25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

F. Serbundo Serahkan Naskah Akademis dan Draf Ranperda Perlindungan Buruh Sawit ke Fraksi PKS DPRD Sumut

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Federasi Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (F. Serbundo), Herwin Nasution SH menyerahkan naskah akademis dan draf Racangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Perlindungan Pekerja/Buruh Perkebunan Kelapa Sawit yang Sensitif Gender di Sumatera Utara (Sumut) kepada Anggota DPRD Sumut, Hendro Susanto dari Fraksi PKS, Kamis (15/8). Penyerahan naskah akademik dan draf Ranperda ini dimaksudkan agar menjadi pembahasan di DPRD Sumut lewat Fraksi PKS.

Dalam pertemuan ini, Herwin Nasution menjelaskan, betapa pentingnya perlindungan hukum bagi buruh perkebunan sawit di Sumatera Utara. Sebab, masih banyak buruh perkebunan sawit yang tidak mendapatkan hak-haknya seperti BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, status kerja, upah kerja, K3, hubungan kerja seperti buruh harian lepas, kernet atau buruh hantu, outsorsing, dan penghalang-halangan berserikat.

Lebih lanjut diungkapkannya, buruh perkebunan sawit juga bekerja memakai sistem satuan target, waktu, luas, dan gabungan, sehingga beban kerja cukup berat. Apalabila target tidak tercapai, maka akan dikenakan sanksi dari pihak managemant perusahaan. Maka untuk mendapatkan hasil kerja, seorang buruh harus berjalan kaki mengelilingi perkebunan seluas empat hektar atau berkisar 4 kilo meter dan harus mendapatkan target sebanyak dua sampai dua setengah ton perhari. “Jika tidak sesuai dengan target, maka buruh tersebut harus menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan target yang akhirnya buruh perkebunan sawit tersebut harus membawa keluarganya,” katanya.

Di samping itu juga, lanjut Herwin, tempat mereka bekerja terilisolir, trasportasi dan komunikasi sangat sulit. Dalam bekerja, mereka juga mengandalkan fisik, sehingga banyak mengeluarkan kalori. “Apalagi, buruh perempuan bidang perawatan, penyemprotan, dan pemupukan yang berpotensi terpapar bahan kimia, buruh tetap diseharuskan bekerja dengan alat pelindung diri (APD) yang tidak memadai,” bebernya.

Kebijakan yang ada saat ini, lanjut Herwin, lebih mengakomodasi buruh di sektor manufaktur. Sedangkan buruh manufaktur yang bekerja di perkotaan didukung komunikasi, trasportasi, hiburan, pendidikan tersedia dengan mudah dan bekerja dengan menggunakan mesin serta waktu kerja yang memadai.

Menurut Herwin Nasution, Sumatera Utara merupakan daerah perkebunan sawit yang sampai saat ini telah mencapai seluas 2.02 juta haktar (Kementan tahun 2023). Sedangkan jumlah buruh yang bekerja mencapai sekitar 1,9 juta orang (data F. Serbundo tahun 2023). Terdapat 237 perusahaan perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara (BBPS Provinsi Sumatera Utara).

Melihat dari sektor perkebunan yang memiliki kontribusi yang cukup signifikan dalam perekonomian Sumut, mencapai 13,88 % dengan jumlah luas perkebunan sawit 2,2 juta haktar di Sumatera Utara. (Sumber : https://sumutprov.go.id/artikel/artikel/pemprov-sumut-lakukan-empat-strategi-perkuat-daya-saing-perkebunan).

Minimnya tingkat pendidikan dan kemampuan pada sektor buruh perkebunan sawit yang masih sangat rendah. Melihat realita yang ada di Perkebunan Kelapa Sawit terdapat sebanyak 51,43 % tamatan SD, SMP 31,35 %, SMA 5,11 % dan tidak sekolah ada 12,11 %. (Sumber : OPPUK 2023). Tingkat pendidikan yang sangat rendah, berakibat terhadap ketidakmampuan buruh sawit untuk menegosiasikan haknya dengan pihak perusahaan. Hal ini juga berakibat pada rendahya posisi tawar buruh sawit ketika berhadapan dengan pihak perusahaan.

