JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Jelang perayaan Natal 2017 dan tahun baru 2018, Densus 88 Anti Teror melakukan penangkapan terhadap tiga terduga teroris di Jawa Timur. Dalam beberapa tahun belakangan, aksi teror penghujung tahun selalu mengancam. Tahun ini, ancaman itu masih ada.
Kekalahan ISIS di Suriah, ditandai dengan jatuhnya kota Raqqa yang diklaim sebagai ibukota ISIS ke tangan Pasukan Demokratik Suriah pada Oktober lalu. Rentetan kekalahan ISIS makin panjang dengan hancurnya basis ISIS di Marawi, Filipina karena gempuran militer Filipina pada waktu yang hampir bersamaan.
Di Indonesia, tersiar kabar tewasnya pentolan ISIS asal Indonesia, Bahrun Naim. Padahal, Bahrun Naim selama ini menjadi sosok yang sangat berpengaruh dalam aksi teror di Indonesia. Lalu, kejadian Presiden Amerika Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai Ibukota Israel.
Kondisi tersebut bisa jadi mempengaruhi kestabilan keamanan di Indonesia. Potensi aksi teror dengan tujuan serangan balasan kelompok teroris di Indonesia meningkat. Densus 88 Anti Teror dengan sigap melakukan penangkapan terhadap tiga terduga teroris, yakni Muh Muhidin, Paripung Dani dan Kiki Rizky.
Karopenmas Divhumas Polri Kombespol M Iqbal menyebut, rangkaian penangkapan itu dilakukan untuk mencegah terjadinya aksi teror. Apalagi mempertimbangkan aksi teror yang terjadi di sejumlah negara. ”Pencegahan agar tidak terjadi aksi teror seperti negara lain,” tuturnya.
Namun, bukan berarti ancaman teror hilang sepenuhnya. Di Indonesia, saat ini terjadi semacam re-organisasi kelompok teror. Dari yang awalnya Jamaah Ansharut Daulah (JAD) menjadi Jamaah Ansharut Khilafah. ”Mereka mencoba membangkitkan diri, kendati pemicu utamanya ISIS telah hancur, ” papar Pengamat Teroris Al Chaidar.
Hal itu mudah terlihat dari sejumlah media sosial yang dikelola anggota kelompok teroris. Ada upaya menggaungkan kembali berbagai instruksi dari pimpinan ISIS. ”Instruksi-instruksi lawas itu digaungkan kembali, padahal sudah tidak ada lagi instruksi baru. Sebab ISIS sudah kalah,” ujarnya.
Saat ini kemampuan kelompok teror dalam melakukan aksi sudah sangat minimalis. Maka, yang paling memungkinkan adalah aksi teror tunggal atau lone wolf. ”Mereka tidak punya pengalaman dan akhirnya melakukan aksi tunggal yang sulit terbaca. Namun, dampaknya kecil,” paparnya.
Kemungkinan terjadinya aksi lone wolf juga diakui mantan terpidana kasus terorisme M. Jibril Abdurrahman. Menurutnya, memang sulit untuk bisa mencegah terjadinya aksi tunggal. Sebab, tidak ada yang bisa mendeteksi niat seseorang. ”Namun, aksi lone wolf dalam konsisi ISIS seperti saat ini cukup sulit. Media ISIS yang awalnya dikelola Bahrun Naim itu sudah tidak aktif lagi, jadi target propaganda itu sudah tidak bisa lagi,” ujarnya.
Belum lagi, saat ini anggota jaringan teror di Indonesia merupakan anak kemarin sore. Yang tidak memiliki kemampuan dan strategi. ”Berbeda dengan jaringan teror beberapa tahun lalu, perlu sumber daya manusia dan pemahaman strategi. Sekarang tidak ada itu,” ujarnya.