Aliran kepercayaan seperti Parmalim, lanjut Juliski, perlu dijaga. Negara harus hadir melindungi setiap warga negaranya. Karena keyakinan adalah hak azasi, sehingga seseorang tidak bisa dipaksa menganut kepercayaan yang telah diakui negara, seperti Islam, Kristen, Budha, dan Hindu. “Kalau zaman dulu di orde baru, agama kesannya dipaksakan. Kalau mengacu pada Pancasila (sila Pertama), sebenarnya mereka ‘kan punya Tuhan juga,” sebutnya.
Jika ajaran agama penganut kepercayaan yang dipersoalkan, maka peran rohaniawan yang diminta untuk mengarahkan masyarakat agar mempercayai agama yang diakui Negara.
“Selama aliran kepercayaan itu tidak ada bersinggungan dengan agama lain, maka itu tidak bisa kita hempang. Ketika bersinggungan, itu yang tidak boleh. Seperti aliran yang pernah ada sebelumnya, mereka mengambil ajaran dari agama tertentu, makanya dituduh sesat,” katanya.
Terpisah, Kepala Bidang Pengelolaan Administrasi Kependudukan Disdukcapil Medan, Arpian Saragih mengaku hingga kini pihaknya belum ada menerima surat pemberitahuan atau edaran mengenai perubahan kolom agama untuk mengakomodir kelompok kepercayaan.
“Sejauh ini belum ada petunjuk dari pusat dan kita enggak tahu kapan keluar petunjuknya. Jadi, sampai sekarang kita masih menunggu,” ujar Arpian singkat.
Sebelumnya, kelompok penghayat kepercayaan di Kota Medan, Ugamo Bangso Batak (UBB) bersuka cita menyambut kebijakan Mendagri. “Tentunya kami sangat senang dan gembira mendengar berita tersebut,” kata Ketua Adat UBB Kota Medan, Arnold Purba kepada Sumut Pos, Minggu (8/4).
UBB tidak memprsoalkan bahwa di KTP bukan disiapkan kolom khusus bertuliskan aliran kepercayan mereka. Melainkan hanya kolom ‘Percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa’. Â Namun dalam waktu dekat, ungkapnya, akan ada sarasehan nasional di di Hotel Sere Jl. SM Raja, Laguboti, Sumut pada 23-26 April 2018. Agendanya membahas tentang hal-hak penghayat kepercayaan ke depan. (gus/prn/bal/dris)