26.7 C
Medan
Friday, May 3, 2024

Lantaran Kebaikan Hati Keluarga Gubernur Jenderal Baud

Foto: Hilmi Setiawan/Jawa Pos Direktur Program Goethe-Institut Katrin Sohns di samping tongkat Pangeran Diponegoro yang dipamerkan di Galeri Nasional Jakarta saat ini.
Foto: Hilmi Setiawan/Jawa Pos
Direktur Program Goethe-Institut Katrin Sohns di samping tongkat Pangeran Diponegoro yang dipamerkan di Galeri Nasional Jakarta saat ini.

 

HILMI SETIAWAN, Jakarta

LOBI Gedung A Galeri Nasional Minggu (8/2) siang itu terlihat ramai. Ratusan pengunjung memadati ruang pamer di seberang Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, tersebut. Mereka rela antre masuk demi bisa melihat benda-benda peninggalan Pangeran Diponegoro. Pameran yang dikuratori Dr Warner Kraus, Dr Peter Carey, dan Jim Supangkat itu berlangsung sejak 6 Februari hingga 8 Maret.

Salah satu daya tarik pameran bertajuk Aku Diponegoro itu tak lain adalah keberadaan tongkat milik pahlawan nasional beserban putih tersebut. Selama 183 tahun tongkat pusaka itu tersimpan dengan baik di Belanda dan baru awal bulan ini dikembalikan ke Indonesia.

Karena pengunjung membeludak dan kapasitas ruang pamer terbatas, jumlah pengunjung yang masuk ruang pameran dibatasi. Setiap sesi hanya 30 orang dengan lama kunjungan sekitar 15 menit. Dalam pameran itu, koleksi paling banyak berupa lukisan. Di antaranya, lukisan fenomenal berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh yang dibuat pada 1857.

Pengunjung juga dibuat penasaran dengan keberadaan tongkat Pangeran Diponegoro. Artefak itu diletakkan di kamar khusus di ujung ruang. Tongkat tersebut berada di tengah-tengah kamar dengan pencahayaan agak temaram. Tongkat sepanjang 150-an cm itu dipajang berdiri tegak dengan papan penyangga berbentuk lingkaran. Sedangkan di sisi kanan-kiri tongkat dipajang tombak serta pelana kuda yang juga pernah dipakai Pangeran Diponegoro.

Menurut Direktur Program Goethe-Institut Jakarta Katrin Sohns selaku salah seorang pemrakarsa pameran, pihaknya butuh empat bulan untuk bisa mengembalikan tongkat pusaka tersebut. Tongkat itu sempat akan dipajang di Rijksmuseum, Amsterdam, Belanda.

“Pihak yang terlihat sangat intensif dalam pemulangan tongkat Diponegoro ini adalah kurator Peter Carey,” kata Katrin.

Sayang, Peter tidak ada di tempat pameran hari itu. Dia ke Bandung untuk menemui koleganya. Sejarawan Inggris kelahiran Ranggon, 30 April 1948, itu selama ini sangat intens berkomunikasi dengan keluarga mendiang Jean Chretien Baud.

Baud adalah PNS sekaligus politikus Belanda yang ditugasi menjadi gubernur jenderal di Hindia Belanda pada 1833″1836. Pria kelahiran Den Haag, 23 Oktober 1789, itu adalah orang yang membawa tongkat Pangeran Diponegoro dari Indonesia ke Belanda.

“Kami sempat gugup karena waktu pameran sudah mepet, tetapi kepastian pengembalian tongkat belum ada,” ujar Katrin.

Dengan komunikasi yang intensif, keluarga Baud akhirnya bersedia mengembalikan tongkat itu. Salah satu klausul sehingga keluarga Baud bersedia mengembalikan tongkat Diponegoro ke Indonesia adalah kesediaan pemerintah Indonesia untuk merawat dengan baik. Nanti tongkat tersebut ditempatkan di Museum Nasional Jakarta. Tujuannya, masyarakat Indonesia bisa ikut menikmati peninggalan pejuangnya itu. Di Museum Nasional, tongkat itu akan disimpan berdampingan dengan tombak dan pelana kuda milik Pangeran Diponegoro.

Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Kemendikbud Kacung Marijan mengatakan, Museum Nasional merupakan tempat yang tepat untuk memajang koleksi berharga milik Pangeran Diponegoro. Untuk pengamanan, Kacung menegaskan, pihaknya sudah menyiapkan secara maksimal. Selain ada petugas sekuriti dan monitor CCTV, tongkat itu akan ditempatkan di dalam lemari kaca khusus sehingga tidak bisa dipegang-pegang pengunjung.

“Petugas keamanan museum juga sudah kami permak mentalnya. Jadi, pada prinsipnya, persiapan sudah oke,” kata guru besar Universitas Airlangga (Unair) Surabaya tersebut.

Sementara itu, kurator Peter Carey menceritakan proses pengembalian tongkat Pangeran Diponegoro. Dia mengaku melakukan penelitian tentang sepak terjang Pangeran Diponegoro sejak 1970. Karena itu, dia tahu di mana saja keberadaan benda-benda pusaka peninggalan pahlawan gagah berani tersebut.

“Pada awalnya panitia pameran ini tidak menyiapkan untuk memajang tongkat Pangeran Diponegoro. Ide itu muncul saat panitia mempersiapkan pameran ini Oktober tahun lalu,” jelas Peter saat dihubungi via telepon.

Kala itu Peter sedang berada di Magelang, Jawa Tengah, untuk mengumpulkan beberapa karya seni tentang Diponegoro. Saat itu dia menerima e-mail dari Belanda, yakni dari keluarga mendiang Jean Chretien Baud. Sebelumnya keluarga Baud membaca pamflet buatan Peter tentang buku kisah Pangeran Diponegoro berjudul Kuasa Ramalan; Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785″1855 (diterbitkan 2011).

Salah satu bab di buku itu menceritakan bahwa Pangeran Diponegoro mendapatkan sebuah tongkat warisan sultan Demak. Tapi, tongkat Kanjeng Kiai Tjokro itu tidak dibuat khusus untuk Pangeran Diponegoro, melainkan untuk sultan Demak. “Tongkat ini dibuat jauh sebelum Pangeran Diponegoro lahir,” tegas Peter.

Setelah berada di tangan Pangeran Diponegoro pada 1815, tongkat tersebut dipakai untuk berziarah ke sejumlah tempat di Pulau Jawa. Memang, tongkat itu tidak dipakai untuk senjata seperti tombak atau lainnya. Namun, dalam kondisi darurat, tongkat tersebut bisa dipakai untuk senjata. Sebab, di bagian pucuknya ada logam besi berbentuk seperti bulan yang sisi-sisinya cukup tajam.

Pada 11 Agustus 1829 Pangeran Diponegoro mengalami perampasan. Semua harta benda, termasuk tongkat pusakanya, diambil. Tongkat itu lantas berpindah-pindah kepemilikan. Tongkat tersebut kali terakhir dipegang Adipati Notoprojo.

Lalu, pada 1834 Gubernur Jenderal Baud berkunjung ke Jawa Tengah. Nah, dalam kunjungan itulah Gubernur Jenderal Baud bertemu dengan Adipati Notoprojo. Saat itulah adipati yang juga dikenal dengan sebutan Raden Mas Papak tersebut menyerahkan tongkat Pangeran Diponegoro kepada Baud.

“Mungkin dimaksudkan untuk oleh-oleh Baud,” kata Peter.

Tongkat Pangeran Diponegoro lantas dibawa pulang ke Belanda oleh Baud. Hingga akhirnya pada Kamis lalu (5/2) tongkat itu dikembalikan oleh keluarga Baud ke pemerintah Indonesia.

“Tapi, tidak begitu saja keluarga Baud menyerahkan tongkat itu. Ada diskusi panjang sebelum keluarga Baud bisa diyakinkan,” papar Peter.

Yang jelas, Peter berupaya keras agar tongkat tersebut tidak menjadi hak milik eksklusif pemerintah Belanda. Sebab, jika sudah menjadi milik pemerintah Belanda, tongkat akan sulit dikembalikan ke Indonesia.

