Melalui game online, Qajoo Studio yakin bisa menyumbangkan hal positif untuk bangsa. Selain ada potensi dari aspek bisnis, Alexander Budiman, pendiri Qajoo Studio, percaya pelestarian sejarah dan segala identitas negara bisa dipertahankan melalui game-game digital. Cara itu lebih mengena karena kini pengguna gadget, terutama ponsel pintar (smartphone), membanjir.
SUGENG SULAKSONO, Jakarta
Kisah pewayangan Baratayuda, perang besar keluarga Pandawa melawan Kurawa di Kurusetra, kini hangat diperbincangkan lagi. Terutama di kalangan penggemar genre role playing game (RPG) online. Melalui game bertajuk Kurusetra, Qajoo Studio, rumah kreatif asli Indonesia, mengadopsi penggalan kisah yang di India juga dikenal sebagai rangkaian kisah Mahabarata itu.
“Sejak launching (tiga pekan lalu, Red), sudah ada sekitar 15 ribu pengunduh di iPhone. Lucunya, orang-orang bule juga pakai meski istilah-istilah di game itu menggunakan bahasa Indonesia. Responsnya juga bagus, mendukung sekali, dan membuat kami tambah semangat,” ujar Alexander Budiman, CEO sekaligus pendiri Qajoo Studio, kepada Jawa Pos di kawasan Thamrin, Jakarta, Senin pagi (11/5).
Selain dari tanda pengunduh, Alex “sapaan akrab Alexander Budiman” bisa mengetahui asal dan respons penggunanya dari fasilitas chatting yang ada di game tersebut. Itu tidak membuatnya berpikir untuk mengganti berbagai istilah yang sangat Indonesia di dalamnya. Sebaliknya, hal tersebut justru jadi momen memperkenalkan dan memperkuat segala identitas tentang negara ini.
Itulah memang tujuan Qajoo Studio. Dia ingin membuktikan bahwa Indonesia mampu bersaing di bidang teknologi, khususnya dalam pembuatan game. Agar lebih bernuansa lokal, semua kisah yang diusung akan mengadopsi kisah “baik nyata maupun cerita rakyat” asli dari dalam negeri.
Kisah Mahabarata, menurut Alex, memang sangat terkenal berasal dari India. Namun, berdasar berbagai riset yang dia lakukan bersama timnya, Baratayuda diyakini adalah cerita dari Indonesia. “Kami melakukan riset sekitar tiga bulan. Semua tim kami minta mencari referensi, lalu kami baca dan diskusikan,” ujar pria kelahiran Padang, 13 September 1978, tersebut.
Timnya sepakat RPG perdananya itu berlatar belakang perang Baratayuda. Sebab, selain Baratayuda merupakan perang kolosal sehingga cocok untuk jenis permainannya, mayoritas anggota berdarah Jawa. “Saya sendiri menyenangi budaya Jawa,” ucapnya.
Serunya perdebatan membangun game Kurusetra justru terjadi saat menentukan bentuk sesungguhnya senjata yang digunakan, cara memukul, bentuk ilmu bela dirinya, dan lain-lain. “Nah, di situ kami tidak mengekang kreativitas masing-masing. Kami bebaskan saja supaya imajinasi berkembang karena yang terpenting game-nya seru dan bisa dinikmati banyak orang,” tegasnya.