Dihubungi terpisah, Kepala Tax Centre USU Hatta Ridho mengatakan pemerintah seyogianya bisa mendapatkan tambahan penerimaan dari kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty). Tapi, hingga kini, aturannya masih diperdebatkan.
Persoalannya, menurut dia, perekonomian Indonesia tak boleh bergerak lambat hanya karena menunggu aturan tax amnesty. Belanja pemerintah harus lancar untuk mendorong perekonomian yang cenderung melambat ini.
”Karena itu, dari sisi pemasukan, termasuk penerimaan pajak tak boleh tersendat,” ujarnya.
Belajar dari kasus pembunuhan di Gunung Sitoli, Ridho melihat aparat penagih pajak tak bisa jalan sendiri. Mereka harus mendapatkan pengamanan, baik dari personel kepolisian maupun TNI. Kebetulan, kerja sama soal itu sebenarnya telah dijalin antara Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, dan Kepolisian RI. Sayang, pemanfaatannya tidak optimal.
Di sisi lain, lanjut dia, aparat pajak juga harus jujur dan profesional. Jangan ada main mata antara petugas dan wajib pajak. Selama ini, publik kerap dikecewakan oleh kasus suap pajak. Penegak hukum telah berkali-kali membongkar skandal perpajakan, dari kasus Gayus Tambunan hingga Bahasyim Assifie.
”Petugas pajak yang seharusnya memungut pajak secara maksimal demi kepentingan negara malah bermain mata dengan wajib pajak,” tukasnya.
Dikatakan Ridho, Direktorat Jenderal Pajak harus bisa membuktikan bahwa aparatnya bersih, tak bisa lagi melakukan kongkalikong dengan wajib pajak, bahkan dengan penguasa ataupun pejabat.
”Syaratnya petugas pajak harus benar-benar bersih agar mampu menyelamatkan pendapatan negara. Target setiap Kantor Pelayanan Pajak Pratama pasti bisa tembus,” katanya.
Pada hari bersamaan dengan peristiwa pembunuhan dua petugas pajak di Nias yang menghebohkan publik tersebut, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan banyaknya kekurangan penerimaan negara dari sektor perpajakan.
“BPK menemukan masalah kekurangan penerimaan negara yang terdiri atas pajak pertambahan nilai (PPN), cukai, pajak rokok dan denda administrasi senilai Rp843,80 miliar,” ungkap Ketua BPK Harry Azhar Aziz saat menyampaikan laporan ikhtisar hasil pemeriksaan semester (IHPS) beserta laporan hasil pemeriksaan (LHP) dalam sidang paripurna DPR, Selasa (12/4).
Kemudian, kekurangan penerimaan negara dari pajak bumi dan bangunan (PBB) pertambangan sektor minerba dan PBB tubuh bumi sebesar Rp308,42 miliar.
Selain itu, pemeriksaan atas perhitungan bagi hasil minyak dan gas pada SKK Migas menunjukkan antara lain terdapat biaya-biaya yang tidak semestinya dibebankan dalam cost recovery kontraktor kontrak kerja sama (KKKs) senilai Rp4 triliun.
Mantan politikus Golkar itu menyebutkan, pada periode 2010-2014, BPK telah menyampaikan 221.207 rekomendasi senilai Rp100,56 triliun kepada entitas yang diperiksa yang baru diindaklanjuti 64 persen.
“BPK juga telah menyampaikan temuan pemeriksaan yang mengandung unsur pidana kepada instansi yang berwenang atau penegak hukum sebanyak 230 surat yang memuat 445 temuan senilai Rp33,48 triliun,” tambahnya.