30.6 C
Medan
Tuesday, May 28, 2024

Besok Nasib Tambang Emas Martabe Dibahas

MEDAN-Nasib tambang emas Martabe tampaknya akan menemukan titik terang. Besok (Selasa, 18/9), kelanjutan tambang tersebut akan dibincangkan Pemprovsu dengan pihak perusahaan tambang emas yang beroperasi di Kecamatan Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel), PT Agincourt Resources di Kantor Gubsu Jalan Diponegoro, Medan.

TAMBANG: Lokasi pabrik pengolahan emas  Martabe  Batangtoru Tapanuli Selatan. //toga mh siahaan/sumut pos
TAMBANG: Lokasi pabrik pengolahan emas Martabe di Batangtoru Tapanuli Selatan. //toga mh siahaan/sumut pos

Itu dikemukakan Kepala Bidang (Kabid) Pertambangan dan Energi. Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Sumatera Utara (Sumut), Zubaidi. “Kami (Distamben, Red) dan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumut beberapa hari lalu, sudah turun ke lapangan untuk meneliti apa yang sebenarnya terjadi di sana. Selasa (18/9) nanti, akan ada pertemuan di Kantor Gubsu membahas itu,” ungkap Zubaidi.

Dijelaskannya, dari hasil tim yang turun ke lokasi terjadi ketidaksepahaman antara perusahaan tambang dan masyarakat. “Makanya BLH yang diminta untuk turun karena berkaitan dengan limbah. Sebenarnya, perusahaan itu belum beroperasi dan belum membuang limbahnya. Soal izin operasional perusahaan itu, tidak ada masalah lagi,” tambahnya.

Secara terpisah, Wakil Ketua DPRD Sumut, Kamaluddin Harahap yang merupakan putra daerah Tapsel, menyatakan konflik terjadi karena tidak maksimal dalam melakukan sosialisasi terkait limbah perusahaan. Sehingga, persepsi yang muncul antara kedua belah pihak tidak sinkron.

“Harus maksimal sosialisasi yang dilakukan. Bagaimana soal limbah dan sebagainya. Berarti tidak maksimal apa yang dilakukan perusahaan,” tegas politisi dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPRD Sumut ini.

Kamaluddin juga mengatakan, dirinya sempat mendengar soal saham yang diberikan PT Agincourt Resources kepada Pemprovsu dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tapsel bukan lima persen.

“Saya dengar sendiri dari pihak Distamben Sumut kalau golden share saham yang diterima pemerintah daerah, dalam hal ini Pemprovsu dan Pemkab Tapsel hanya satu persen,” tukasnya.

Lebih lanjut, Kamaluddin mengatakan dalam hal ini dibutuhkan adanya peran serta DPRD Sumut, untuk turut serta menyelesaikan masalah yang ada. “Saya pikir dibutuhkan adanya Pansus dari DPRD Sumut, menyelesaikan persoalan ini,” imbuhnya.

Kembali ke persoalan saham, Zubaidi menjelaskan tidak benar yang diberikan hanya satu persen. “Kita menerima lima persen. 70 persen dari lima persen golden share saham itu untuk Pemkab Tapsel, dan 30 persennya untuk Pemprovsu,” tuturnya.

Dari Jakarta, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, memang investasi itu penting karena bisa menyerap tenaga kerja lokal, yang ujung-ujungnya bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar lokasi tambang.  Hanya saja, lanjut pria kelahiran Delitua itu, kerusakan lingkungan sebagai dampak pembuangan limbah (tailling) tambang emas itu juga harus menjadi perhatian semua kalangan.

Jangan Meniru Freeport

Marwan menilai, pembuangan limbang tambah emas ke sungai memang berbahaya. Dia memberi contoh pembuangan limbah tambang emas Freeport, Papua, ke sungai Ajkwa, yang berdampak kerusakan lingkungan cukup hebat.

“Jangan diulangi lagi kasus Freeport yang membuang tailling lewat sungai Ajkwa. Pohon-pohon di sana habis sepanjang 18 kilometer, dari tambang ke arah laut. Pohon-pohon menguning, setelah itu mati. Belum lagi banyak biota laut yang tercemar. Jadi, kasus Freeport harus menjadi pelajaran berharga,” urai mantan General Manager PT Indosat itu, Minggu (16/9).

Pria yang getol mengikuti isu-isu pertambangan itu mengatakan, dampak lingkungan sering kali tidak dihitung oleh pemerintah, baik pusat, apalagi pemda. Untuk Sungai Batangtoru misalnya, menurutnya bakal sangat tercemar bila perusahaan tambang G-Resource Martabe yang operasionalnya dijalankan PT Agincourt Resource itu membuang tailling lewat sungai tersebut.

