25 C
Medan
Saturday, September 28, 2024

Yang Untung Dapat ‘Gajah’, Yang Sial Dapat Kerikil

Foto: Ibrahim/Rakyat Aceh/JPNN Wartawan Jawa Pos (kanan, berjilbab) melihat cara Gusti Nurja bersama teman-temannya membelah batu giok secara manual. Batu itu ditemukan Nurja cs di Alur Tengku.
Foto: Ibrahim/Rakyat Aceh/JPNN
Wartawan Jawa Pos (kanan, berjilbab) melihat cara Gusti Nurja bersama teman-temannya membelah batu giok secara manual. Batu itu ditemukan Nurja cs di Alur Tengku.

Azan Asar baru saja terdengar di Desa Krueng Isep, Kabupaten Nagan Raya, Aceh Barat, Sabtu (14/3). Desa di pucuk gunung dan dikelilingi sungai itu tampak sepi. Meski begitu, sejumlah mobil mewah terlihat berjejer di jalan kecil menuju sungai yang kaya akan emas tersebut. Hampir semuanya berpelat Medan dan Jakarta.

Ya, mobil-mobil itu milik para kolektor batu mulia (gemstone) yang sedang berburu batu giok asal desa tersebut yang terkenal karena kualitasnya nomor wahid. Kualitas batu mulia Aceh disebut-sebut termasuk terbaik di dunia. Konon nomor dua setelah giok Tiongkok. Karena itu, batu Nagan Raya tidak hanya diminati warga dalam negeri, tapi juga sering diborong pencinta giok dari Korea dan Singapura.

Lokasi tambang batu giok Nagan Raya memang cukup sulit ditempuh. Dari Banda Aceh, kita harus melakukan perjalanan darat enam jam, melewati Aceh Besar, Meulaboh, Calang, Aceh Jaya, baru Nagan Raya. Setelah itu, dilanjutkan dua jam perjalanan menuju Desa Krueng Isep. Jalannya sempit dan berkelok-kelok sebelum sampai di desa pucuk gunung tersebut.

Dari desa itu, perjalanan masih harus dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju lokasi pencarian giok di Alur (Sungai) Tengku. Tidak main-main, jaraknya sekitar 15 km! Jalan ke lokasi memang belum bisa dilalui kendaraan. Selain masih jalan setapak, posisinya naik ke puncak.

Karena pertimbangan waktu yang mulai sore, saya tidak sampai ke lokasi penambangan. Bersama teman wartawan dari Rakyat Aceh (Jawa Pos Group), saya menunggu di sebuah warung makan yang biasa dijadikan jujukan para pencari giok yang turun. Meski kecil, warung tersebut cukup ramai. Sore itu sedikitnya sepuluh orang ada di warung, mereka ternyata sama-sama berburu giok langsung dari para pencarinya.

Sejak batu mulia dari Nagan Raya dikenal di kalangan gemstone, para pencari batu giok menjadi “orang penting”. Kemunculan mereka selalu ditunggu para pembeli dari luar kota, bahkan luar negeri. Bongkahan batu yang didominasi warna hijau terang, hijau lumut, hijau tua, putih, dan hitam tersebut laris manis diburu orang. Terutama yang baru saja diambil dari Alur Tengku.

“Ini solar (jenis giok paling bagus, Red). Baru saja saya beli dari pencari giok Rp 8 juta,” ujar seorang pemburu giok sembari memperlihatkan bongkahan batu berwarna keperakan seukuran kepalan tangan itu.

Menjelang azan Magrib, lima pencari giok yang baru turun dari puncak gunung tiba di warung. Mereka berjalan lunglai dan tampak kedinginan. Maklum, saat itu hujan sangat deras. Salah seorang di antara mereka, Siddin, 37, hanya bisa menunjukkan hasil perburuan giok hari itu.

“Saya naik dari pukul 10 pagi. Nggak bisa menemukan banyak. Itu dibawa teman,” ujarnya sambil menunjuk kawannya yang membawa kantong kecil berisi batu giok.

Batu itu lalu dikeluarkan. Wujudnya bongkahan kecil berwarna kehitaman. “Udah, beli saja Rp 40 ribu,” katanya kepada pengunjung warung dengan suara datar. “Yah, sekadar buat beli kopi,” tambahnya dalam bahasa Aceh.