Ada beberapa opsi yang muncul pada awal-awal permohonan itu. Yakni, tongkat Diponegoro menjadi milik Rijksmuseum Belanda, tapi bisa dipinjam, misalnya untuk keperluan pameran seperti di Museum Nasional saat ini. “Tapi, opsi ini sangat aneh bagi saya,” ujar Peter.

Sebab, kata Peter, masyarakat Indonesia pasti akan bertanya-tanya ke mana tongkat Pangeran Diponegoro setelah pameran berlangsung. Dan, setelah tahu tongkat itu disimpan di museum Belanda, masyarakat Indonesia pasti akan beperasangka jelek terhadap Negeri Kincir Angin tersebut.

Opsi berikutnya adalah menyerahkan secara penuh tongkat Pangeran Diponegoro tersebut ke pemerintah Indonesia. Cara itu sama dengan yang dilakukan Ratu Juliana pada 1978, saat mengembalikan tombak dan pelana kuda Pengeran Diponegoro.

“Keluarga Baud setelah bermusyawarah akhirnya sepakat bulat memilih opsi mengembalikan secara penuh. Keluarga yang sangat bertanggung jawab,” kata Peter.

Namun, dalam klausul perjanjiannya, pemerintah Belanda diberi izin untuk meminjam jika menggelar pameran akbar tentang Perang Diponegoro (Perang Jawa) dalam lima tahun ke depan.

Perang Diponegoro sangat penting bagi ilmu sejarah Belanda. Sebab, perang dengan misi menangkap Pangeran Diponegoro itu adalah perang terbesar dalam pendudukan Belanda di Indonesia. Konon, 200 ribu warga pribumi gugur dalam pertempuran tersebut. Sedangkan dari pihak Belanda, sekitar 8.000 serdadu tewas.

Selain tongkat, benda peninggalan Pangeran Diponegoro yang masih disimpan di Belanda, antara lain, keris Kanjeng Kiai Nogo Siluman. Keris itu dirampas tentara Belanda saat terjadi penangkapan Pangeran Diponegoro. (*/c10/ari)

Foto: Hilmi Setiawan/Jawa Pos Direktur Program Goethe-Institut Katrin Sohns di samping tongkat Pangeran Diponegoro yang dipamerkan di Galeri Nasional Jakarta saat ini.
Foto: Hilmi Setiawan/Jawa Pos
Direktur Program Goethe-Institut Katrin Sohns di samping tongkat Pangeran Diponegoro yang dipamerkan di Galeri Nasional Jakarta saat ini.

 

HILMI SETIAWAN, Jakarta

LOBI Gedung A Galeri Nasional Minggu (8/2) siang itu terlihat ramai. Ratusan pengunjung memadati ruang pamer di seberang Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, tersebut. Mereka rela antre masuk demi bisa melihat benda-benda peninggalan Pangeran Diponegoro. Pameran yang dikuratori Dr Warner Kraus, Dr Peter Carey, dan Jim Supangkat itu berlangsung sejak 6 Februari hingga 8 Maret.

Salah satu daya tarik pameran bertajuk Aku Diponegoro itu tak lain adalah keberadaan tongkat milik pahlawan nasional beserban putih tersebut. Selama 183 tahun tongkat pusaka itu tersimpan dengan baik di Belanda dan baru awal bulan ini dikembalikan ke Indonesia.

Karena pengunjung membeludak dan kapasitas ruang pamer terbatas, jumlah pengunjung yang masuk ruang pameran dibatasi. Setiap sesi hanya 30 orang dengan lama kunjungan sekitar 15 menit. Dalam pameran itu, koleksi paling banyak berupa lukisan. Di antaranya, lukisan fenomenal berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh yang dibuat pada 1857.

Pengunjung juga dibuat penasaran dengan keberadaan tongkat Pangeran Diponegoro. Artefak itu diletakkan di kamar khusus di ujung ruang. Tongkat tersebut berada di tengah-tengah kamar dengan pencahayaan agak temaram. Tongkat sepanjang 150-an cm itu dipajang berdiri tegak dengan papan penyangga berbentuk lingkaran. Sedangkan di sisi kanan-kiri tongkat dipajang tombak serta pelana kuda yang juga pernah dipakai Pangeran Diponegoro.

