26 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Pemprovsu Minta Tambah Jatah Saham

Tambang Emas di Batangtoru

MEDAN- Kontrak kerja pemerintah dengan PT Agincourt Resources di penambangan emas Batangtoru, Tapanuli Selatan (Tapsel) sepertinya masih menyisakan ketidakpuasan bagi pemerintahan provinsi Sumatera Utara.
Di proyek pertambangan emas dengan investasi 575 Juta Dolar AS itu, PT Agincourt Resources atau G-Resources memberkan 5 persen sahamnya untuk pemprov dan pemkab Tapsel. Pembagiannya, 70 persen untuk Pemkab Tapsel n
dan 30 persen untuk Pemprovsu.

Menurut Communications Manager PT Agincourt, Katarina Hardono, dalam kontrak karya generasi ke 6 di pertambangan yang diberinama Proyek Martabe, G-Resources tidak berkeharusan menerima divestasi. Saham untuk pemerintah daerah diberikan atas dasar keinginan perusahaan sendiri. Share saham tersebut nantinya, harus dibayar pemerintah dan akan dilakukan melalui angsuran yang dananya didapat dari deviden, yang jangka waktunya belum bisa ditentukan.

“Jangka waktunya belum bisa ditentukan, karena proyek Martabe belum berproduksi. Tentu akan dibicarakan mekanismenya dengan pemerintah terkait,” papar Katarina Hardono.

Share saham 5 persen ternyata belum memuaskan Pelaksana Tugas (Plt) Gubsu, Gatot Pujo Nugroho. Gatot menginginkan negosiasi ulang antara pemkab Tapsel dan pemprov agar daerah diberi 10 sampai 20 persen share saham. “Saya minta minimal 10 persen. Dan itu sedang didiskusikan ulang. Saya minta kepada bupati, untuk menegosiasikan ulang,” katanya.

Bila pihak perusahaan tetap bersikukuh hanya memberi share saham sebesar 5 persen, dan tidak memenuhi permintaan share saham 10 persen, apa yang akan dilakukan? Gatot enggan menjawabnya dan malah kembali menanyakan hal itu kepada wartawan yang mengkerubutinya.“Usulan teman-teman minta berapa?,” tanyanya sembari meninggalkan wartawan.

Wakil Ketua DPRD Sumut Chaidir Ritonga menilai, share saham 5 persen untuk daerah adalah hal yang tidak adil. “Itu tidak fair. Di Madina saja Sorik Mas Mining memberikan saham 25 persen. Jadi, kontrak karya dengan PT Agincourt harus dinegosiasikan ulang,” tegasnya.

Jadi, semestinya berapa persen share saham yang diberikan kepada pemerintah daerah? “Semestinya, Pemerintah pusat dapat 5 persen, pemerintah provinsi 10 persen dan pemerintah kabupaten atau daerah 5 persen,” tuturnya.
Dekan Ekonomi USU, Jhon Tafbu juga menilai saham 5 persen untuk pemerintah daerah masih terlalu kecil. Selain itu, harus ada kejelasan terkait dengan saham tersebut dan kejelasan terkait hak masyarakat dan pemda setempat. “Jangan euforia terkait pertambangan ini, semua harus jelas mulai dari hak dan kewajiban agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” ujarnya. Selain itu, menurutnya ada dampak dri pertambangan ini terhadap daerah lain. “Pertambangan ini akan menjadi pendorong ekonomi di sekitar Tapsel,” tuturnya.

Terkait serapan tenaga kerja, Communications Manager PT Agincourt, Katarina Hardono menjelaskan kalau saat ini ada sekitar 1.500 pekerja. Sekitar 70 persennya direkrut dari masyarakat dari 10 desa di lingkar tambang Proyek Martabe.

Ke depannya, Katarina lagi, tentu akan bertambah dan targetnya 30 persen dari total jumlah karyawan adalah wanita. Posisi-posisi untuk wanita, dibuka di seluruh jajaran dan seluruh jenis pekerjaan, termasuk operator alat berat. Saat ini saja ada 20 lebih operator alat berat wanita yang bekerja di proyek Martabe.

Untuk bisa mencapai target ini pasti perlu komitmen tinggi untuk meningkatkan kapasitas dari para pekerja/karyawan, apalagi kita tentu sama-sama mengetahui bahwa dunia tambang ini masih terhitung dunia yang ‘baru’ di Sumatera Utara. “Tadinya, pekerja wanita sama sekali tidak bisa mengendarai kendaraan bermotor,” katanya.

