Karena itu, begitu ditunjuk sebagai konsultan kuratorial museum istana kepresidenan pada 2009, Mikke langsung menerapkan jurus-jurus kurasinya. Yakni, penelusuran dan pengkajian akademis terkait lukisan-lukisan yang terpajang di istana. Dia juga meneruskan yang sudah dilakukan seniornya, Agus Dermawan, dalam mengurasi benda-benda seni koleksi Soekarno itu.
Caranya, selain bertanya ke anggota keluarga si pelukis, dia mengandalkan arsip-arsip lama serta katalog pameran yang tersimpan atau tersebar di tangan kolektor. Proses pengarsipan itu ibarat mencari jarum dalam jerami. Sebab, keterangan tentang lukisan lama tergolong minim.
Ketika dia bekerja di Istana Negara, misalnya, ada lebih dari 100 lukisan yang jati dirinya masih harus dikaji secara detail. Hal tersebut membuktikan betapa ruwetnya pendokumentasian koleksi benda seni istana dan sulitnya mencari data utuh terkait karya seni itu. Dalam kurun waktu enam tahun pengabdiannya di istana selama ini, Mikke mengaku baru bisa menyelesaikan sejumlah lukisan saja.
”Belum lagi ada 30 album foto yang belum ada caption-nya. Ini pekerjaan besar,” terang alumnus Pascasarjana Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (PSPR) Universitas Gadjah Mada itu.
Jika mengacu pada buku koleksi Presiden Soekarno, setidaknya baru sekitar 300 karya seni yang dapat dilacak riwayatnya. Itu pun karya pelukis-pelukis Indonesia, termasuk lukisan karya Soekarno meneruskan sketsa Dullah, Rini. Padahal, total lukisan di istana kepresidenan lebih dari 3.000 karya. Belum termasuk koleksi buku, keramik, dan benda seni lainnya.
’’Untuk karya perupa asing, saya belum bisa menemukan semuanya. Itu pekerjaan tersendiri yang memerlukan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit,’’ ujar dia.
Mikke menyadari bahwa lukisan-lukisan itu memiliki jalan cerita sendiri terkait sejarah perjuangan bangsa ini. Bagaimana sudut pandang pelukis dan kondisi di masa itu memengaruhi karya yang dihasilkan. Mikke pun mengaku senang mendapat tugas untuk mengkajinya.
”Memang banyak kendalanya. Baik dana maupun teknis. Tapi, hasilnya menyenangkan. Mungkin sudah takdir saya mengurus lukisan koleksi Bung Karno,” katanya, lantas tertawa.
”Hal yang sulit saya lupakan waktu saya ke perpustakaan Soekarno di Istana Bogor sekitar 2011–2010. Rasanya seneng banget memegang buku yang dulu dibaca beliau,” tambah dia.
Di salah satu bagian buku tersebut, kata Mikke, terdapat lidi yang diselipkan di antara dua halamannya. Kemungkinan, itu merupakan halaman terakhir yang sempat dibaca sang proklamator kala itu. Dia merasa mendapatkan kesempatan langka memegang dan membaca koleksi pribadi presiden pertama tersebut. Setidaknya, di balik sulitnya melakukan riset, dia termasuk orang yang beruntung bisa memegang benda koleksi Soekarno.
Hal membanggakan lain yang dilakukan Mikke adalah kerja kerasnya pada 2009–2010. Yakni, saat dia mengumpulkan 12 lukisan potret pahlawan yang beredar ramai di Jogjakarta. Lukisan-lukisan realis seperti potret RA Kartini, H.O.S. Tjokroaminoto, dan Pangeran Diponegoro itu menuntunnya pada satu muara. Beberapa lukisan itu merupakan karya Basoeki Abdullah yang paling banyak dikoleksi Soekarno. Lukisan-lukisan tersebut berada di Gedung Agung Jogjakarta dan ternyata merupakan lukisan pesanan Bung Karno.
Di masa kepemimpinannya, Soekarno memesan banyak lukisan dari para maestro seni rupa tanah air. Misalnya, Affandi, Trubus Sudarsono, Basoeki Abdullah, dan Gambiranom Suhardi. Empat lukisan yang dipesan pada 1948 itu juga dipamerkan di Galnas Jakarta.
”Saya bisa katakan 12 lukisan potret pahlawan itu karya orisinal pesanan Bung Karno,” kata Mikke. (*/c10/ari/bersambung)