Foto: Ibrahim/Rakyat Aceh/JPNN Wartawan Jawa Pos (kanan, berjilbab) melihat cara Gusti Nurja bersama teman-temannya membelah batu giok secara manual. Batu itu ditemukan Nurja cs di Alur Tengku.
Foto: Ibrahim/Rakyat Aceh/JPNN
Wartawan Jawa Pos (kanan, berjilbab) melihat cara Gusti Nurja bersama teman-temannya membelah batu giok secara manual. Batu itu ditemukan Nurja cs di Alur Tengku.

Azan Asar baru saja terdengar di Desa Krueng Isep, Kabupaten Nagan Raya, Aceh Barat, Sabtu (14/3). Desa di pucuk gunung dan dikelilingi sungai itu tampak sepi. Meski begitu, sejumlah mobil mewah terlihat berjejer di jalan kecil menuju sungai yang kaya akan emas tersebut. Hampir semuanya berpelat Medan dan Jakarta.

Ya, mobil-mobil itu milik para kolektor batu mulia (gemstone) yang sedang berburu batu giok asal desa tersebut yang terkenal karena kualitasnya nomor wahid. Kualitas batu mulia Aceh disebut-sebut termasuk terbaik di dunia. Konon nomor dua setelah giok Tiongkok. Karena itu, batu Nagan Raya tidak hanya diminati warga dalam negeri, tapi juga sering diborong pencinta giok dari Korea dan Singapura.

Lokasi tambang batu giok Nagan Raya memang cukup sulit ditempuh. Dari Banda Aceh, kita harus melakukan perjalanan darat enam jam, melewati Aceh Besar, Meulaboh, Calang, Aceh Jaya, baru Nagan Raya. Setelah itu, dilanjutkan dua jam perjalanan menuju Desa Krueng Isep. Jalannya sempit dan berkelok-kelok sebelum sampai di desa pucuk gunung tersebut.

Dari desa itu, perjalanan masih harus dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju lokasi pencarian giok di Alur (Sungai) Tengku. Tidak main-main, jaraknya sekitar 15 km! Jalan ke lokasi memang belum bisa dilalui kendaraan. Selain masih jalan setapak, posisinya naik ke puncak.

Karena pertimbangan waktu yang mulai sore, saya tidak sampai ke lokasi penambangan. Bersama teman wartawan dari Rakyat Aceh (Jawa Pos Group), saya menunggu di sebuah warung makan yang biasa dijadikan jujukan para pencari giok yang turun. Meski kecil, warung tersebut cukup ramai. Sore itu sedikitnya sepuluh orang ada di warung, mereka ternyata sama-sama berburu giok langsung dari para pencarinya.

Sejak batu mulia dari Nagan Raya dikenal di kalangan gemstone, para pencari batu giok menjadi “orang penting”. Kemunculan mereka selalu ditunggu para pembeli dari luar kota, bahkan luar negeri. Bongkahan batu yang didominasi warna hijau terang, hijau lumut, hijau tua, putih, dan hitam tersebut laris manis diburu orang. Terutama yang baru saja diambil dari Alur Tengku.

“Ini solar (jenis giok paling bagus, Red). Baru saja saya beli dari pencari giok Rp 8 juta,” ujar seorang pemburu giok sembari memperlihatkan bongkahan batu berwarna keperakan seukuran kepalan tangan itu.

Menjelang azan Magrib, lima pencari giok yang baru turun dari puncak gunung tiba di warung. Mereka berjalan lunglai dan tampak kedinginan. Maklum, saat itu hujan sangat deras. Salah seorang di antara mereka, Siddin, 37, hanya bisa menunjukkan hasil perburuan giok hari itu.

“Saya naik dari pukul 10 pagi. Nggak bisa menemukan banyak. Itu dibawa teman,” ujarnya sambil menunjuk kawannya yang membawa kantong kecil berisi batu giok.

Batu itu lalu dikeluarkan. Wujudnya bongkahan kecil berwarna kehitaman. “Udah, beli saja Rp 40 ribu,” katanya kepada pengunjung warung dengan suara datar. “Yah, sekadar buat beli kopi,” tambahnya dalam bahasa Aceh.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/