Karenanya, Marwan menilai, penolakan oleh warga merupakan hal yang wajar. “Meski ada yang menunggangi misalnya, aksi penolakan warga itu menurut saya sangat wajar,” ujarnya.

Bagaimana tidak, lanjut dia, nantinya sepanjang alur sungai Batangtoru bakal tercemar. “Bukan saja ikan-ikannya mati, tapi bagaimana jika selama ini ada warga yang minum dari air sungai itu, juga nyuci di sungai itu. Kalau ada warga yang sakit karena tercemar limbah buangan tambang emas, lantas mati, apakah ini pernah dihitung oleh pemerintah sebagai kerugian?” beber Marwan.

Dia memberi contoh pertambangan emas Newmont di NTB, yang membuang taillingnya dengan membuat pipa menuju laut. “Taillingnya Newmont itu dibuang ke dasar laut dengan menggunakan pipa, itu pun diprotes warga karena berdampak pada biota laut. Padahal membuang tailling ke laut itu lebih aman bagi warga sekitar dibanding lewat aliran sungai,” ujar Marwan.

Menanggapi pernyataan Komisaris G-Resource Martabe, Anwar Nasution bahwa limbah sudah diproses sesuai kajian AMDAL dan Kepmen Lingkungan Hidup tentang baku mutu air, Marwan mengatakan, tetap perlu kajian serius bila limbah dibuang lewat sungai Batangtoru.

Namun, lanjutnya, agar persoalan ini segera beres, dengan solusi yang tidak merugikan perusahaan dan juga tidak merugikan warga, Marwan meminta pemerintah tegas. Pemprov Sumut sebagai wakil pusat di daerah, diminta segera turun tangan.

“Jangan membiarkan konflik terjadi antara perusahaan dengan warga, sementara pemerintah hanya menjadi penonton. Pemerintah jangan hanya berpihak ke investor, hanya mikir royalty, tapi tidak memikirkan kemungkinan rakyat tercemar, sekarat dan mati,” tegasnya. Pemda diminta membuat kajian yang serius dan menjadikan kasus Freeport sebagai pertimbangan penting.

Sementara itu, Pengamat Lingkungan Hidup Ir Jaya Arjuna MSc menerangkan,  jika limbah emas menggunakan bahan teknologi seperti Mercury dan Sianida. Namun kini pengolahan menggunakan mercury mulai ditinggalkan karena dianggap bahan yang berbahaya. Sementara Sianida, tidak berbahaya jika di bawah kandungan baku mutu.

Apalagi kini, teknologi menggunakan sianida sudah mengcover teknologinya dengan takaran yang aman. “Sianida jika dalam kandungan dibawah baku mutu masih aman karena ubi juga mengandung Sianida dan bisa dikeluarkan dari air seni. Tapi jika melewati kandungan baku mutu maka sianida bisa mematikan seperti kasus kematian Munir yang ditemukan adanya bahan Sianida,”ujarnya.

Mengenai Batangtoru, Jaya melihat jika saat ini produksinya memang telah berjalan. Hanya saja dari amatannya yang dilakukannya, limbahnya belum dibuang ke lingkungan, dan masih ditampung di kolam penampungan limbah pabrik tersebut.

“Hanya saja enam bulan kedepan kolam ini tidak bisa lagi menampung jumlah kapasitas limbahnya, sehingga diprediksi akan tercemar ke lingkungan,”ujarnya.

Meskipun pada dasarnya dengan teknologi baru telah mengcover dampak Sianida, tapi masyarakat tetap menolak jika limbah tersebut dibuang ke sungai. Karena kesepakatan awal jika perusahaan tersebut akan membuang limbahnya ke laut.

“Karena untuk buang limbah ke laut biaya produksi lebih besar dan itu menjadi alasan pelaku produksi untuk membuangnya ke sungai. Meskipun mereka nyatakan aman tentu saja masyarakat tidak akan terima karena belum tentu buangan limbah bisa terolah dengan baik. Seperti yang saya katakan sebelumnya,  jika melewati baku mutu maka sianida berpotensi untuk membunuh,”ucapnya.

