26.7 C
Medan
Thursday, May 2, 2024

Diklaim Mampu Melawan Corona, Dokter: Chloroquine Masih Uji Coba

TEMU PERS: Kadis Kesehatan Sumut, Alwi Mujahid Hasibuan (kiri) saat konferensi pers terkait virus corona di Medan, Selasa (11/2).
TEMU PERS: Kadis Kesehatan Sumut, Alwi Mujahid Hasibuan (kiri) saat konferensi pers terkait virus corona di Medan, Selasa (11/2).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Korban meninggal karena virus corona, Selasa (11/2), mencapai 1.018 orang dengan 2.478 kasus baru dilaporkan. Mengutip data dari South China Morning Post, untuk pertama kalinya sejak merebak pada Desember 2019, ada lebih dari 100 orang meninggal dalam sehari karena virus corona. Terbaru, obat chloroquine diklaim mampu menjadi salahsatu komponen memerangi infeksi virus corona. Benarkah?

“Chloroquine belum direkomendasi Kemenkes RI sebagai obat virus corona. Keampuhannya belum bisa dipastikan. Penelitian masih bersifat laboratorium dan uji pada hewan. Sedangkan uji pada manusia dan lebih luas lagi belum dilakukan. Masih butuh penelitian lebih lanjut,” kata Koordinator Tim PINERE (Penyakit Infeksi New- Emerging dan Re-Emerging) RSUP H Adam Malik, dr Ade Rahmaini MKed (Paru) SpP,” ungkap dr Ade, kepada wartawan kemarin.

Kata dr Ade, hingga saat ini, vaksin untuk virus corona belum tersedia. Juga belum ada konsensus internasional maupun konsensus nasional untuk Indonesia yang ditetapkan oleh Kemenkes RI mengenai terapi definitif (pengobatan standar) dan profilaksis (obat yang digunakan untuk pencegahan) virus corona.

“Beberapa negara terdampak terutama Tiongkok, aktif melaksanakan berbagai penelitian, baik in-vitro (dilakukan di tingkat sel di dalam laboratorium), juga penelitian klinis yang dilakukan pada sampel pasien dengan jumlah yang sedikit. Namun, sampai saat ini WHO belum menetapkan adanya terapi definitif dan profilaksis,” katanya.

Juga terdapat penelitian-penelitian terdahulu yang mencoba meneliti terapi dan profilaksis untuk dua infeksi virus corona lain, yaitu SARS dan MERS. Namun hingga kini belum ada standar internasional yang terbukti secara ilmiah.

Dijelaskan Ade, selain chloroquine, obat-obatan antivirus yang biasa digunakan sebagai obat HIV/AIDS, yaitu ritonavir juga telah diujicobakan untuk terapi virus corona. Termasuk remdesivir yang baru-baru ini diajukan Tiongkok hak patennya sebagai terapi virus tersebut.

“Masih jadi pertanyaan apa sebenarnya proses yang harus dilalui agar suatu obat dapat dikatakan terbukti secara ilmiah dan dapat diterima untuk terapi maupun profilaksis? Jawabannya adalah ada banyak tahapan yang dilakukan dalam hal uji khasiat obat pada manusia. Yakni uji di dalam laboratorium, uji pada hewan percobaan, uji pada manusia dengan sampel yang sedikit, uji lebih luas lagi dengan sampel yang banyak dan di banyak lokasi penelitian di berbagai belahan dunia, serta wajib terpenuhinya syarat-syarat penelitian yang kuat dan valid,” jabar dr Ade.

Dengan demikian, sambungnya, tidak bisa mengambil satu data penelitian untuk dapat langsung diterapkan kepada masyarakat luas. Ada tata cara dalam penyampaian informasi hasil penelitian tertentu, agar pesan ataupun kesimpulan dari penelitian itu tersampaikan dengan benar dan terhindarkan dari mispersepsi.

Di sinilah peran pemerintah serta pemangku kebijakan dalam hal ini para ahli tersebut di atas juga organisasi profesi dokter, untuk menjaga agar masyarakat mendapatkan informasi yang benar sehingga masyarakat tidak dirugikan.

“Mengenai chloroquine yang di Indonesia sebelumnya dikenal sebagai obat malaria namun saat ini tidak dipakai lagi (tidak direkomendasikan lagi oleh ahli melalui Kemenkes RI untuk dipakai), tetapi masih dipakai sebagai salah satu terapi Systemic Lupus Erithematosus (SLE). Kita lihat beberapa jurnal tentang chloroquine, maka dari beberapa jurnal penelitian tersebut terlihat bahwa sampai saat ini belum dapat digunakan sebagai profilaksis untuk orang sehat agar tidak terkena infeksi virus corona,” terangnya.