Menurut Direktur Program Goethe-Institut Jakarta Katrin Sohns selaku salah seorang pemrakarsa pameran, pihaknya butuh empat bulan untuk bisa mengembalikan tongkat pusaka tersebut. Tongkat itu sempat akan dipajang di Rijksmuseum, Amsterdam, Belanda.

“Pihak yang terlihat sangat intensif dalam pemulangan tongkat Diponegoro ini adalah kurator Peter Carey,” kata Katrin.

Sayang, Peter tidak ada di tempat pameran hari itu. Dia ke Bandung untuk menemui koleganya. Sejarawan Inggris kelahiran Ranggon, 30 April 1948, itu selama ini sangat intens berkomunikasi dengan keluarga mendiang Jean Chretien Baud.

Baud adalah PNS sekaligus politikus Belanda yang ditugasi menjadi gubernur jenderal di Hindia Belanda pada 1833″1836. Pria kelahiran Den Haag, 23 Oktober 1789, itu adalah orang yang membawa tongkat Pangeran Diponegoro dari Indonesia ke Belanda.

“Kami sempat gugup karena waktu pameran sudah mepet, tetapi kepastian pengembalian tongkat belum ada,” ujar Katrin.

Dengan komunikasi yang intensif, keluarga Baud akhirnya bersedia mengembalikan tongkat itu. Salah satu klausul sehingga keluarga Baud bersedia mengembalikan tongkat Diponegoro ke Indonesia adalah kesediaan pemerintah Indonesia untuk merawat dengan baik. Nanti tongkat tersebut ditempatkan di Museum Nasional Jakarta. Tujuannya, masyarakat Indonesia bisa ikut menikmati peninggalan pejuangnya itu. Di Museum Nasional, tongkat itu akan disimpan berdampingan dengan tombak dan pelana kuda milik Pangeran Diponegoro.

Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Kemendikbud Kacung Marijan mengatakan, Museum Nasional merupakan tempat yang tepat untuk memajang koleksi berharga milik Pangeran Diponegoro. Untuk pengamanan, Kacung menegaskan, pihaknya sudah menyiapkan secara maksimal. Selain ada petugas sekuriti dan monitor CCTV, tongkat itu akan ditempatkan di dalam lemari kaca khusus sehingga tidak bisa dipegang-pegang pengunjung.

“Petugas keamanan museum juga sudah kami permak mentalnya. Jadi, pada prinsipnya, persiapan sudah oke,” kata guru besar Universitas Airlangga (Unair) Surabaya tersebut.

Sementara itu, kurator Peter Carey menceritakan proses pengembalian tongkat Pangeran Diponegoro. Dia mengaku melakukan penelitian tentang sepak terjang Pangeran Diponegoro sejak 1970. Karena itu, dia tahu di mana saja keberadaan benda-benda pusaka peninggalan pahlawan gagah berani tersebut.

“Pada awalnya panitia pameran ini tidak menyiapkan untuk memajang tongkat Pangeran Diponegoro. Ide itu muncul saat panitia mempersiapkan pameran ini Oktober tahun lalu,” jelas Peter saat dihubungi via telepon.

Kala itu Peter sedang berada di Magelang, Jawa Tengah, untuk mengumpulkan beberapa karya seni tentang Diponegoro. Saat itu dia menerima e-mail dari Belanda, yakni dari keluarga mendiang Jean Chretien Baud. Sebelumnya keluarga Baud membaca pamflet buatan Peter tentang buku kisah Pangeran Diponegoro berjudul Kuasa Ramalan; Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785″1855 (diterbitkan 2011).

Salah satu bab di buku itu menceritakan bahwa Pangeran Diponegoro mendapatkan sebuah tongkat warisan sultan Demak. Tapi, tongkat Kanjeng Kiai Tjokro itu tidak dibuat khusus untuk Pangeran Diponegoro, melainkan untuk sultan Demak. “Tongkat ini dibuat jauh sebelum Pangeran Diponegoro lahir,” tegas Peter.

