25.6 C
Medan
Wednesday, May 22, 2024

Pengungsi Masak Sendiri

Warga Mencari Barang Berharga yang Hilang Saat Gempa-Jumat (9/12).RAKA DENNY/JAWAPOS
Warga Mencari Barang Berharga yang Hilang Saat Gempa-Jumat (9/12).RAKA DENNY/JAWAPOS

Di sisi lain, proses pemulihan trauma korban juga harus jadi fokus utama pemerintah. Tugas ini akan jadi PR berat bagi instansi yang dipimpin oleh Khofifah Indar Parawansa ini. Pasalnya, pemulihan pasca bencana tidak semudah proses rekonstruksi bangunan yang hancur karena gempa. Apalagi pemulihan bagi anak-anak.

“Kalau itu bisa ditarget setahun, untuk trauma ini tidak bisa langsung dipatok begitu. Bisa saja lebih lama,” tutur Henny Poerwonegoro, Ketua harian Lembaga Perlindungan Anak Indonesia saat ditemui usai mendampingi anak-anak korban gempa di Masjid Al-istiqomah, Rhieng, Pidie Jaya.

Dia menjelaskan, lama pemulihan ini tergantung dari kondisi ketahanan dari masing-masing anak. Ada anak yang cuma beberapa bulan sudah bisa recovery, namun tak jarang juga mereka yang trauma hingga berkepanjangan.

“Karena memang tingkat traumatik yang dialami masing-masing anak berbeda. Kemudian, bagaimana tingkat ketahanan mereka bisa menerima suatu kondisi juga berbeda-beda,” paparnya.

Dia menekankan, kondisi ini harus ditangani sedini mungkin. Bila tidak, bisa membahayakan kualitas hidup anak-anak ini. Akan muncul trauma hebat yang ke depan bisa menghambat perkembangan mereka.

“Misal, anak-anak korban jebolnya tanggul bendungan situgintung. Kalau mereka takut air, bagaimana mereka bisa belajar tentang laut. Atau, padahal mereka sejatinya berkesempatan menjadi calon atlet hebat. Begitu juga untuk anak-anak korban gempa ini,” ungkapnya.

Karenanya, lanjut dia, perlu perhatian ekstra. Pendampingan tak cukup hanya sebatas pada masa tanggap darurat. Orang tua juga perlu cermat dalam memperhatikan kondisi anak. Mengantisipasi hal ini, Henny bersama Kementerian Sosial (Kemensos) sudah menjalin komunikasi dengan mahasiswa setempat untuk meneruskan tongkat estafet ini. Selain itu, ada tim tagana dengan kemampuan psikososial yang akan mendampingi.

Dalam pendampingan yang sudah dilakukan saat ini, Henny menerapkan pendekatan edutaiment. Healing dengan cara bermain sambil belajar. Cara ini dinilai lebih ampuh dari pada cara langsung bertanya pada anak soal kesedihan yang dialami.

“Kita nyanyi, berhitung, sholawat dan banyak lainnya. Atau, kita ajak ngegambar. Lalu kita minta dia cerita soal gambar itu. Dari situ kita bisa tahu juga soal tingkat stres atau trauma anak,” ungkap perempuan berkrudung biru itu. (bil/tyo/mia/dod/ca/jpg/ain/adz)

Warga Mencari Barang Berharga yang Hilang Saat Gempa-Jumat (9/12).RAKA DENNY/JAWAPOS
Warga Mencari Barang Berharga yang Hilang Saat Gempa-Jumat (9/12).RAKA DENNY/JAWAPOS

Di sisi lain, proses pemulihan trauma korban juga harus jadi fokus utama pemerintah. Tugas ini akan jadi PR berat bagi instansi yang dipimpin oleh Khofifah Indar Parawansa ini. Pasalnya, pemulihan pasca bencana tidak semudah proses rekonstruksi bangunan yang hancur karena gempa. Apalagi pemulihan bagi anak-anak.

“Kalau itu bisa ditarget setahun, untuk trauma ini tidak bisa langsung dipatok begitu. Bisa saja lebih lama,” tutur Henny Poerwonegoro, Ketua harian Lembaga Perlindungan Anak Indonesia saat ditemui usai mendampingi anak-anak korban gempa di Masjid Al-istiqomah, Rhieng, Pidie Jaya.

Dia menjelaskan, lama pemulihan ini tergantung dari kondisi ketahanan dari masing-masing anak. Ada anak yang cuma beberapa bulan sudah bisa recovery, namun tak jarang juga mereka yang trauma hingga berkepanjangan.

“Karena memang tingkat traumatik yang dialami masing-masing anak berbeda. Kemudian, bagaimana tingkat ketahanan mereka bisa menerima suatu kondisi juga berbeda-beda,” paparnya.

Dia menekankan, kondisi ini harus ditangani sedini mungkin. Bila tidak, bisa membahayakan kualitas hidup anak-anak ini. Akan muncul trauma hebat yang ke depan bisa menghambat perkembangan mereka.

“Misal, anak-anak korban jebolnya tanggul bendungan situgintung. Kalau mereka takut air, bagaimana mereka bisa belajar tentang laut. Atau, padahal mereka sejatinya berkesempatan menjadi calon atlet hebat. Begitu juga untuk anak-anak korban gempa ini,” ungkapnya.

Karenanya, lanjut dia, perlu perhatian ekstra. Pendampingan tak cukup hanya sebatas pada masa tanggap darurat. Orang tua juga perlu cermat dalam memperhatikan kondisi anak. Mengantisipasi hal ini, Henny bersama Kementerian Sosial (Kemensos) sudah menjalin komunikasi dengan mahasiswa setempat untuk meneruskan tongkat estafet ini. Selain itu, ada tim tagana dengan kemampuan psikososial yang akan mendampingi.

Dalam pendampingan yang sudah dilakukan saat ini, Henny menerapkan pendekatan edutaiment. Healing dengan cara bermain sambil belajar. Cara ini dinilai lebih ampuh dari pada cara langsung bertanya pada anak soal kesedihan yang dialami.

“Kita nyanyi, berhitung, sholawat dan banyak lainnya. Atau, kita ajak ngegambar. Lalu kita minta dia cerita soal gambar itu. Dari situ kita bisa tahu juga soal tingkat stres atau trauma anak,” ungkap perempuan berkrudung biru itu. (bil/tyo/mia/dod/ca/jpg/ain/adz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/