Menyikapi ini, anggota Komisi E DPRD Sumut Zulfikar menilai, kebijakan pemerintah itu tidak sesuai sila Pertama Pancasila. Sikap mengakomodir penganut di luar agama yang diakui itu pun dikhawatirkan akan menuai masalah di masa depan. Menurutnya, akan merepotkan ketika semua aliran kepercayaan, yang merupakan hasil pemikiran manusia, dianggap sebuah agama. Sebab bukan tidak mungkin akan muncul aliran dari kelompok lain di luar dari yang diakui saat ini, yang juga menuntut pengakuan Negara. “Apakah misalnya kepercayaan itu hanya sekedar percaya saja tanpa ada sebuah nilai yang mengaturnya. Setiap agama kan ada nilai, terlepas dari besar kecilnya, menyeluruh atau sebagian kecil saja. Kalau kepercayaan ini biasanya cukup ‘eling’ saja,” jelas Ketua Fraksi PKS DPRD Sumut ini.
Selain itu, Zulfikar juga melihat bahwa pengakuan aliran kepercayaan di KTP bukan sekadar indentitas semata. Sebab dengan diberikannya kesempatan itu, maka semakin membuka potensi akan terjadinya carut marut soal aliran-aliran yang mengklaim agama.
Kekhawatiran tersebut katanya, cukup beralasan. Sebab persoalan seperti ini bukan baru terjadi, melainkan sudah sejak lama muncul. Banyak pemikiran orang seperti mengaku nabi, kemudian membuat komunitas atas nama agama di luar dari yang ada. Dengan demikian, fungsi kontrol Negara dalam hal ini kata Zulfikar, hampir tidak ada. “Kami sangat tidak sepakat. Saya pikir beberapa agama yang diakui itu sudah final. Karena yang seperti ini kan wacana lama. Sementara kita sudah punya ukuran yang diakibatkan secara formal oleh Negara,” katanya.
Diberitakan sebelumnya, Kemendagri telah menyiapkan KTP khusus bagi penghayat kepercayaan di Indonesia. “Iya (ditulis ‘Percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa’). Tidak (disebut kepercayaannya). Karena ada aliran kepercayaan yang besar itu semua beragama. Ada Islam, Katolik, Kristen, tapi berhimpun dalam organisasi kepercayaan,” kata Mendagri Tjahjo Kumolo, pekan lalu.
Secara fisik, tidak ada perbedaan antara KTP yang berkolom agama dan kolom penghayat kepercayaan. Tjahjo mengatakan jumlah KTP yang disiapkan untuk penghayat kepercayaan di Indonesia sekitar 138 ribu dari 187 kepercayaan yang berada di 13 provinsi. “Ini data dari Kemendikbud. Kalau enam agama sah datanya ada di Kementerian Agama,” katanya.
Dikatakan Tjahjo, kebijakan yang dilakukan pemerintah ini harus diterapkan karena berdasarkan putusan dari Mahkamah Konstitusi, kolom untuk penghayat kepercayaan harus dimasukkan di KTP. Namun proses ini akan mulai dilakukan seusai Pilkada Serentak 2018 ini agar tidak mengganggu pesta demokrasi tersebut. “Keputusannya, pemerintah harus cepat melaksanakan putusan MK. Putusan MK itu final dan mengikat,” katanya.