Akibat rendahnya posisi tawar buruh sawit dalam hubungan kerja di perkebunan kelapa sawit, mengakibatkan pihak managemant membuat aturan perusahaan tanpa melibatkan pihak buruh maupun pemerintah. Situasi ini bisa dikategorikan sebagai perbudakan modern dan kebijakan aturan di perkebunan seperti Negara dalam Negara. Sehingga perlu adanya perundangan-undangan dalam tingkat nasional atau peraturan daerah yang mengatur tentang perlindungan hukum secara khusus buruh diperkebunan kelapa sawit.

Anggota DPRD Sumut dari Fraksi PKS, Hendro Susanto menyambut baik komitmen F. Serbundo yang terus memperjuangkan hak-hak buruh perkebunan sawit yang saat ini menginisisiasi Ranperda Perlindungan Buruh Perkebunan Sawit di Sumatera Utara. “Saya dari Fraksi PKS mengucapkan terima kasih atas kepercayaannya terhadap Fraksi FPKS, untuk sama-sama berjuang supaya proses pembahasan dan pengesah Ranperda ini berjalan lancar,” ujarnya.

Hendro menjelaskan, yang bisa mengusulkan sebuah Ranperda adalah legislatif dan pemerintah. Jika masyarakat ingin mengusulkan sebuah ranperda, jelas Hendro, pintunya dari legislatif atau DPRD melalui fraksi-fraksi atau Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda).

“Proses pengusulan itu biasanya di akhir tahun. Karena usulan ini baru masuk di Fraksi PKS, usulan ini akan kita kaji di fraksi dulu. Semoga ini bisa menjadi pembahasan di pengurusan baru periode 2024-2029, agar bisa masuk dalam Program Legislatif Daerah (Prolegda),″ harapnya. (adz)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Federasi Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (F. Serbundo), Herwin Nasution SH menyerahkan naskah akademis dan draf Racangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Perlindungan Pekerja/Buruh Perkebunan Kelapa Sawit yang Sensitif Gender di Sumatera Utara (Sumut) kepada Anggota DPRD Sumut, Hendro Susanto dari Fraksi PKS, Kamis (15/8). Penyerahan naskah akademik dan draf Ranperda ini dimaksudkan agar menjadi pembahasan di DPRD Sumut lewat Fraksi PKS.

Dalam pertemuan ini, Herwin Nasution menjelaskan, betapa pentingnya perlindungan hukum bagi buruh perkebunan sawit di Sumatera Utara. Sebab, masih banyak buruh perkebunan sawit yang tidak mendapatkan hak-haknya seperti BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, status kerja, upah kerja, K3, hubungan kerja seperti buruh harian lepas, kernet atau buruh hantu, outsorsing, dan penghalang-halangan berserikat.

Lebih lanjut diungkapkannya, buruh perkebunan sawit juga bekerja memakai sistem satuan target, waktu, luas, dan gabungan, sehingga beban kerja cukup berat. Apalabila target tidak tercapai, maka akan dikenakan sanksi dari pihak managemant perusahaan. Maka untuk mendapatkan hasil kerja, seorang buruh harus berjalan kaki mengelilingi perkebunan seluas empat hektar atau berkisar 4 kilo meter dan harus mendapatkan target sebanyak dua sampai dua setengah ton perhari. “Jika tidak sesuai dengan target, maka buruh tersebut harus menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan target yang akhirnya buruh perkebunan sawit tersebut harus membawa keluarganya,” katanya.

