28.9 C
Medan
Saturday, May 4, 2024

Berpihak ke Satu Caleg, 7 Komisioner KPU Sumut Disanksi DKPP, Yulhasni Dicopot dari Ketua KPU

Komisioner KPU Sumut, Yulhasni.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Tujuh komisioner KPU Provinsi Sumut mendapat peringatan keras dari Dewan Kehormatan Penyelenggaran.

Pemilu (DKPP). Bahkan, Yulhasni harus merelakan jabatan Ketua KPU Sumut dilepas. Benget Manahan Silitonga juga dicopot dari jabatan Divisi Teknis.

Informasi yang diperoleh Sumut Pos dari halaman resmi DKPP, ketujuh komisioner KPU Sumut itu dijatuhkan sanksi atas pengaduan Caleg DPR RI dari Partai Golkar, Rambe Kamaruzzaman. Di mana, kasus yang berawal dari saling tuding penggelembungan suara tersebut dicoba diselesaikan oleh KPU Sumut dengan meminta agar KPU Nias Barat melakukan penghitungan ulang dengan membuka kotak suara.

Hal ini justru dianggap sebagai bentuk keberpihakan oleh Rambe Kamaruzzaman dan kemudian mengadukan hal itu ke DKPP. Menurut DKPP, yang dilakukan KPU Sumut dan jajarannya tersebut merupakan bentuk keberpihakan kepada caleg DPR-RI dari Partai Golkar lainnya, Lamhot Sinaga, yang hanya melaporkan dugaan penggelembungan suara tersebut tanpa disertai bukti.

Terlebih, pengaduan tersebut langsung ditindaklanjuti KPU Sumut dengan mengeluarkan surat resmi nomor: 368/PL.02.4-SD/12/Prov/V/2019 yang berisikan perintah untuk melakukan pemeriksaan/kroscek data hasil rekapitulasi tingkat kecamatan (formulir DA1-DPR dan formulir DAA1-DPR) dengan formulir C1-DPR Hologram atau formulir C1-DPR Plano di 3 (tiga) Kecamatan yaitu Lahomi, Lolofitu Moi, Mandrehe.

Ironisnya, DKPP sepertinya tidak melihat hasil dari putusan sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga sempat menggelar sidang atas perkara ini. Dalam sidang , KPU membantah adanya penggelembungan suara kepada Lamhot. Yang ditemukan justru adanya penggelembungan suara untuk Rambe.

Dalam putusannya DKPP tetap menyebutkan langkah yang ditempuh oleh KPU Sumut dalam menindaklanjuti pengaduan dugaan penggelembungan suara tersebut sebagai langkah yang melanggar kode etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu.

DKPP RI pun menjatuhkan sanksi pemberhentian Yulhasni dari jabatan Ketua KPU Provinsi Sumut. “Menjatuhkan sanksi peringatan keras dan pemberhentian dari jabatan Ketua kepada teradu I Yulhasni selaku Ketua merangkap anggota KPU,” begitu petikan salinan putusan DKPP point kedua seperti dilihat, Rabu (17/7).

Selain menjatuhkan sanksi kepada Yulhasni, DKPP juga memberikan sanksi kepada Benget Manahan Silitonga sebagai teradu III berupa sangksi peringatan keras dan pemberhentian jabatan Divisi Teknis selaku anggota KPU sejak putusan dibacakan.

Komisioner KPU Sumut lainnya seperti Mulia Banurea (teradu II), Herdensi Adnin (teradu IV), Ira Wirtati (teradu V) , Syafrial Syah (teradu VI), Batara Manurung (teradu VII) juga dijatuhkan sanksi berupa peringatan keras.Tidak ketinggalan Famataro Zai sebagai teradu VIII juga dijatuhi sanksi peringatan keras dan pemberhentian dari jabatan Ketua merangkap anggota KPU Nias Barat.