Mengenai prospek pertambangan emas tersebut atau disebut Proyek Martabe tersebut, Katarina menjelaskan, yang jelas, saat ini PT Agincourt Resources atau G-Resources sedang berkonsentrasi penuh membangun proyek Martabe agar segera berproduksi sesuai jadwal yang sudah ditetapkan dan ini sudah di depan mata.

“Saat ini, proyek Martabe adalah satu-satunya asset utama G-Resources. Tidak menutup kemungkinan G-Resources akan melihat kemungkinan untuk mencari ladang tambang yang lain (dalam atau luar negeri), tapi pasti itu akan dipikirkan setelah proyek Martabe sukses berproduksi,” jelasnya.


Kembangkan Home Industry
Tingkat kesejahteraan masyarakat yang berada di sekitar Proyek Martabe, diharapkan akan memperbaiki nasib masyarakat di sekitar eksplorasi. G-Sources diyakini meningkatkan geliat ekonomi di kabupaten Tapsel. Tetapi Corporate Social Responsibility (CSR) yang akan diberikan pihak perusahaan dan diminta dialokasikan untuk pengembangan SDM setempat, diminta benar-benar disalurkan secara bertanggung jawab oleh pihak-pihak terkait.

Menurut dosen ekonomi Unimed dan Peneliti Ekonomi SEPPSs (Sumatera Ekonomy and Public Policy Studies), M Ishak, CSR tersebut sebaiknya dibagi, 40 persen untuk pendidikan dan 60 persen untuk sektor rill. Sektor rill tersebut dapat berupa pembanguanan home industry yang didirikan berbagai kecamatan, dan usahakan untuk industry tersebut bisa dalam bidang pertambangan. “Selain pendidikan, faktor lain yang mendukung kesejahteraan masyarakat adalah sektor riil,” ujarnya.

“Karena masa produksi 6-9 tahun, setidaknya home industry tersebut bergerak dalam bidang pertambangan, sehingga masyarakat juga dapat berada pada posisi yang lumayan dalam pertambangan,” ujarnya.

Sementara untuk pendidikan, masyarakat Tapsel sudah berada dalam tingkat pendidikan lumayan. Beberapa akademi pendidikan di sana. Karena itu, CSR yang diberikan tidak perlu didominasi pendidikan. “Tingkat pertumbuhan Tapsel sebetulnya lumayan, tanpa bantuan CSR, orangtua di Tapsel sudah mendesak anaknya untuk sekolah,” lanjutnya.(ari/mag-9)

Tambang Emas di Batangtoru

MEDAN- Kontrak kerja pemerintah dengan PT Agincourt Resources di penambangan emas Batangtoru, Tapanuli Selatan (Tapsel) sepertinya masih menyisakan ketidakpuasan bagi pemerintahan provinsi Sumatera Utara.
Di proyek pertambangan emas dengan investasi 575 Juta Dolar AS itu, PT Agincourt Resources atau G-Resources memberkan 5 persen sahamnya untuk pemprov dan pemkab Tapsel. Pembagiannya, 70 persen untuk Pemkab Tapsel n
dan 30 persen untuk Pemprovsu.

Menurut Communications Manager PT Agincourt, Katarina Hardono, dalam kontrak karya generasi ke 6 di pertambangan yang diberinama Proyek Martabe, G-Resources tidak berkeharusan menerima divestasi. Saham untuk pemerintah daerah diberikan atas dasar keinginan perusahaan sendiri. Share saham tersebut nantinya, harus dibayar pemerintah dan akan dilakukan melalui angsuran yang dananya didapat dari deviden, yang jangka waktunya belum bisa ditentukan.

“Jangka waktunya belum bisa ditentukan, karena proyek Martabe belum berproduksi. Tentu akan dibicarakan mekanismenya dengan pemerintah terkait,” papar Katarina Hardono.

Share saham 5 persen ternyata belum memuaskan Pelaksana Tugas (Plt) Gubsu, Gatot Pujo Nugroho. Gatot menginginkan negosiasi ulang antara pemkab Tapsel dan pemprov agar daerah diberi 10 sampai 20 persen share saham. “Saya minta minimal 10 persen. Dan itu sedang didiskusikan ulang. Saya minta kepada bupati, untuk menegosiasikan ulang,” katanya.

Bila pihak perusahaan tetap bersikukuh hanya memberi share saham sebesar 5 persen, dan tidak memenuhi permintaan share saham 10 persen, apa yang akan dilakukan? Gatot enggan menjawabnya dan malah kembali menanyakan hal itu kepada wartawan yang mengkerubutinya.“Usulan teman-teman minta berapa?,” tanyanya sembari meninggalkan wartawan.