Setelah berada di tangan Pangeran Diponegoro pada 1815, tongkat tersebut dipakai untuk berziarah ke sejumlah tempat di Pulau Jawa. Memang, tongkat itu tidak dipakai untuk senjata seperti tombak atau lainnya. Namun, dalam kondisi darurat, tongkat tersebut bisa dipakai untuk senjata. Sebab, di bagian pucuknya ada logam besi berbentuk seperti bulan yang sisi-sisinya cukup tajam.

Pada 11 Agustus 1829 Pangeran Diponegoro mengalami perampasan. Semua harta benda, termasuk tongkat pusakanya, diambil. Tongkat itu lantas berpindah-pindah kepemilikan. Tongkat tersebut kali terakhir dipegang Adipati Notoprojo.

Lalu, pada 1834 Gubernur Jenderal Baud berkunjung ke Jawa Tengah. Nah, dalam kunjungan itulah Gubernur Jenderal Baud bertemu dengan Adipati Notoprojo. Saat itulah adipati yang juga dikenal dengan sebutan Raden Mas Papak tersebut menyerahkan tongkat Pangeran Diponegoro kepada Baud.

“Mungkin dimaksudkan untuk oleh-oleh Baud,” kata Peter.

Tongkat Pangeran Diponegoro lantas dibawa pulang ke Belanda oleh Baud. Hingga akhirnya pada Kamis lalu (5/2) tongkat itu dikembalikan oleh keluarga Baud ke pemerintah Indonesia.

“Tapi, tidak begitu saja keluarga Baud menyerahkan tongkat itu. Ada diskusi panjang sebelum keluarga Baud bisa diyakinkan,” papar Peter.

Yang jelas, Peter berupaya keras agar tongkat tersebut tidak menjadi hak milik eksklusif pemerintah Belanda. Sebab, jika sudah menjadi milik pemerintah Belanda, tongkat akan sulit dikembalikan ke Indonesia.

Ada beberapa opsi yang muncul pada awal-awal permohonan itu. Yakni, tongkat Diponegoro menjadi milik Rijksmuseum Belanda, tapi bisa dipinjam, misalnya untuk keperluan pameran seperti di Museum Nasional saat ini. “Tapi, opsi ini sangat aneh bagi saya,” ujar Peter.

Sebab, kata Peter, masyarakat Indonesia pasti akan bertanya-tanya ke mana tongkat Pangeran Diponegoro setelah pameran berlangsung. Dan, setelah tahu tongkat itu disimpan di museum Belanda, masyarakat Indonesia pasti akan beperasangka jelek terhadap Negeri Kincir Angin tersebut.

Opsi berikutnya adalah menyerahkan secara penuh tongkat Pangeran Diponegoro tersebut ke pemerintah Indonesia. Cara itu sama dengan yang dilakukan Ratu Juliana pada 1978, saat mengembalikan tombak dan pelana kuda Pengeran Diponegoro.

“Keluarga Baud setelah bermusyawarah akhirnya sepakat bulat memilih opsi mengembalikan secara penuh. Keluarga yang sangat bertanggung jawab,” kata Peter.

Namun, dalam klausul perjanjiannya, pemerintah Belanda diberi izin untuk meminjam jika menggelar pameran akbar tentang Perang Diponegoro (Perang Jawa) dalam lima tahun ke depan.

Perang Diponegoro sangat penting bagi ilmu sejarah Belanda. Sebab, perang dengan misi menangkap Pangeran Diponegoro itu adalah perang terbesar dalam pendudukan Belanda di Indonesia. Konon, 200 ribu warga pribumi gugur dalam pertempuran tersebut. Sedangkan dari pihak Belanda, sekitar 8.000 serdadu tewas.

Selain tongkat, benda peninggalan Pangeran Diponegoro yang masih disimpan di Belanda, antara lain, keris Kanjeng Kiai Nogo Siluman. Keris itu dirampas tentara Belanda saat terjadi penangkapan Pangeran Diponegoro. (*/c10/ari)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/