Teradu XII, Nigatinia Galo juga diberikan sanksi dan pemberhentian dari jabatan divisi selaku anggota KPU Nias Barat. Sanksi peringaratan keras juga diterima teradu IX Efori Zaluchu, teradu X Markus Makna Richard Hia, teradu XI Maranata Gulo masing-masing selaku anggota KPU Nias Barat. Anggota KPU RI, Evi Novida Ginting juga tidak lepas dari sanksi peringatan keras dari DKPP selaku teradu XIII.

“Memerintahkan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia untuk melaksanakan putusan tersebut paling lama 7 hari sejak putusan dibacakan,” bunyi salinan putusan DKPP point ke-9.. Sedangkan putusan DKPP poin ke 10, memerintahkan Bawaslu RI untuk mengawasi pelaksanaan putusan tersebut.

Menyikapi putusan tersebut, Yulhasni mengaku akan mengikuti putusan yang dijatuhkan DKPP pada dirinya. “Belum mendapatkan salinan putusan, kami menghormati keputusan DKPP dan kami akan kami jalani,” ucap Yulhasni kepada wartawan di Medan, Rabu (17/7) malam.

Yulhasni menjelaskan, dirinya akan mengikuti segala bentuk putusan tersebut. Namun begitu, ia mengakui belum menerima salinan putusan DKPP itu. “Kami menunggu langkah selanjutnya dari KPU RI dan kami akan menggelar rapat pleno,” pungkas Yulhasni.

Komosioner KPU Sumut Benget M Silitonga juga mengaku menghargai putusan tersebut dan akan mempelajari putusan tersebut. “Kita pelajari dulu, kita tunggu salinan putusan,” tutur Benget.

Benget juga mengatakan, belum bisa menjelaskan langkah ke depan apa yang dilakukan dirinya untuk menyikapi putusan itu. “Setelah kita pelajari (salinan putusan) terlebih dahulu. Baru lah, kita ambil langkah-langkah selanjutnya,” tandas Benget.

Putusan DKPP yang mecopot Yulhasni dari posisi Ketua KPU Sumut, dinilai Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Sumut, Benjamin Pinem ST MM sebagai bentuk hukuman terhadap tidak profesionalnya jajaran KPU Sumut dalam menjalani tugasnya. Benjamin mengaku prihatin atas putusan tersebut, karena menjadi catatan sejarah Ketua KPU Sumut dicopot dari jabatannya karena diduga melanggar kode etik. “Kesimpulan DKPP yang menyebut para teradu bekerja tidak profesional harus menjadi pelajaran berharga bagi seluruh jajaran penyelenggara pemilu di Sumut,” sebut Benjamin.

Benjamin mengatakan, putusan DKPP ini sebagai bentuk pelajaran bagi penyelenggara pemilu untuk bekerja profesional dan tidak berpihak dengan seorang Caleg atau partai politik dalam menjalani tugasnya. “Kedepannya, sesama penyelenggara pemilu baik itu KPU, DKPP dan Bawaslu haruslah saling menghargai dan menghormati dalam menjalankan tugasnya masing-masing,” sebut Bejamin.

Benjamin berharap, kejadian seperti ini tidak boleh terjadi lagi pada perhelatan pilkada serentak 2020 mendatang. “Karena seluruh penyelenggara pemilu mestinya menjaga kepercayaan publik, sehingga hasilnya kedepan dapat diterima masyarakat luas,” jelas Benjamin.

Sementara itu, Pengamat politik Sumut, Faisal Riza mengatakan, putusan itu semacam menandakan KPU harus melakukan evaluasi terkait kerja yang berdasarkan peraturan dan konstitusi. “Evaluasi itu bisa konkrit dengan cara memilih ketua yang baru. Apalagi kita mau menyambut pilkada serentak,” ungkap Faisal.

Pengamat Politik asal Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU) itu, menjelaskan putusan itu juga menandakan adanya problem etik dalam penyelenggaraan pemilu. Dengan begitu, menjadi pelajar untuk memperbaiki diri dalam melaksanakan tugas secara profesional. “Ini menyangkut kredibilitas pemilu. Integritas lembaga harus tetap dipertahankan dengan cara evaluasi kerja yang sesuai dengan peraturan yang berlaku,” pungkas Faisal.(gus)

Komisioner KPU Sumut, Yulhasni.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Tujuh komisioner KPU Provinsi Sumut mendapat peringatan keras dari Dewan Kehormatan Penyelenggaran.

