Sehingga, lanjut Salman, pekerjaan itu mendapat kejelasan atas penilaian pemerintah. “Jangan sampai gak solutif. Saya rasa harus dipertegas saja melalui surat resmi, bahwa itu boleh atau tidak dilakukan. Kalau ternyata tidak bisa, ya berikan solusi lain untuk bisa peremajaan itu. Karena aturan cagar budaya juga jelas, termasuk peremajaan yang dilakukan seperti apa yang diperbolehkan,” katanya.
Diberitakan sebelumnya, renovasi Masjid Raya Al Mashun mendapat penolakan dari pegiat cagar budaya di Kota Medan. Selain belum mengantongi izin dari pemerintah, pelaksanaan pembangunan juga tidak ada sosialisasi terlebih dahulu.
Menurut Isnen Fitri, Anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Medan, pihaknya tidak pernah dimintai pendapat ataupun sosialisasi atas renovasi Masjid Raya Al Mashun. “Harusnya ada rekomendasi TACB,” katanya kepada Sumut Pos, Jumat (11/8) lalu.
Hal ini terjadi, lajut dia, karena lemahnya sosialisasi dari Pemko Medan dan pemerintah pusat kepada pengelola cagar budaya. “Serta kurangnya wawasan, informasi UU cagar budaya mengenai perlakukan terhadap pemugaran cagar budaya nasional. Pemugaran cagar budaya nasional wajib meminta izin pemerintah,” ujar wanita yang juga Ketua Bidang Penelitian Badan Warisan Sumatra itu.
Diketahui, Masjid Raya Al Mashun Medan merupakan salah satu cagar budaya yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Penetapan masjid yang dibangun pada 1906 silam itu, juga diatur dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PH.01/PW.007/MKP/2010.
Ia menyebutkan, menurut Pasal 77 ayat 4 dari UU cagar budaya, selain izin, pemugaran harus didampingi ahli yang berkompeten. “Pada intinya kami sudah sampaikan permintaan penghentian sementara pekerjaan renovasi Masjid Raya Al Mashun. Kita tunggulah tindaklanjut dari Dinas Kebudayaan Medan,” katanya. (pr/ila)