Diutarakan dr Ade, masih diperlukan penelitian-penelitian lebih lanjut lagi sesuai tahapan-tahapan yang harus dilewati untuk uji khasiat obat. Penggunaan chloroquine ataupun obat lain sebelum adanya bukti ilmiah dasar terstandar dan kesepakatan ahli di tingkat global/nasional, dapat membawa kerugian berupa efek samping, resistensi serta dapat menimbulkan kelangkaan obat atau melambungnya harga obat di mana obat tersebut masih dibutuhkan untuk terapi SLE.

“Ini sudah tampak pada masker, di mana kelangkaan dan naiknya harga masker banyak disebabkan oleh maraknya penggunaan masker yang tidak pada tempatnya, berdampak pada para personel medis dan paramedis dan orang lain yang yang benar-benar membutuhkan masker. Para medis justru tidak mendapatkannya dan menyebabkan mereka terpapar risiko yang tinggi untuk terinfeksi virus corona. Untuk itu, hal-hal sedemikan harus dihindarkan,” tegasnya.

Senada disampaikan dr Restuti Hidayani Saragih, yang juga Tim PINERE RSUP H Adam Malik. Kata dr Restuti, untuk menciptakan vaksin membutuhkan proses yang cukup panjang atau waktu lama.

“Cara penularan (virus corona) melalui percikan ludah. Pencegahan yang efektif sampai saat ini adalah dengan sering mencuci tangan dengan cairan pencuci tangan yang mengandung alkohol atau dengan air dan sabun. Selain itu, memakai masker sesuai peruntukannya dan sesuai kondisi. Dan jika memakainya, dianjurkan untuk mengganti masker tersebut setiap 4 jam sekali,” kata dr Restuti.

Selanjutnya, lanjut dia, tidak menyentuh muka, hidung, mulut, mata jika belum mencuci tangan, serta menghindari berpergian ke negara-negara terdampak virus corona jika tidak amat sangat perlu dan urgen. “Menerapkan pola hidup bersih dan sehat, senantiasa mengikuti perkembangan informasi dan melaksanakan arahan dari pemerintah,” tukas dokter spesialis penyakit dalam-konsultan penyakit tropis dan infeksi ini. (ris)

TEMU PERS: Kadis Kesehatan Sumut, Alwi Mujahid Hasibuan (kiri) saat konferensi pers terkait virus corona di Medan, Selasa (11/2).
TEMU PERS: Kadis Kesehatan Sumut, Alwi Mujahid Hasibuan (kiri) saat konferensi pers terkait virus corona di Medan, Selasa (11/2).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Korban meninggal karena virus corona, Selasa (11/2), mencapai 1.018 orang dengan 2.478 kasus baru dilaporkan. Mengutip data dari South China Morning Post, untuk pertama kalinya sejak merebak pada Desember 2019, ada lebih dari 100 orang meninggal dalam sehari karena virus corona. Terbaru, obat chloroquine diklaim mampu menjadi salahsatu komponen memerangi infeksi virus corona. Benarkah?

“Chloroquine belum direkomendasi Kemenkes RI sebagai obat virus corona. Keampuhannya belum bisa dipastikan. Penelitian masih bersifat laboratorium dan uji pada hewan. Sedangkan uji pada manusia dan lebih luas lagi belum dilakukan. Masih butuh penelitian lebih lanjut,” kata Koordinator Tim PINERE (Penyakit Infeksi New- Emerging dan Re-Emerging) RSUP H Adam Malik, dr Ade Rahmaini MKed (Paru) SpP,” ungkap dr Ade, kepada wartawan kemarin.

Kata dr Ade, hingga saat ini, vaksin untuk virus corona belum tersedia. Juga belum ada konsensus internasional maupun konsensus nasional untuk Indonesia yang ditetapkan oleh Kemenkes RI mengenai terapi definitif (pengobatan standar) dan profilaksis (obat yang digunakan untuk pencegahan) virus corona.

“Beberapa negara terdampak terutama Tiongkok, aktif melaksanakan berbagai penelitian, baik in-vitro (dilakukan di tingkat sel di dalam laboratorium), juga penelitian klinis yang dilakukan pada sampel pasien dengan jumlah yang sedikit. Namun, sampai saat ini WHO belum menetapkan adanya terapi definitif dan profilaksis,” katanya.

