29.3 C
Medan
Monday, July 1, 2024

Gratiskan Pancawarna Senilai Miliaran Rupiah

Foto: Agus Wirawan/Jawa Pos Yudi Nugraha dengan liontin batu pancawarna yang sudah jadi.
Foto: Agus Wirawan/Jawa Pos
Yudi Nugraha dengan liontin batu pancawarna yang sudah jadi.

 AGUS WIRAWAN, Garut

Beberapa hari terakhir menjadi masa-masa sibuk bagi pekerja Lasminingrat Gemstone. Biasanya workshop di Kampung Pedes, Desa Pataruman, Kecamatan Tarogong Kidul, Garut, Jawa Barat, itu sudah sepi pada sore hari. Namun, Sabtu lalu (11/4), sampai pukul 20.00, aktivitas masih ramai.

Seorang pekerja tampak dengan hati-hati menjalankan mesin pemotong untuk membelah batu. Pekerja lainnya terlihat sibuk membolak-balik batu hitam kecokelatan untuk mencari motif yang terbaik.

“Kami terpaksa lembur karena sepuluh hari lagi batu-batu ini sudah harus menjadi liontin. Semuanya akan dibagikan kepada 109 kepala negara yang hadir di KAA pada 24 April,” kata Yudi Nugraha, pemilik Lasminingrat Gemstone, saat ditemui di rumahnya Sabtu lalu.

Yudi dan anak buahnya tidak punya banyak waktu untuk menyelesaikan order istimewa itu karena bongkahan batu baru datang Sabtu pagi. Sebelumnya, Kamis, batu tersebut dibawa ke Bandung untuk diperlihatkan kepada Wali Kota Bandung Ridwan Kamil.

“Beberapa teman saya seperti Dicky Candra (mantan wakil bupati Garut) dan Oni Suwarman (anggota DPD) yang mengantarkan ke Pak Wali Kota. Kebetulan saya sedang sakit,” papar Yudi.

Ridwan Kamil cukup surprise saat melihat kiriman batu seberat 60 kilogram tersebut. Sebab, pancawarna bukanlah batu sembarangan. Batu jenis itu termasuk batu mulia yang sangat langka. Bahkan, keluarga kerajaan Inggris terlihat sering memakai batu pancawarna untuk anting atau cincin.

“Bisa dicek, pada beberapa foto Ratu Elizabeth dan Kate Middleton sering menggunakan pancawarna,” jelas pria yang sudah lima tahun menggeluti bisnis batu pancawarna itu.

Pada awalnya, pancawarna sebenarnya bukan pilihan suvenir untuk delegasi KAA. Emil “sapaan Ridwan Kamil” lebih dulu memilih batu biru dari Baturaja, Sumatera Selatan, untuk cenderamata.

“Sebagai orang yang tinggal hanya sekitar 100 km dari Bandung, tidak terima dong kalau batu yang dipakai dari Sumatera. Ini momen bersejarah, seharusnya batu dari Jawa Barat yang dipakai,” tandasnya. “Saya juga gratiskan semua batu pancawarna itu,” imbuhnya.

Sebagaimana dijelaskan Dicky Candra, Emil memilih batu biru karena batu jenis itulah yang pada awalnya tersedia. Ada seorang pengusaha yang mau menyumbang. Karena itu, ketika ada yang mau menyumbang batu asli Jawa Barat, Emil juga menerima. Sebagai jalan tengah setelah mendapatkan tawaran Yudi, pancawarna untuk liontin, sedangkan batu biru untuk cincin.

Menurut Yudi, pilihan itu tepat karena pancawarna lebih pas dibuat liontin. Keindahan warna-warnanya akan lebih terlihat. Bentuknya pun lebih besar. “Batu 60 kilogram ini kalau dibuat cincin bisa jadi 1.000 biji. Tapi kalau liontin cukup seratusan lebih,” urainya.

Nilai pancawarna yang disumbangkan Yudi itu cukup tinggi. Sekilogram batu pancawarna biasanya dijual Rp 5 juta. Kalau sudah dibuat liontin, pancawarna jadi lebih mahal. Satu biji biasanya dijual Rp 10 juta”Rp 15 juta. Maka, uang yang bisa didapat Yudi jika menjual 109 liontin itu mencapai Rp 1 miliar”Rp 1,6 miliar.

“Insya Allah saya ikhlas menyumbang demi kebanggaan bangsa dan negara,” tegasnya.

Batu pancawarna itu ditemukan sekitar tiga bulan lalu di Gunung Kencana, Kecamatan Waringin, Garut. Batu tersebut terdiri atas berbagai bongkahan dengan berat total 200 kilogram. Yudi mendapatkan jatah 60 kilogram setelah dibagi dengan Kasepuhan Garut dan dibersihkan dari bagian batu yang tidak berkualitas.

“Eh, ternyata 60 kilogram yang saya dapatkan sama dengan ulang tahun KAA yang tahun ini memasuki usia 60 tahun,” ucap Yudi.

