26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Dikalangan Ikhwan Jihadi Kelompok Teroris, Wiranto Dianggap Common Enemy

PAPARAN: Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Dedi Prasetyo menunjukkan foto kedua tersangka penusuk Mekopolkam Wiranto beserta senjata yang digunakan, Jumat (11/10).

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Menko Polhukam Wiranto sebenarnya sudah lama menjadi incaran kelompok teroris. Yang mengincar berbeda dengan ancaman pembunuhan yang diterima Wiranto terkait aksi 22 Mei lalu. Di kalangan ikhwan jihadi yang bergabung dalam kelompok teroris, Wiranto dianggap common enemy.

HAL ITU diungkapkan seorang ikhwan jihadi yang tak mau disebut namanya. ’’Pak Wiranto sudah di-inting-inting (diancam-ancam, Red). Sudah menyebar dalam WAG (WhatsApp group, Red),’’ kata pria yang pernah bergabung dengan Jamaah Islamiyah tersebut.

Menurut dia, pernyataan-pernyataan keras Wiranto dalam dua tahun terakhir terhadap kelompok radikal menjadi catatan tersendiri. Dia mencontohkan pernyataan soal demo 212, HTI, dan sebagainya. ’’Dan kelompok tertentu yang kemudian bisa beraksi di Pandeglang,’’ tambahnya.

Menurut dia, tidak penting dari mana pelakunya. Sebab, semua kelompok yang berafiliasi dengan JAD dan ISIS pasti menjadikan Wiranto sasaran.

’’Tinggal siapa dulu yang melaksanakan amaliyah,’’ terangnya. ’’Kalau bukan kelompok yang di Pandeglang ya pasti ada kelompok lain yang melakukan,’’ tambahnya.

Dia mencontohkan, penetapan Wiranto sebagai target itu seperti ancaman eksekusi terhadap Salman Rushdie ketika menulis novel The Satanic Verses. ’’Ya tidak sebesar skala Salman Rushdie, tapi kira-kira seperti itu,’’ ujarnya.

Dia juga memaparkan bahwa penggunaan pisau oleh sel kelompok JAD bukan hal mengherankan. Hal itu sudah dianjurkan melalui Dabiq, buletin ISIS yang selalu beredar melalui bawah tanah, baik secara cetak maupun online. ’’Sudah ditegaskan, untuk melakukan amaliyah, tak perlu susah-susah membuat bom. Cukup dari dapurmu saja. Pisau saja sudah sah,’’ terangnya.

Terpisah, mantan kombatan yang kini bergerak di bidang deradikalisasi Abu Fida mengaku tidak bisa mengetahui dari mana dan asal muasal kelompok yang menyerang Wiranto. ’’Wah, yang sekarang beda dengan yang dulu. Sebelumnya, selalu punya struktur dan jaringannya bisa dilacak. Sekarang modelnya berbeda,’’ ucapnya. Yakni, dengan menggunakan sistem sel yang mandiri.

’’Jadi, tiba-tiba saja ada amaliyah dan tak seorang pun yang senior mengetahui siapa dan dari mana orang tersebut. ISIS pusat cukup memberikan arahan dan anjuran. Siapa yang melakukan, ya terserah siapa yang mau,’’ katanya.

Hanya, Abu Fida yakin, melihat dari cara-caranya, jejak ISIS sangat terasa dalam kasus penyerangan Wiranto. Di antaranya adalah serangan yang spekulatif, tidak ada perhitungan strategisnya, dan hanya bertujuan melenyapkan sasaran dengan alat seadanya.

Ketika dikonfirmasi soal Wiranto yang menjadi common enemy, Abu Fida mengatakan bisa saja. ’’Sebab, siapa pun yang dianggap simbol ancaman ya itu akan menjadi musuh bersama yang harus dilenyapkan,’’ terangnya.

Lebih lanjut, Abu Fida mengingatkan pemerintah untuk lebih serius melakukan upaya deradikalisasi. ’’Jangan hanya mengandalkan pendekatan represif saja. Tetapi juga humanis. Tidak hanya memukul, tapi juga merangkul. Sehingga ruang gerak mereka terbatas,’’ jelasnya.

Di bagian lain, mantan Kepala Instruktur Pembuatan Bom JI Jawa Timur Ali Fauzi menguatkan bahwa jelas jejak ISIS terlihat dalam serangan tersebut. ’’Tapi, ancaman paling tinggi dari mereka adalah soal lone wolf,’’ ucapnya.

Lone wolf sendiri adalah upaya serangan teror yang dilakukan oleh satu atau beberapa orang saja secara sporadis dengan alat seadanya kepada simbol-simbol sasaran. Mereka bekerja sebagai sel mandiri dan terpisah, serta sering tak punya koordinasi langsung dengan ISIS pusat atau mempunyai jaringan besar. Contohnya adalah sel Dita Oeprianto yang melakukan aksi bom gereja pada Mei 2018 di Surabaya.

Menurut dia, peluang serangan teroris bisa diminimalkan dengan cara mempersempit ruang gerak. Nah, mempersempit ruang gerak yang dimaksud adalah dengan upaya deradikalisasi yang terintegrasi. ’’Jadi, bagaimana menangani napiter atau meng-handle orang-orang yang baru saja pulang dari Syria setelah ISIS kalah. Itu pertanyaannya. Sejauh ini, belum ada upaya deradikalisasi yang komprehensif. Sekarang ini masih sepotong-sepotong,’’ ucapnya. (c17/ano)

PAPARAN: Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Dedi Prasetyo menunjukkan foto kedua tersangka penusuk Mekopolkam Wiranto beserta senjata yang digunakan, Jumat (11/10).