Sebenarnya masalah ini menurut Jaya, lebih karena kurangnya sosialisasi, sehingga polemik tersebut terus terjadi. “Namun tetap saja kalau ingin berproduksi. Ya harus siap keluar biaya besar, dan jangan mengorbankan masyarakat banyak,” tegasnya. (ari/sam/uma)

MEDAN-Nasib tambang emas Martabe tampaknya akan menemukan titik terang. Besok (Selasa, 18/9), kelanjutan tambang tersebut akan dibincangkan Pemprovsu dengan pihak perusahaan tambang emas yang beroperasi di Kecamatan Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel), PT Agincourt Resources di Kantor Gubsu Jalan Diponegoro, Medan.

TAMBANG: Lokasi pabrik pengolahan emas  Martabe  Batangtoru Tapanuli Selatan. //toga mh siahaan/sumut pos
TAMBANG: Lokasi pabrik pengolahan emas Martabe di Batangtoru Tapanuli Selatan. //toga mh siahaan/sumut pos

Itu dikemukakan Kepala Bidang (Kabid) Pertambangan dan Energi. Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Sumatera Utara (Sumut), Zubaidi. “Kami (Distamben, Red) dan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumut beberapa hari lalu, sudah turun ke lapangan untuk meneliti apa yang sebenarnya terjadi di sana. Selasa (18/9) nanti, akan ada pertemuan di Kantor Gubsu membahas itu,” ungkap Zubaidi.

Dijelaskannya, dari hasil tim yang turun ke lokasi terjadi ketidaksepahaman antara perusahaan tambang dan masyarakat. “Makanya BLH yang diminta untuk turun karena berkaitan dengan limbah. Sebenarnya, perusahaan itu belum beroperasi dan belum membuang limbahnya. Soal izin operasional perusahaan itu, tidak ada masalah lagi,” tambahnya.

Secara terpisah, Wakil Ketua DPRD Sumut, Kamaluddin Harahap yang merupakan putra daerah Tapsel, menyatakan konflik terjadi karena tidak maksimal dalam melakukan sosialisasi terkait limbah perusahaan. Sehingga, persepsi yang muncul antara kedua belah pihak tidak sinkron.

“Harus maksimal sosialisasi yang dilakukan. Bagaimana soal limbah dan sebagainya. Berarti tidak maksimal apa yang dilakukan perusahaan,” tegas politisi dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPRD Sumut ini.

Kamaluddin juga mengatakan, dirinya sempat mendengar soal saham yang diberikan PT Agincourt Resources kepada Pemprovsu dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tapsel bukan lima persen.

“Saya dengar sendiri dari pihak Distamben Sumut kalau golden share saham yang diterima pemerintah daerah, dalam hal ini Pemprovsu dan Pemkab Tapsel hanya satu persen,” tukasnya.

Lebih lanjut, Kamaluddin mengatakan dalam hal ini dibutuhkan adanya peran serta DPRD Sumut, untuk turut serta menyelesaikan masalah yang ada. “Saya pikir dibutuhkan adanya Pansus dari DPRD Sumut, menyelesaikan persoalan ini,” imbuhnya.

Kembali ke persoalan saham, Zubaidi menjelaskan tidak benar yang diberikan hanya satu persen. “Kita menerima lima persen. 70 persen dari lima persen golden share saham itu untuk Pemkab Tapsel, dan 30 persennya untuk Pemprovsu,” tuturnya.

Dari Jakarta, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, memang investasi itu penting karena bisa menyerap tenaga kerja lokal, yang ujung-ujungnya bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar lokasi tambang.  Hanya saja, lanjut pria kelahiran Delitua itu, kerusakan lingkungan sebagai dampak pembuangan limbah (tailling) tambang emas itu juga harus menjadi perhatian semua kalangan.

Jangan Meniru Freeport

Marwan menilai, pembuangan limbang tambah emas ke sungai memang berbahaya. Dia memberi contoh pembuangan limbah tambang emas Freeport, Papua, ke sungai Ajkwa, yang berdampak kerusakan lingkungan cukup hebat.

“Jangan diulangi lagi kasus Freeport yang membuang tailling lewat sungai Ajkwa. Pohon-pohon di sana habis sepanjang 18 kilometer, dari tambang ke arah laut. Pohon-pohon menguning, setelah itu mati. Belum lagi banyak biota laut yang tercemar. Jadi, kasus Freeport harus menjadi pelajaran berharga,” urai mantan General Manager PT Indosat itu, Minggu (16/9).

Pria yang getol mengikuti isu-isu pertambangan itu mengatakan, dampak lingkungan sering kali tidak dihitung oleh pemerintah, baik pusat, apalagi pemda. Untuk Sungai Batangtoru misalnya, menurutnya bakal sangat tercemar bila perusahaan tambang G-Resource Martabe yang operasionalnya dijalankan PT Agincourt Resource itu membuang tailling lewat sungai tersebut.

