30 C
Medan
Monday, July 1, 2024

Ragam Sebab hingga Terjerembab

Kompleks Prostitusi Parloha, Kenikmatan Lain di Berastagi (2)

Bergaul dengan ‘warga’ Kompleks Prostitusi Parloha memunculkan banyak cerita. Mulai dirayu untuk memakai jasa mereka hingga menjadi tempat curahan hati alias curhat. Dari pergaulan itu, Sumut Pos menyadari beragam sebab hingga mereka bisa terjerembab di tempat itu.

KESUMA RAMADHAN, Medan

“Aku dijebak kawan. Katanya aku akan kerja di rumah makan dan bergaji besar,” pengakuan klasik keluar dari seorang Wanita Pekerja Seks (WPS) berinisial S.

Pengakuan wanita berusia 27 yang berasal dari Bukit Lawang Langkat itu memang sudah basi. Tapi, bagaimana dia bercerita seakan membuat suhu dingin alam pegunungan di Berastagi menghangat. Ya, S mampu mengulang kisah pahitnya dengan penuh kegairahan.

Apalagi ketika dia sudah terjebak di komplek itu, dia hanya bisa pasrah. Janda yang memiliki anak berusia tiga tahun itu seakan tak mampu melawan himpitan ekonomi yang menerpanya. Dan, soal himpitan ekonomi inilah yang menjadikan S menarik perhatian. Bagaimana tidak, dia rajin menabung. Hasil tabunganya itu dia berikan pada kakak kandungnya yang mengasuh sang buah hati. “Sebulan sekali aku pulang ke rumah untuk ngantarkan uang buat biaya anakku. Meskipun aku bisa mengumpulkan Rp3 Juta setiap bulan, biasanya aku selalu memberikan mereka Rp700 ribu hingga Rp 1 juta saja agar tidak dicurigai,” ucap S yang mengaku sudah setahun menetap di Parloha.

Bagi S dan sejumlah WPS lainnya, prinsip komersialisasi yang mereka tanamkan tak lain untuk pemenuhan kebutuhan hidup mereka dan keluarganya. Sehingga bagi mereka, uang adalah segalanya. Sedangkan dosa dan cinta, menjadi urutan kesekian dalam prioritas kehidupan. Sehingga tak salah jika mereka  menanamkan moto ‘ada uang abang sayang tak ada uang abang melayang’.

Lain halnya dengan kisah M (27). Wanita berbodi agak kurus dan berambut pendek ini terjerembab karena perlakuan seksualitas kasar yang dialaminya ketika masih berusia 12 tahun. Saat masih duduk di kelas V Sekolah Dasar (SD), M menjadi korban pemerkosaan oleh ketujuh kakak kelas di sekolahnya. Akibat kejadian itu, wanita kelahiran Purwokerto tersebut, mengalami trauma yang sangat mendalam. Ditambah lagi, dirinya harus menyimpan aib karena hamil.

“Tapi aku keguguran Bang di usia kehamilan tujuh bulan. Aku malu untuk sekolah lagi,” ungkapnya.

Setahun berikutnya atau pada 1994, M ditawari seorang teman bekerja di Medan dengan iming-iming gaji yang sangat besar. Tanpa pikir panjang dan pertimbangan matang, M mau saja.

M pun terdampar di lokalisasi di kawasan Bandar Baru. Dia sempat berusaha kabur, namun ia tak mampu meloloskan diri dari kawalan sejumlah pria berbadan besar.  M pun hanya bisa pasrah dengan nasib. Beruntung, setelah tiga tahun berlalu, M akhirnya diselamatkan oleh seorang tamu untuk lari meninggalkan lokasi yang hampir mirip dengan sebuah penjara tersebut.

“Kita dipaksa melayani para tamu dan hanya diberikan sebahagian dari penghasilan kita Bang. Lagian kita juga gak boleh keluar dari lokasi tempat tinggal kita bang,” terangnya soal lokalisasi Bandar Baru.

Sayang, dia tidak memiliki uang untuk bisa kembali ke Purwokerto. Akhirnya M memutuskan untuk bergabung di Komplek Parloha. “Di sini enak, selain bebas untuk berbuat, kami juga diperbolehkan untuk meninggalkan lokalisasi kapan saja ingin,” aku M.