Juga terdapat penelitian-penelitian terdahulu yang mencoba meneliti terapi dan profilaksis untuk dua infeksi virus corona lain, yaitu SARS dan MERS. Namun hingga kini belum ada standar internasional yang terbukti secara ilmiah.

Dijelaskan Ade, selain chloroquine, obat-obatan antivirus yang biasa digunakan sebagai obat HIV/AIDS, yaitu ritonavir juga telah diujicobakan untuk terapi virus corona. Termasuk remdesivir yang baru-baru ini diajukan Tiongkok hak patennya sebagai terapi virus tersebut.

“Masih jadi pertanyaan apa sebenarnya proses yang harus dilalui agar suatu obat dapat dikatakan terbukti secara ilmiah dan dapat diterima untuk terapi maupun profilaksis? Jawabannya adalah ada banyak tahapan yang dilakukan dalam hal uji khasiat obat pada manusia. Yakni uji di dalam laboratorium, uji pada hewan percobaan, uji pada manusia dengan sampel yang sedikit, uji lebih luas lagi dengan sampel yang banyak dan di banyak lokasi penelitian di berbagai belahan dunia, serta wajib terpenuhinya syarat-syarat penelitian yang kuat dan valid,” jabar dr Ade.

Dengan demikian, sambungnya, tidak bisa mengambil satu data penelitian untuk dapat langsung diterapkan kepada masyarakat luas. Ada tata cara dalam penyampaian informasi hasil penelitian tertentu, agar pesan ataupun kesimpulan dari penelitian itu tersampaikan dengan benar dan terhindarkan dari mispersepsi.

Di sinilah peran pemerintah serta pemangku kebijakan dalam hal ini para ahli tersebut di atas juga organisasi profesi dokter, untuk menjaga agar masyarakat mendapatkan informasi yang benar sehingga masyarakat tidak dirugikan.

“Mengenai chloroquine yang di Indonesia sebelumnya dikenal sebagai obat malaria namun saat ini tidak dipakai lagi (tidak direkomendasikan lagi oleh ahli melalui Kemenkes RI untuk dipakai), tetapi masih dipakai sebagai salah satu terapi Systemic Lupus Erithematosus (SLE). Kita lihat beberapa jurnal tentang chloroquine, maka dari beberapa jurnal penelitian tersebut terlihat bahwa sampai saat ini belum dapat digunakan sebagai profilaksis untuk orang sehat agar tidak terkena infeksi virus corona,” terangnya.

Diutarakan dr Ade, masih diperlukan penelitian-penelitian lebih lanjut lagi sesuai tahapan-tahapan yang harus dilewati untuk uji khasiat obat. Penggunaan chloroquine ataupun obat lain sebelum adanya bukti ilmiah dasar terstandar dan kesepakatan ahli di tingkat global/nasional, dapat membawa kerugian berupa efek samping, resistensi serta dapat menimbulkan kelangkaan obat atau melambungnya harga obat di mana obat tersebut masih dibutuhkan untuk terapi SLE.

“Ini sudah tampak pada masker, di mana kelangkaan dan naiknya harga masker banyak disebabkan oleh maraknya penggunaan masker yang tidak pada tempatnya, berdampak pada para personel medis dan paramedis dan orang lain yang yang benar-benar membutuhkan masker. Para medis justru tidak mendapatkannya dan menyebabkan mereka terpapar risiko yang tinggi untuk terinfeksi virus corona. Untuk itu, hal-hal sedemikan harus dihindarkan,” tegasnya.

Senada disampaikan dr Restuti Hidayani Saragih, yang juga Tim PINERE RSUP H Adam Malik. Kata dr Restuti, untuk menciptakan vaksin membutuhkan proses yang cukup panjang atau waktu lama.

“Cara penularan (virus corona) melalui percikan ludah. Pencegahan yang efektif sampai saat ini adalah dengan sering mencuci tangan dengan cairan pencuci tangan yang mengandung alkohol atau dengan air dan sabun. Selain itu, memakai masker sesuai peruntukannya dan sesuai kondisi. Dan jika memakainya, dianjurkan untuk mengganti masker tersebut setiap 4 jam sekali,” kata dr Restuti.

Selanjutnya, lanjut dia, tidak menyentuh muka, hidung, mulut, mata jika belum mencuci tangan, serta menghindari berpergian ke negara-negara terdampak virus corona jika tidak amat sangat perlu dan urgen. “Menerapkan pola hidup bersih dan sehat, senantiasa mengikuti perkembangan informasi dan melaksanakan arahan dari pemerintah,” tukas dokter spesialis penyakit dalam-konsultan penyakit tropis dan infeksi ini. (ris)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/