Pemilu (DKPP). Bahkan, Yulhasni harus merelakan jabatan Ketua KPU Sumut dilepas. Benget Manahan Silitonga juga dicopot dari jabatan Divisi Teknis.

Informasi yang diperoleh Sumut Pos dari halaman resmi DKPP, ketujuh komisioner KPU Sumut itu dijatuhkan sanksi atas pengaduan Caleg DPR RI dari Partai Golkar, Rambe Kamaruzzaman. Di mana, kasus yang berawal dari saling tuding penggelembungan suara tersebut dicoba diselesaikan oleh KPU Sumut dengan meminta agar KPU Nias Barat melakukan penghitungan ulang dengan membuka kotak suara.

Hal ini justru dianggap sebagai bentuk keberpihakan oleh Rambe Kamaruzzaman dan kemudian mengadukan hal itu ke DKPP. Menurut DKPP, yang dilakukan KPU Sumut dan jajarannya tersebut merupakan bentuk keberpihakan kepada caleg DPR-RI dari Partai Golkar lainnya, Lamhot Sinaga, yang hanya melaporkan dugaan penggelembungan suara tersebut tanpa disertai bukti.

Terlebih, pengaduan tersebut langsung ditindaklanjuti KPU Sumut dengan mengeluarkan surat resmi nomor: 368/PL.02.4-SD/12/Prov/V/2019 yang berisikan perintah untuk melakukan pemeriksaan/kroscek data hasil rekapitulasi tingkat kecamatan (formulir DA1-DPR dan formulir DAA1-DPR) dengan formulir C1-DPR Hologram atau formulir C1-DPR Plano di 3 (tiga) Kecamatan yaitu Lahomi, Lolofitu Moi, Mandrehe.

Ironisnya, DKPP sepertinya tidak melihat hasil dari putusan sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga sempat menggelar sidang atas perkara ini. Dalam sidang , KPU membantah adanya penggelembungan suara kepada Lamhot. Yang ditemukan justru adanya penggelembungan suara untuk Rambe.

Dalam putusannya DKPP tetap menyebutkan langkah yang ditempuh oleh KPU Sumut dalam menindaklanjuti pengaduan dugaan penggelembungan suara tersebut sebagai langkah yang melanggar kode etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu.

DKPP RI pun menjatuhkan sanksi pemberhentian Yulhasni dari jabatan Ketua KPU Provinsi Sumut. “Menjatuhkan sanksi peringatan keras dan pemberhentian dari jabatan Ketua kepada teradu I Yulhasni selaku Ketua merangkap anggota KPU,” begitu petikan salinan putusan DKPP point kedua seperti dilihat, Rabu (17/7).

Selain menjatuhkan sanksi kepada Yulhasni, DKPP juga memberikan sanksi kepada Benget Manahan Silitonga sebagai teradu III berupa sangksi peringatan keras dan pemberhentian jabatan Divisi Teknis selaku anggota KPU sejak putusan dibacakan.

Komisioner KPU Sumut lainnya seperti Mulia Banurea (teradu II), Herdensi Adnin (teradu IV), Ira Wirtati (teradu V) , Syafrial Syah (teradu VI), Batara Manurung (teradu VII) juga dijatuhkan sanksi berupa peringatan keras.Tidak ketinggalan Famataro Zai sebagai teradu VIII juga dijatuhi sanksi peringatan keras dan pemberhentian dari jabatan Ketua merangkap anggota KPU Nias Barat.

Teradu XII, Nigatinia Galo juga diberikan sanksi dan pemberhentian dari jabatan divisi selaku anggota KPU Nias Barat. Sanksi peringaratan keras juga diterima teradu IX Efori Zaluchu, teradu X Markus Makna Richard Hia, teradu XI Maranata Gulo masing-masing selaku anggota KPU Nias Barat. Anggota KPU RI, Evi Novida Ginting juga tidak lepas dari sanksi peringatan keras dari DKPP selaku teradu XIII.