Bahkan selama 12 tahun di komplek Parloha, M pernah kembali ke kampung halamannya untuk melepas rindu dengan kedua orangtuanya. “Sempat pulang kampung Bang, sebenarnya berniat untuk tidak lagi bekerja seperti ini (pekerja seks, Red). Tapi karena tidak memiliki pendidikan yang layak dan susah mencari kerja, akhirnya aku memutuskan untuk kembali lagi ke Komplek Parloha,” ucapnya.

Sekelumit kisah dan alasan ekonomi ini,  menjadi alasan kuat bagi para WPS untuk mempertahankan status pekerjaannya. Ya, sebuah perkerjaan yang bagi sebahagian orang dianggap tabu dan sebagai sampah di sebuah lingkungan masyarakat. Namun cibiran dan anggapan miring masyarakat atas pekerjaan mereka, hanya dianggap sebagai senandung rindu yang membisik di telinga.

“Ada yang peduli untuk membantu anakku kuliah. Emang masyarakat tau kalau kami bekerja seperti ini (pekerja seks) untuk menyelamatkan keluarga kami,” cetus T, seorang WPS yang berstatus janda beranak satu.

T harus berjuang sendiri untuk membesarkan dan memberikan pendidikan yang layak terhadap buah hatinya yang kini tengah menuntut ilmu di salahsatu perguruan tinggi di Kota Bandung. Tak jarang dirinya harus rela membanting tulang hingga pagi hari demi mengejar setoran dalam memenuhi kehidupannya dan kehidupan anak semata wayangnya.

“Suamiku merupakan pariban yang dijodohkan oleh keluargaku. Beberapa hari menikah dia pergi merantau dan saat itu aku tengah hamil. Tapi, dia bilang janin yang kukandung bukan anaknya. Dia malah mencurigai aku selingkuh dan pergi begitu saja,” terang T.

Begitulah, meski mereka kini yakin dengan pilihan hidup seperti itu, tetap saja ancaman Infeksi Menular Seks (IMS) tak bisa disepelekan. Apalagi, ‘warga’ di Komplek Parloha sudah ada yang divonis positif HIV. Tidak satu orang, tapi tiga! (bersambung)

Kompleks Prostitusi Parloha, Kenikmatan Lain di Berastagi (2)

Bergaul dengan ‘warga’ Kompleks Prostitusi Parloha memunculkan banyak cerita. Mulai dirayu untuk memakai jasa mereka hingga menjadi tempat curahan hati alias curhat. Dari pergaulan itu, Sumut Pos menyadari beragam sebab hingga mereka bisa terjerembab di tempat itu.

KESUMA RAMADHAN, Medan

“Aku dijebak kawan. Katanya aku akan kerja di rumah makan dan bergaji besar,” pengakuan klasik keluar dari seorang Wanita Pekerja Seks (WPS) berinisial S.

Pengakuan wanita berusia 27 yang berasal dari Bukit Lawang Langkat itu memang sudah basi. Tapi, bagaimana dia bercerita seakan membuat suhu dingin alam pegunungan di Berastagi menghangat. Ya, S mampu mengulang kisah pahitnya dengan penuh kegairahan.

Apalagi ketika dia sudah terjebak di komplek itu, dia hanya bisa pasrah. Janda yang memiliki anak berusia tiga tahun itu seakan tak mampu melawan himpitan ekonomi yang menerpanya. Dan, soal himpitan ekonomi inilah yang menjadikan S menarik perhatian. Bagaimana tidak, dia rajin menabung. Hasil tabunganya itu dia berikan pada kakak kandungnya yang mengasuh sang buah hati. “Sebulan sekali aku pulang ke rumah untuk ngantarkan uang buat biaya anakku. Meskipun aku bisa mengumpulkan Rp3 Juta setiap bulan, biasanya aku selalu memberikan mereka Rp700 ribu hingga Rp 1 juta saja agar tidak dicurigai,” ucap S yang mengaku sudah setahun menetap di Parloha.

Bagi S dan sejumlah WPS lainnya, prinsip komersialisasi yang mereka tanamkan tak lain untuk pemenuhan kebutuhan hidup mereka dan keluarganya. Sehingga bagi mereka, uang adalah segalanya. Sedangkan dosa dan cinta, menjadi urutan kesekian dalam prioritas kehidupan. Sehingga tak salah jika mereka  menanamkan moto ‘ada uang abang sayang tak ada uang abang melayang’.