Di samping itu juga, lanjut Herwin, tempat mereka bekerja terilisolir, trasportasi dan komunikasi sangat sulit. Dalam bekerja, mereka juga mengandalkan fisik, sehingga banyak mengeluarkan kalori. “Apalagi, buruh perempuan bidang perawatan, penyemprotan, dan pemupukan yang berpotensi terpapar bahan kimia, buruh tetap diseharuskan bekerja dengan alat pelindung diri (APD) yang tidak memadai,” bebernya.

Kebijakan yang ada saat ini, lanjut Herwin, lebih mengakomodasi buruh di sektor manufaktur. Sedangkan buruh manufaktur yang bekerja di perkotaan didukung komunikasi, trasportasi, hiburan, pendidikan tersedia dengan mudah dan bekerja dengan menggunakan mesin serta waktu kerja yang memadai.

Menurut Herwin Nasution, Sumatera Utara merupakan daerah perkebunan sawit yang sampai saat ini telah mencapai seluas 2.02 juta haktar (Kementan tahun 2023). Sedangkan jumlah buruh yang bekerja mencapai sekitar 1,9 juta orang (data F. Serbundo tahun 2023). Terdapat 237 perusahaan perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara (BBPS Provinsi Sumatera Utara).

Melihat dari sektor perkebunan yang memiliki kontribusi yang cukup signifikan dalam perekonomian Sumut, mencapai 13,88 % dengan jumlah luas perkebunan sawit 2,2 juta haktar di Sumatera Utara. (Sumber : https://sumutprov.go.id/artikel/artikel/pemprov-sumut-lakukan-empat-strategi-perkuat-daya-saing-perkebunan).

Minimnya tingkat pendidikan dan kemampuan pada sektor buruh perkebunan sawit yang masih sangat rendah. Melihat realita yang ada di Perkebunan Kelapa Sawit terdapat sebanyak 51,43 % tamatan SD, SMP 31,35 %, SMA 5,11 % dan tidak sekolah ada 12,11 %. (Sumber : OPPUK 2023). Tingkat pendidikan yang sangat rendah, berakibat terhadap ketidakmampuan buruh sawit untuk menegosiasikan haknya dengan pihak perusahaan. Hal ini juga berakibat pada rendahya posisi tawar buruh sawit ketika berhadapan dengan pihak perusahaan.

Akibat rendahnya posisi tawar buruh sawit dalam hubungan kerja di perkebunan kelapa sawit, mengakibatkan pihak managemant membuat aturan perusahaan tanpa melibatkan pihak buruh maupun pemerintah. Situasi ini bisa dikategorikan sebagai perbudakan modern dan kebijakan aturan di perkebunan seperti Negara dalam Negara. Sehingga perlu adanya perundangan-undangan dalam tingkat nasional atau peraturan daerah yang mengatur tentang perlindungan hukum secara khusus buruh diperkebunan kelapa sawit.

Anggota DPRD Sumut dari Fraksi PKS, Hendro Susanto menyambut baik komitmen F. Serbundo yang terus memperjuangkan hak-hak buruh perkebunan sawit yang saat ini menginisisiasi Ranperda Perlindungan Buruh Perkebunan Sawit di Sumatera Utara. “Saya dari Fraksi PKS mengucapkan terima kasih atas kepercayaannya terhadap Fraksi FPKS, untuk sama-sama berjuang supaya proses pembahasan dan pengesah Ranperda ini berjalan lancar,” ujarnya.

Hendro menjelaskan, yang bisa mengusulkan sebuah Ranperda adalah legislatif dan pemerintah. Jika masyarakat ingin mengusulkan sebuah ranperda, jelas Hendro, pintunya dari legislatif atau DPRD melalui fraksi-fraksi atau Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda).

“Proses pengusulan itu biasanya di akhir tahun. Karena usulan ini baru masuk di Fraksi PKS, usulan ini akan kita kaji di fraksi dulu. Semoga ini bisa menjadi pembahasan di pengurusan baru periode 2024-2029, agar bisa masuk dalam Program Legislatif Daerah (Prolegda),″ harapnya. (adz)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/