“Memerintahkan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia untuk melaksanakan putusan tersebut paling lama 7 hari sejak putusan dibacakan,” bunyi salinan putusan DKPP point ke-9.. Sedangkan putusan DKPP poin ke 10, memerintahkan Bawaslu RI untuk mengawasi pelaksanaan putusan tersebut.

Menyikapi putusan tersebut, Yulhasni mengaku akan mengikuti putusan yang dijatuhkan DKPP pada dirinya. “Belum mendapatkan salinan putusan, kami menghormati keputusan DKPP dan kami akan kami jalani,” ucap Yulhasni kepada wartawan di Medan, Rabu (17/7) malam.

Yulhasni menjelaskan, dirinya akan mengikuti segala bentuk putusan tersebut. Namun begitu, ia mengakui belum menerima salinan putusan DKPP itu. “Kami menunggu langkah selanjutnya dari KPU RI dan kami akan menggelar rapat pleno,” pungkas Yulhasni.

Komosioner KPU Sumut Benget M Silitonga juga mengaku menghargai putusan tersebut dan akan mempelajari putusan tersebut. “Kita pelajari dulu, kita tunggu salinan putusan,” tutur Benget.

Benget juga mengatakan, belum bisa menjelaskan langkah ke depan apa yang dilakukan dirinya untuk menyikapi putusan itu. “Setelah kita pelajari (salinan putusan) terlebih dahulu. Baru lah, kita ambil langkah-langkah selanjutnya,” tandas Benget.

Putusan DKPP yang mecopot Yulhasni dari posisi Ketua KPU Sumut, dinilai Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Sumut, Benjamin Pinem ST MM sebagai bentuk hukuman terhadap tidak profesionalnya jajaran KPU Sumut dalam menjalani tugasnya. Benjamin mengaku prihatin atas putusan tersebut, karena menjadi catatan sejarah Ketua KPU Sumut dicopot dari jabatannya karena diduga melanggar kode etik. “Kesimpulan DKPP yang menyebut para teradu bekerja tidak profesional harus menjadi pelajaran berharga bagi seluruh jajaran penyelenggara pemilu di Sumut,” sebut Benjamin.

Benjamin mengatakan, putusan DKPP ini sebagai bentuk pelajaran bagi penyelenggara pemilu untuk bekerja profesional dan tidak berpihak dengan seorang Caleg atau partai politik dalam menjalani tugasnya. “Kedepannya, sesama penyelenggara pemilu baik itu KPU, DKPP dan Bawaslu haruslah saling menghargai dan menghormati dalam menjalankan tugasnya masing-masing,” sebut Bejamin.

Benjamin berharap, kejadian seperti ini tidak boleh terjadi lagi pada perhelatan pilkada serentak 2020 mendatang. “Karena seluruh penyelenggara pemilu mestinya menjaga kepercayaan publik, sehingga hasilnya kedepan dapat diterima masyarakat luas,” jelas Benjamin.

Sementara itu, Pengamat politik Sumut, Faisal Riza mengatakan, putusan itu semacam menandakan KPU harus melakukan evaluasi terkait kerja yang berdasarkan peraturan dan konstitusi. “Evaluasi itu bisa konkrit dengan cara memilih ketua yang baru. Apalagi kita mau menyambut pilkada serentak,” ungkap Faisal.

Pengamat Politik asal Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU) itu, menjelaskan putusan itu juga menandakan adanya problem etik dalam penyelenggaraan pemilu. Dengan begitu, menjadi pelajar untuk memperbaiki diri dalam melaksanakan tugas secara profesional. “Ini menyangkut kredibilitas pemilu. Integritas lembaga harus tetap dipertahankan dengan cara evaluasi kerja yang sesuai dengan peraturan yang berlaku,” pungkas Faisal.(gus)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/