Yudi sangat yakin, liontin pancawarna akan memberikan kesan mendalam kepada para delegasi. Sebab, itu adalah simbol Bhinneka Tunggal Ika. “Pancawarna ini seperti Pancasila, melambangkan perbedaan tetapi tetap satu kesatuan,” terangnya.

Karena liontin untuk tamu-tamu negara, Yudi menyatakan akan membuatnya dengan sangat cermat. Batu besar tersebut akan dipecah menjadi kepingan melalui proses pembelahan. Berikutnya, dilakukan pemotongan dan pembodian. Setelah itu, ada proses gosok dan poles (gospol).

“Saya masih pertimbangkan apakah berbentuk koin atau oval,” ungkapnya. Itu baru bisa diketahui setelah melalui proses pengepingan. Seandainya dibentuk bulat, diameternya akan dibikin 3 sentimeter. Sebaliknya, kalau bisa dibuat oval, ukurannya akan lebih besar, yaitu 3 cm x 4 cm x 1 cm. “Kita upayakan oval, 1 sentimeter itu sudah tebal dan nyaman untuk dipakai, tidak terlalu berat,” sambungnya.

Di kalangan produsen batu mulia, Yudi dan Lasminingrat Gemstone sudah sangat terkenal. Di Garut, karya-karya Lasminingrat Gemstone sering menang kontes. Dia mengaku pernah juga menjadi juara umum kontes batu akik gubernur Jawa Barat dan kontes batu akik yang diselenggarakan stasiun televisi swasta tahun lalu.

“Yang terbaru, batu akik warna hijau saya menjadi juara umum kontes batu akik tingkat nasional di Gem Stone Festival Bandung pada 7 Maret lalu,” ungkapnya.

Layaknya pebisnis pada umumya, Yudi juga mengalami pasang surut. Suatu ketika dia pernah rugi Rp 150 juta karena membeli bongkahan batu yang ternyata tidak ditemukan pancawarna sama sekali. Namun, dia pernah untung di atas Rp 1 miliar karena menemukan corak yang sempurna.

“Yang beli bukan hanya Indonesia, ada dari Hongkong, Tiongkok, Malaysia. Banyak sekali sampai nggak ingat,” jelasnya.

Antusiasme Yudi untuk turut memberikan suvenir khas Indonesia kepada delegasi KAA patut mendapatkan apresiasi. Sebab, itu bakal memperkenalkan kekayaan kebudayaan kita.

Tiongkok, saat menjadi tuan rumah Olimpiade 2008, menyematkan batu giok di seluruh medali. Kita juga seharusnya bangga bisa memberikan suvenir batu akik sebagai batu mulia khas Indonesia kepada para delegasi KAA. (*/c10/ang)

Foto: Agus Wirawan/Jawa Pos Yudi Nugraha dengan liontin batu pancawarna yang sudah jadi.
Foto: Agus Wirawan/Jawa Pos
Yudi Nugraha dengan liontin batu pancawarna yang sudah jadi.

 AGUS WIRAWAN, Garut

Beberapa hari terakhir menjadi masa-masa sibuk bagi pekerja Lasminingrat Gemstone. Biasanya workshop di Kampung Pedes, Desa Pataruman, Kecamatan Tarogong Kidul, Garut, Jawa Barat, itu sudah sepi pada sore hari. Namun, Sabtu lalu (11/4), sampai pukul 20.00, aktivitas masih ramai.

Seorang pekerja tampak dengan hati-hati menjalankan mesin pemotong untuk membelah batu. Pekerja lainnya terlihat sibuk membolak-balik batu hitam kecokelatan untuk mencari motif yang terbaik.

“Kami terpaksa lembur karena sepuluh hari lagi batu-batu ini sudah harus menjadi liontin. Semuanya akan dibagikan kepada 109 kepala negara yang hadir di KAA pada 24 April,” kata Yudi Nugraha, pemilik Lasminingrat Gemstone, saat ditemui di rumahnya Sabtu lalu.

Yudi dan anak buahnya tidak punya banyak waktu untuk menyelesaikan order istimewa itu karena bongkahan batu baru datang Sabtu pagi. Sebelumnya, Kamis, batu tersebut dibawa ke Bandung untuk diperlihatkan kepada Wali Kota Bandung Ridwan Kamil.

“Beberapa teman saya seperti Dicky Candra (mantan wakil bupati Garut) dan Oni Suwarman (anggota DPD) yang mengantarkan ke Pak Wali Kota. Kebetulan saya sedang sakit,” papar Yudi.

Ridwan Kamil cukup surprise saat melihat kiriman batu seberat 60 kilogram tersebut. Sebab, pancawarna bukanlah batu sembarangan. Batu jenis itu termasuk batu mulia yang sangat langka. Bahkan, keluarga kerajaan Inggris terlihat sering memakai batu pancawarna untuk anting atau cincin.

“Bisa dicek, pada beberapa foto Ratu Elizabeth dan Kate Middleton sering menggunakan pancawarna,” jelas pria yang sudah lima tahun menggeluti bisnis batu pancawarna itu.

