Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli Rahim mengatakan mayoritas guru-guru di IGI mendukung keberadaan komite. Dia menjelaskan anggota komite atau orangtua siswa pada umumnya, harus dijelaskan dengan detail perbedaan pungutan, sumbangan, dan bantuan. Sebab masyarakat mudah menilai bahwa setiap keluar uang berarti ada pungutan.
Kemudian Ramli juga mengingatkan Kemendikbud harus bisa memonitor kinerja komite. Supaya tidak terjadi kasta-kasta dalam sejumlah sekolah. Jangan sampai ada sekolah yang mewah sekali karena komitenya muda menampung uang. Dan di lain tempat ada sekolah yang tidak berubah sama sekali meskipun ada aturan itu.
Kemendikbud juga diminta untuk menetapkan kuota siswa miskin di setiap sekolah sesuai akreditasinya. “Jadi di sekolah dengan akreditasi A sekalipun, ada anak dari keluarga miskin,” tandasnya. Ramli mengingatkan dengan keluarnya aturan ini, bukan berarti potensi penyimpangan otomatis hilang. Sehingga Kemendikbud tetap melakukan kontrol.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhajir Effendy mengungkapkan, Permendikbud 75/2016 sejatinya membahas tentang komite sekolah. Kemendikbud ingin mereformasi peran komite sekolah ini agar bisa membantu sekolah dalam hal fundraising. Memang, di dalamnya ada klausul soal sumbangan dan ini bersifat sukarela. Tidak ada unsur paksaan atau menjurus langsung ke SPP.
”Nanti ada paket untuk mengatur peranan dan fungsi komite sekolah seperti yang diamanatkan dalam UU Sistem pendidikan Nasional. Salah satu kuncinya, kita bikin komite ini ikut membantu sekolah untuk majukan sekolah lewat penggalian dana dari masyarakat,” jelas ditemui usai rapat di Kantor Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan di Jakarta, kemarin (16/1).
Penggalangan dana ini pun dilarang keras berupa pungutan liar. Yang jadi prioritas adalah dalam bentuk CSR, sumbangan dermawan dan alumni. Karena itu, ia meminta sekolah mendata alumni-alumninya seperti perguruan tinggi. Terutama, alumni yang sudah berhasil.
”Kan tidak ada walikota yang gak sekolah SD, bupati ya SD. Kalau sudah gaji banyak ya nyumbang dong bagi sekolahnya. Kapan lagi, ya kan? Daripada buat beli rokok satu bulan bisa Rp 25 juta, mbok satu juta kasihkan sekolah,” ungkapnya.
Peran Komite Sekolah ini akan sangat krusial. Karena, nanti komite sudah bukan subordinasi dari kepala sekolah (kepsek). Tetapi counterpart. Oleh sebab itu, peranan orang tua siswa lebih dominan dibanding dulu. Dalam aturannya mewajibkan anggota komisi sekolah harus 50 persen diisi oleh wali murid.
”Dulu komite itu hanya nyetempeli kepsek saja. Yang begitu kita rombak itu,” ungkap Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang itu.
Dengan kebijakan ini, lanjut dia, para orang tua bisa lebih punya suara. Kebijakan yang berhubungan dengan sekolah pun bisa diputuskan bersama. Misalnya, untuk pembelian alat drumband. Karena keuangan tidak mencukupi, maka bisa dibawa ke forum. Di sana, bisa diputuskan apakah perlu adanya urunan atau bahkan dibatalkan.
Itupun, dilarang keras membandrol jumlah sumbangan. Dan harus jadi catatan, siswa miskin tidak boleh dipungut.
”Kalau sepakat ya beli. Kalau tidak ya nggakusah. Jadi kalau nanti ada anggota komite mau maksa-maksa mungut, ya diveto di komite. Nggak ada masalah itu,” jelasnya. (wan/mia/jpg/adz)