Karenanya, Marwan menilai, penolakan oleh warga merupakan hal yang wajar. “Meski ada yang menunggangi misalnya, aksi penolakan warga itu menurut saya sangat wajar,” ujarnya.

Bagaimana tidak, lanjut dia, nantinya sepanjang alur sungai Batangtoru bakal tercemar. “Bukan saja ikan-ikannya mati, tapi bagaimana jika selama ini ada warga yang minum dari air sungai itu, juga nyuci di sungai itu. Kalau ada warga yang sakit karena tercemar limbah buangan tambang emas, lantas mati, apakah ini pernah dihitung oleh pemerintah sebagai kerugian?” beber Marwan.

Dia memberi contoh pertambangan emas Newmont di NTB, yang membuang taillingnya dengan membuat pipa menuju laut. “Taillingnya Newmont itu dibuang ke dasar laut dengan menggunakan pipa, itu pun diprotes warga karena berdampak pada biota laut. Padahal membuang tailling ke laut itu lebih aman bagi warga sekitar dibanding lewat aliran sungai,” ujar Marwan.

Menanggapi pernyataan Komisaris G-Resource Martabe, Anwar Nasution bahwa limbah sudah diproses sesuai kajian AMDAL dan Kepmen Lingkungan Hidup tentang baku mutu air, Marwan mengatakan, tetap perlu kajian serius bila limbah dibuang lewat sungai Batangtoru.

Namun, lanjutnya, agar persoalan ini segera beres, dengan solusi yang tidak merugikan perusahaan dan juga tidak merugikan warga, Marwan meminta pemerintah tegas. Pemprov Sumut sebagai wakil pusat di daerah, diminta segera turun tangan.

“Jangan membiarkan konflik terjadi antara perusahaan dengan warga, sementara pemerintah hanya menjadi penonton. Pemerintah jangan hanya berpihak ke investor, hanya mikir royalty, tapi tidak memikirkan kemungkinan rakyat tercemar, sekarat dan mati,” tegasnya. Pemda diminta membuat kajian yang serius dan menjadikan kasus Freeport sebagai pertimbangan penting.

Sementara itu, Pengamat Lingkungan Hidup Ir Jaya Arjuna MSc menerangkan,  jika limbah emas menggunakan bahan teknologi seperti Mercury dan Sianida. Namun kini pengolahan menggunakan mercury mulai ditinggalkan karena dianggap bahan yang berbahaya. Sementara Sianida, tidak berbahaya jika di bawah kandungan baku mutu.

Apalagi kini, teknologi menggunakan sianida sudah mengcover teknologinya dengan takaran yang aman. “Sianida jika dalam kandungan dibawah baku mutu masih aman karena ubi juga mengandung Sianida dan bisa dikeluarkan dari air seni. Tapi jika melewati kandungan baku mutu maka sianida bisa mematikan seperti kasus kematian Munir yang ditemukan adanya bahan Sianida,”ujarnya.

Mengenai Batangtoru, Jaya melihat jika saat ini produksinya memang telah berjalan. Hanya saja dari amatannya yang dilakukannya, limbahnya belum dibuang ke lingkungan, dan masih ditampung di kolam penampungan limbah pabrik tersebut.

“Hanya saja enam bulan kedepan kolam ini tidak bisa lagi menampung jumlah kapasitas limbahnya, sehingga diprediksi akan tercemar ke lingkungan,”ujarnya.

Meskipun pada dasarnya dengan teknologi baru telah mengcover dampak Sianida, tapi masyarakat tetap menolak jika limbah tersebut dibuang ke sungai. Karena kesepakatan awal jika perusahaan tersebut akan membuang limbahnya ke laut.

“Karena untuk buang limbah ke laut biaya produksi lebih besar dan itu menjadi alasan pelaku produksi untuk membuangnya ke sungai. Meskipun mereka nyatakan aman tentu saja masyarakat tidak akan terima karena belum tentu buangan limbah bisa terolah dengan baik. Seperti yang saya katakan sebelumnya,  jika melewati baku mutu maka sianida berpotensi untuk membunuh,”ucapnya.

Sebenarnya masalah ini menurut Jaya, lebih karena kurangnya sosialisasi, sehingga polemik tersebut terus terjadi. “Namun tetap saja kalau ingin berproduksi. Ya harus siap keluar biaya besar, dan jangan mengorbankan masyarakat banyak,” tegasnya. (ari/sam/uma)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/