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Menko Polhukam Wiranto sebenarnya sudah lama menjadi incaran kelompok teroris. Yang mengincar berbeda dengan ancaman pembunuhan yang diterima Wiranto terkait aksi 22 Mei lalu. Di kalangan ikhwan jihadi yang bergabung dalam kelompok teroris, Wiranto dianggap common enemy.

HAL ITU diungkapkan seorang ikhwan jihadi yang tak mau disebut namanya. ’’Pak Wiranto sudah di-inting-inting (diancam-ancam, Red). Sudah menyebar dalam WAG (WhatsApp group, Red),’’ kata pria yang pernah bergabung dengan Jamaah Islamiyah tersebut.

Menurut dia, pernyataan-pernyataan keras Wiranto dalam dua tahun terakhir terhadap kelompok radikal menjadi catatan tersendiri. Dia mencontohkan pernyataan soal demo 212, HTI, dan sebagainya. ’’Dan kelompok tertentu yang kemudian bisa beraksi di Pandeglang,’’ tambahnya.

Menurut dia, tidak penting dari mana pelakunya. Sebab, semua kelompok yang berafiliasi dengan JAD dan ISIS pasti menjadikan Wiranto sasaran.

’’Tinggal siapa dulu yang melaksanakan amaliyah,’’ terangnya. ’’Kalau bukan kelompok yang di Pandeglang ya pasti ada kelompok lain yang melakukan,’’ tambahnya.

Dia mencontohkan, penetapan Wiranto sebagai target itu seperti ancaman eksekusi terhadap Salman Rushdie ketika menulis novel The Satanic Verses. ’’Ya tidak sebesar skala Salman Rushdie, tapi kira-kira seperti itu,’’ ujarnya.

Dia juga memaparkan bahwa penggunaan pisau oleh sel kelompok JAD bukan hal mengherankan. Hal itu sudah dianjurkan melalui Dabiq, buletin ISIS yang selalu beredar melalui bawah tanah, baik secara cetak maupun online. ’’Sudah ditegaskan, untuk melakukan amaliyah, tak perlu susah-susah membuat bom. Cukup dari dapurmu saja. Pisau saja sudah sah,’’ terangnya.

Terpisah, mantan kombatan yang kini bergerak di bidang deradikalisasi Abu Fida mengaku tidak bisa mengetahui dari mana dan asal muasal kelompok yang menyerang Wiranto. ’’Wah, yang sekarang beda dengan yang dulu. Sebelumnya, selalu punya struktur dan jaringannya bisa dilacak. Sekarang modelnya berbeda,’’ ucapnya. Yakni, dengan menggunakan sistem sel yang mandiri.

’’Jadi, tiba-tiba saja ada amaliyah dan tak seorang pun yang senior mengetahui siapa dan dari mana orang tersebut. ISIS pusat cukup memberikan arahan dan anjuran. Siapa yang melakukan, ya terserah siapa yang mau,’’ katanya.

Hanya, Abu Fida yakin, melihat dari cara-caranya, jejak ISIS sangat terasa dalam kasus penyerangan Wiranto. Di antaranya adalah serangan yang spekulatif, tidak ada perhitungan strategisnya, dan hanya bertujuan melenyapkan sasaran dengan alat seadanya.

Ketika dikonfirmasi soal Wiranto yang menjadi common enemy, Abu Fida mengatakan bisa saja. ’’Sebab, siapa pun yang dianggap simbol ancaman ya itu akan menjadi musuh bersama yang harus dilenyapkan,’’ terangnya.

Lebih lanjut, Abu Fida mengingatkan pemerintah untuk lebih serius melakukan upaya deradikalisasi. ’’Jangan hanya mengandalkan pendekatan represif saja. Tetapi juga humanis. Tidak hanya memukul, tapi juga merangkul. Sehingga ruang gerak mereka terbatas,’’ jelasnya.

Di bagian lain, mantan Kepala Instruktur Pembuatan Bom JI Jawa Timur Ali Fauzi menguatkan bahwa jelas jejak ISIS terlihat dalam serangan tersebut. ’’Tapi, ancaman paling tinggi dari mereka adalah soal lone wolf,’’ ucapnya.

Lone wolf sendiri adalah upaya serangan teror yang dilakukan oleh satu atau beberapa orang saja secara sporadis dengan alat seadanya kepada simbol-simbol sasaran. Mereka bekerja sebagai sel mandiri dan terpisah, serta sering tak punya koordinasi langsung dengan ISIS pusat atau mempunyai jaringan besar. Contohnya adalah sel Dita Oeprianto yang melakukan aksi bom gereja pada Mei 2018 di Surabaya.

Menurut dia, peluang serangan teroris bisa diminimalkan dengan cara mempersempit ruang gerak. Nah, mempersempit ruang gerak yang dimaksud adalah dengan upaya deradikalisasi yang terintegrasi. ’’Jadi, bagaimana menangani napiter atau meng-handle orang-orang yang baru saja pulang dari Syria setelah ISIS kalah. Itu pertanyaannya. Sejauh ini, belum ada upaya deradikalisasi yang komprehensif. Sekarang ini masih sepotong-sepotong,’’ ucapnya. (c17/ano)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/