Lalu kenapa sampai saat ini lokasi panti pijat dan spa masih menyediakan layanan plus-plus? Uno berdalih pihaknya tak sangguh memantau satu persatu tempat hiburan. “Waktu kami monitoring ga buka tapi setelah kami pergi bisa jadi buka. Tapi kami nggak tahu. Penertiban ini kan nggak kayak makan cabai,” dalihnya.
Selama ini Uno mengaku pihaknya melakukan monitoring secara berkala dengan mengecek langsung ke lokasi setiap bulannya secara acak. Lalu pihaknya juga melakukan monitoring lewat media massa. “Kalau kita bicara spa ya itu tadi bisa dilihat dari bentuk apanya kayak apa. Kalau narkoba dan prostitusi, ya bisa saja transaksi antara pengunjung, tapi pengusahanya nggak tahu,” elaknya.
Sebagai tindakan preventif, Disbudpar katanya mengeluarkan peraturan baru berupa kartu tanda pengenal tenaga kerja usaha pariwisata yang harus dikenakan saat bertugas. Tenaga kerja yang dimaksud adalah: pramu minuman atau bartender, disc jokey (DJ), pramusaji (waiters), security, pramu pijat/tenaga terapis, pramuria, pemandu lagu, instruktur fitnes, receptionist dan kasir, serta tenaga kerja pariwisata lain yang telah ditetapkan oleh Walikota Medan.
Selain itu, dalam peraturan baru yang ditetapkan belum lama ini juga mengatur larangan memakai tenaga kerja di bawah umur dan/atau tenaga kerja asing yang tidak memiliki izin sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. “Kami sebagai petugas Disbudpar saat melakukan pemeriksaan di lapangan juga harus dilengkapi dengan identitas resmi berupa surat perintah tugas atau tanda pengenal petugas pengendalian dan pengawasan Disbudpar,” tandasnya.
Uno sah-sah saja membela diri. Tapi kenyataan di lapangan, panti pijat dan spa secara terang-terangan menyediakan layanan plus-plus tanpa ada penindakan. (win/deo)