Pada awalnya, pancawarna sebenarnya bukan pilihan suvenir untuk delegasi KAA. Emil “sapaan Ridwan Kamil” lebih dulu memilih batu biru dari Baturaja, Sumatera Selatan, untuk cenderamata.

“Sebagai orang yang tinggal hanya sekitar 100 km dari Bandung, tidak terima dong kalau batu yang dipakai dari Sumatera. Ini momen bersejarah, seharusnya batu dari Jawa Barat yang dipakai,” tandasnya. “Saya juga gratiskan semua batu pancawarna itu,” imbuhnya.

Sebagaimana dijelaskan Dicky Candra, Emil memilih batu biru karena batu jenis itulah yang pada awalnya tersedia. Ada seorang pengusaha yang mau menyumbang. Karena itu, ketika ada yang mau menyumbang batu asli Jawa Barat, Emil juga menerima. Sebagai jalan tengah setelah mendapatkan tawaran Yudi, pancawarna untuk liontin, sedangkan batu biru untuk cincin.

Menurut Yudi, pilihan itu tepat karena pancawarna lebih pas dibuat liontin. Keindahan warna-warnanya akan lebih terlihat. Bentuknya pun lebih besar. “Batu 60 kilogram ini kalau dibuat cincin bisa jadi 1.000 biji. Tapi kalau liontin cukup seratusan lebih,” urainya.

Nilai pancawarna yang disumbangkan Yudi itu cukup tinggi. Sekilogram batu pancawarna biasanya dijual Rp 5 juta. Kalau sudah dibuat liontin, pancawarna jadi lebih mahal. Satu biji biasanya dijual Rp 10 juta”Rp 15 juta. Maka, uang yang bisa didapat Yudi jika menjual 109 liontin itu mencapai Rp 1 miliar”Rp 1,6 miliar.

“Insya Allah saya ikhlas menyumbang demi kebanggaan bangsa dan negara,” tegasnya.

Batu pancawarna itu ditemukan sekitar tiga bulan lalu di Gunung Kencana, Kecamatan Waringin, Garut. Batu tersebut terdiri atas berbagai bongkahan dengan berat total 200 kilogram. Yudi mendapatkan jatah 60 kilogram setelah dibagi dengan Kasepuhan Garut dan dibersihkan dari bagian batu yang tidak berkualitas.

“Eh, ternyata 60 kilogram yang saya dapatkan sama dengan ulang tahun KAA yang tahun ini memasuki usia 60 tahun,” ucap Yudi.

Yudi sangat yakin, liontin pancawarna akan memberikan kesan mendalam kepada para delegasi. Sebab, itu adalah simbol Bhinneka Tunggal Ika. “Pancawarna ini seperti Pancasila, melambangkan perbedaan tetapi tetap satu kesatuan,” terangnya.

Karena liontin untuk tamu-tamu negara, Yudi menyatakan akan membuatnya dengan sangat cermat. Batu besar tersebut akan dipecah menjadi kepingan melalui proses pembelahan. Berikutnya, dilakukan pemotongan dan pembodian. Setelah itu, ada proses gosok dan poles (gospol).

“Saya masih pertimbangkan apakah berbentuk koin atau oval,” ungkapnya. Itu baru bisa diketahui setelah melalui proses pengepingan. Seandainya dibentuk bulat, diameternya akan dibikin 3 sentimeter. Sebaliknya, kalau bisa dibuat oval, ukurannya akan lebih besar, yaitu 3 cm x 4 cm x 1 cm. “Kita upayakan oval, 1 sentimeter itu sudah tebal dan nyaman untuk dipakai, tidak terlalu berat,” sambungnya.

Di kalangan produsen batu mulia, Yudi dan Lasminingrat Gemstone sudah sangat terkenal. Di Garut, karya-karya Lasminingrat Gemstone sering menang kontes. Dia mengaku pernah juga menjadi juara umum kontes batu akik gubernur Jawa Barat dan kontes batu akik yang diselenggarakan stasiun televisi swasta tahun lalu.

“Yang terbaru, batu akik warna hijau saya menjadi juara umum kontes batu akik tingkat nasional di Gem Stone Festival Bandung pada 7 Maret lalu,” ungkapnya.

Layaknya pebisnis pada umumya, Yudi juga mengalami pasang surut. Suatu ketika dia pernah rugi Rp 150 juta karena membeli bongkahan batu yang ternyata tidak ditemukan pancawarna sama sekali. Namun, dia pernah untung di atas Rp 1 miliar karena menemukan corak yang sempurna.

“Yang beli bukan hanya Indonesia, ada dari Hongkong, Tiongkok, Malaysia. Banyak sekali sampai nggak ingat,” jelasnya.

Antusiasme Yudi untuk turut memberikan suvenir khas Indonesia kepada delegasi KAA patut mendapatkan apresiasi. Sebab, itu bakal memperkenalkan kekayaan kebudayaan kita.

Tiongkok, saat menjadi tuan rumah Olimpiade 2008, menyematkan batu giok di seluruh medali. Kita juga seharusnya bangga bisa memberikan suvenir batu akik sebagai batu mulia khas Indonesia kepada para delegasi KAA. (*/c10/ang)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/