Wakil Ketua DPRD Sumut Chaidir Ritonga menilai, share saham 5 persen untuk daerah adalah hal yang tidak adil. “Itu tidak fair. Di Madina saja Sorik Mas Mining memberikan saham 25 persen. Jadi, kontrak karya dengan PT Agincourt harus dinegosiasikan ulang,” tegasnya.

Jadi, semestinya berapa persen share saham yang diberikan kepada pemerintah daerah? “Semestinya, Pemerintah pusat dapat 5 persen, pemerintah provinsi 10 persen dan pemerintah kabupaten atau daerah 5 persen,” tuturnya.
Dekan Ekonomi USU, Jhon Tafbu juga menilai saham 5 persen untuk pemerintah daerah masih terlalu kecil. Selain itu, harus ada kejelasan terkait dengan saham tersebut dan kejelasan terkait hak masyarakat dan pemda setempat. “Jangan euforia terkait pertambangan ini, semua harus jelas mulai dari hak dan kewajiban agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” ujarnya. Selain itu, menurutnya ada dampak dri pertambangan ini terhadap daerah lain. “Pertambangan ini akan menjadi pendorong ekonomi di sekitar Tapsel,” tuturnya.

Terkait serapan tenaga kerja, Communications Manager PT Agincourt, Katarina Hardono menjelaskan kalau saat ini ada sekitar 1.500 pekerja. Sekitar 70 persennya direkrut dari masyarakat dari 10 desa di lingkar tambang Proyek Martabe.

Ke depannya, Katarina lagi, tentu akan bertambah dan targetnya 30 persen dari total jumlah karyawan adalah wanita. Posisi-posisi untuk wanita, dibuka di seluruh jajaran dan seluruh jenis pekerjaan, termasuk operator alat berat. Saat ini saja ada 20 lebih operator alat berat wanita yang bekerja di proyek Martabe.

Untuk bisa mencapai target ini pasti perlu komitmen tinggi untuk meningkatkan kapasitas dari para pekerja/karyawan, apalagi kita tentu sama-sama mengetahui bahwa dunia tambang ini masih terhitung dunia yang ‘baru’ di Sumatera Utara. “Tadinya, pekerja wanita sama sekali tidak bisa mengendarai kendaraan bermotor,” katanya.

Mengenai prospek pertambangan emas tersebut atau disebut Proyek Martabe tersebut, Katarina menjelaskan, yang jelas, saat ini PT Agincourt Resources atau G-Resources sedang berkonsentrasi penuh membangun proyek Martabe agar segera berproduksi sesuai jadwal yang sudah ditetapkan dan ini sudah di depan mata.

“Saat ini, proyek Martabe adalah satu-satunya asset utama G-Resources. Tidak menutup kemungkinan G-Resources akan melihat kemungkinan untuk mencari ladang tambang yang lain (dalam atau luar negeri), tapi pasti itu akan dipikirkan setelah proyek Martabe sukses berproduksi,” jelasnya.


Kembangkan Home Industry
Tingkat kesejahteraan masyarakat yang berada di sekitar Proyek Martabe, diharapkan akan memperbaiki nasib masyarakat di sekitar eksplorasi. G-Sources diyakini meningkatkan geliat ekonomi di kabupaten Tapsel. Tetapi Corporate Social Responsibility (CSR) yang akan diberikan pihak perusahaan dan diminta dialokasikan untuk pengembangan SDM setempat, diminta benar-benar disalurkan secara bertanggung jawab oleh pihak-pihak terkait.

Menurut dosen ekonomi Unimed dan Peneliti Ekonomi SEPPSs (Sumatera Ekonomy and Public Policy Studies), M Ishak, CSR tersebut sebaiknya dibagi, 40 persen untuk pendidikan dan 60 persen untuk sektor rill. Sektor rill tersebut dapat berupa pembanguanan home industry yang didirikan berbagai kecamatan, dan usahakan untuk industry tersebut bisa dalam bidang pertambangan. “Selain pendidikan, faktor lain yang mendukung kesejahteraan masyarakat adalah sektor riil,” ujarnya.

“Karena masa produksi 6-9 tahun, setidaknya home industry tersebut bergerak dalam bidang pertambangan, sehingga masyarakat juga dapat berada pada posisi yang lumayan dalam pertambangan,” ujarnya.

Sementara untuk pendidikan, masyarakat Tapsel sudah berada dalam tingkat pendidikan lumayan. Beberapa akademi pendidikan di sana. Karena itu, CSR yang diberikan tidak perlu didominasi pendidikan. “Tingkat pertumbuhan Tapsel sebetulnya lumayan, tanpa bantuan CSR, orangtua di Tapsel sudah mendesak anaknya untuk sekolah,” lanjutnya.(ari/mag-9)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/