka PT KAI mencari pola lain yang akhirnya PT KAI memilih pola kerjasama dengan pihak swasta. Pihak swasta tersebut akan membangun seluruh fasilitas perumahan dan pihak swasta mendapat imbalan berupa bidang lahan dari PT KAI.

Dimana pola kerja sama tersebut kemudian dituangkan dengan beberapa perjanjian. Dalam kerjasama tersebut pada awalnya PT KAI (dahulu Djawatan Kereta Api) melakukan kerjasama dengan PT Inanta. Kerjasama pengelolaan mengharuskan Djawatan untuk melepaskan hak atas tanah terlebih dahulu dengan pihak swasta tersebut.

Namun pemerintah pada saat itu tidak menyetujui pelepasan tanah Djawatan dengan pihak swasta. Pemerintah hanya dapat menyetujui apabila pelepasan hak dilakukan dengan pemerintah.

Djawatan Kereta Api kemudian melepaskan hak atas tanah kepada Pemko, dan selanjutnya Pemko Medan mengajukan HPL atas tanah tersebut pada tahun 1982 yang diterbitkan oleh Menteri Dalam Negeri pada tahun yang sama.

Dalam perjalanan waktunya antara tahun 1982 hingga tahun 1994, terjadi perubahan-perubahan atas perjanjian. Salah satu perubahan yaitu pengalihan hak dan kewajiban PT Inanta kepada PT Bonauli pada tahun 1989, kemudian perubahan lokasi pembangunan perumahan karyawan pada tahun 1990.

Selanjutnya, sampai  tahun 1994, PT Bonauli yang telah menerima pengalihan hak dan kewajiban dari PT Inanta tersebut tidak juga melakukan pembangunan perumahan karyawan sebagaimana dalam perjanjian.

Anehnya, PT Bonauli pada waktu itu dapat memperoleh HGB atas tanah HPL meskipun telah tegas diatur dalam perjanjian bahwa pihak PT Bonauli tidak dapat memperoleh HGB apabila kewajiban para pihak yaitu untuk membangun perumahan karyawan belum dilakukan. Lebih lanjut bahwa tanpa persetujuan PT KAI, pada tahun 2002 PT Bonauli kemudian mengalihkan hak dan kewajibannya kepada PT ACK hingga saat ini.

“Atas kejanggalan yang terjadi dalam pelaksanaan perjanjian ini maka PT KAI mencurigai adanya tindak pidana yang dilakukan dalam penerbitan HGB atas HPL tersebut. PT KAI kemudian melaporkan ke kepolisian dan Kejaksaan Agung, yang diikuti dengan Penetapan tersangka atas Direktur PT ACK yaitu Handoko Lie berdasarkan Surat Perintah Penyidikan No: 10/F.2/Fd.1/01/ 2014 tanggal 20 Januari 2014,”ungkap Vice President Divisi Regional 1 Sumatera Utara PT. KAI (Persero) Saridal melalui keterangan resminya.

Setelah keputusan penahanan Direktur PT ACK dilakukan oleh Kejaksaan, PT KAI berharap kasus perdata yang sedang ditangani dapat segera memperoleh penyelesaian dari Mahkamah Agung.

Menurut Saridal, PT  KAI tidak berniat menyakiti masyarakat yang masih menggunakan tanah KA , namum masyarakat yang menggunakan Aset PT KAI supaya segera menyerahkan kembali aset tersebut kepada PT KAI atau mengajukan kontrak perjanjian. “Semoga masalah ini dapat menemui titik terang,” pungkasnya. (dik/rbb)

(dik)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/