Lain halnya dengan kisah M (27). Wanita berbodi agak kurus dan berambut pendek ini terjerembab karena perlakuan seksualitas kasar yang dialaminya ketika masih berusia 12 tahun. Saat masih duduk di kelas V Sekolah Dasar (SD), M menjadi korban pemerkosaan oleh ketujuh kakak kelas di sekolahnya. Akibat kejadian itu, wanita kelahiran Purwokerto tersebut, mengalami trauma yang sangat mendalam. Ditambah lagi, dirinya harus menyimpan aib karena hamil.

“Tapi aku keguguran Bang di usia kehamilan tujuh bulan. Aku malu untuk sekolah lagi,” ungkapnya.

Setahun berikutnya atau pada 1994, M ditawari seorang teman bekerja di Medan dengan iming-iming gaji yang sangat besar. Tanpa pikir panjang dan pertimbangan matang, M mau saja.

M pun terdampar di lokalisasi di kawasan Bandar Baru. Dia sempat berusaha kabur, namun ia tak mampu meloloskan diri dari kawalan sejumlah pria berbadan besar.  M pun hanya bisa pasrah dengan nasib. Beruntung, setelah tiga tahun berlalu, M akhirnya diselamatkan oleh seorang tamu untuk lari meninggalkan lokasi yang hampir mirip dengan sebuah penjara tersebut.

“Kita dipaksa melayani para tamu dan hanya diberikan sebahagian dari penghasilan kita Bang. Lagian kita juga gak boleh keluar dari lokasi tempat tinggal kita bang,” terangnya soal lokalisasi Bandar Baru.

Sayang, dia tidak memiliki uang untuk bisa kembali ke Purwokerto. Akhirnya M memutuskan untuk bergabung di Komplek Parloha. “Di sini enak, selain bebas untuk berbuat, kami juga diperbolehkan untuk meninggalkan lokalisasi kapan saja ingin,” aku M.

Bahkan selama 12 tahun di komplek Parloha, M pernah kembali ke kampung halamannya untuk melepas rindu dengan kedua orangtuanya. “Sempat pulang kampung Bang, sebenarnya berniat untuk tidak lagi bekerja seperti ini (pekerja seks, Red). Tapi karena tidak memiliki pendidikan yang layak dan susah mencari kerja, akhirnya aku memutuskan untuk kembali lagi ke Komplek Parloha,” ucapnya.

Sekelumit kisah dan alasan ekonomi ini,  menjadi alasan kuat bagi para WPS untuk mempertahankan status pekerjaannya. Ya, sebuah perkerjaan yang bagi sebahagian orang dianggap tabu dan sebagai sampah di sebuah lingkungan masyarakat. Namun cibiran dan anggapan miring masyarakat atas pekerjaan mereka, hanya dianggap sebagai senandung rindu yang membisik di telinga.

“Ada yang peduli untuk membantu anakku kuliah. Emang masyarakat tau kalau kami bekerja seperti ini (pekerja seks) untuk menyelamatkan keluarga kami,” cetus T, seorang WPS yang berstatus janda beranak satu.

T harus berjuang sendiri untuk membesarkan dan memberikan pendidikan yang layak terhadap buah hatinya yang kini tengah menuntut ilmu di salahsatu perguruan tinggi di Kota Bandung. Tak jarang dirinya harus rela membanting tulang hingga pagi hari demi mengejar setoran dalam memenuhi kehidupannya dan kehidupan anak semata wayangnya.

“Suamiku merupakan pariban yang dijodohkan oleh keluargaku. Beberapa hari menikah dia pergi merantau dan saat itu aku tengah hamil. Tapi, dia bilang janin yang kukandung bukan anaknya. Dia malah mencurigai aku selingkuh dan pergi begitu saja,” terang T.

Begitulah, meski mereka kini yakin dengan pilihan hidup seperti itu, tetap saja ancaman Infeksi Menular Seks (IMS) tak bisa disepelekan. Apalagi, ‘warga’ di Komplek Parloha sudah ada yang divonis positif HIV. Tidak satu orang, tapi tiga! (bersambung)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/