Di kawasan Indonesia Timur sebenarnya ada sebuah kelenturan antarumat beragama. Baik di kawasan Maluku (Ambon dan sekitarnya), Maluku Utara (Ternate, Tidore, dan Bacan), maupun Papua.
Dari perjalanan Jelajah Semenanjung Raja-Raja (menyeberangi sembilan pulau dan 15 titik) di kawasan Indonesia Timur, saya melihat sendiri praktik-praktik toleransi dan kerukunan umat beragama itu. Di Papua serta Maluku yang sering secara serampangan disebut “pusat Kristen”, ada sebuah sikap adat yang membuat setiap pemeluk agama boleh menjalankan keyakinan mereka.
Salam “assalamualaikum” dari orang Nasrani kepada muslim bukan hal yang aneh. Bahkan, di beberapa kampung di Maluku, seseorang tidak akan tahu dirinya masuk kampung Kristen. Sebab, warganya berpeci dan berkopiah. Mereka pun sangat toleran. Salah satu contohnya ketika bulan puasa lalu. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang makan, minum, atau merokok ketika tahu saya adalah muslim. Mereka juga tidak akan merokok ketika masuk ke kampung muslim.
Yang paling radikal, misalnya, “membagi-bagi” anggota keluarga untuk memeluk Islam atau Kristen. Atau, ikut duduk mengikuti misa Natal dan khotbah Idul Fitri. Seorang Nasrani menjadi ketua panitia pembangunan masjid adalah hal biasa di Indonesia Timur, khususnya Papua. Memang sulit dipercaya. Tetapi, itu betul-betul saya temui dan saya lihat sendiri selama liputan sepanjang Ramadan lalu.
Coba bandingkan dengan di Jawa. Jangankan untuk mengucapkan selamat Natal, wacana Islam Nusantara saja sudah menjadi kontroversi hebat. Dalam konteks toleransi dan kerukunan umat beragama, Jawa jauh tertinggal dari Indonesia Timur.
Karena itu, ketika krisis tersebut meletus di sebuah kota terpencil di Papua, lalu menjadi berita utama banyak media, banyak warga Papua yang marah. Sebab, mereka merasa seolah menjadi suku barbar yang tidak beradab dan suka menyerang saat saudaranya salat.
Pertanyaannya, dengan tingkat toleransi masyarakat yang menganggap agama adalah persaudaraan, mengapa masih terjadi konflik seperti di Tolikara? Selalu ada dua penyebab dalam tiap konflik. Salah satunya adalah faktor eksternal. Yakni, konflik didesain oleh pihak-pihak tertentu. Hal itu memang sudah terlihat dari sejumlah konflik besar di Indonesia Timur sejak 1999.
Namun, tentu tidak bisa menyalakan api di jerami yang basah. Meski mempunyai tingkat toleransi beragama yang besar, tetap saja susunan sosial masyarakat di Indonesia Timur, khususnya Maluku dan Papua, masih rapuh. Bukti paling nyata, selalu ada pemuda-pemuda -yang nyaris tidak punya pekerjaan dan tidak punya penghasilan- yang berkumpul, minum minuman keras, dan lantas melakukan hal-hal yang kerap tidak baik.
Perkelahian antar pemuda, antarkampung, atau antarsuku kerap terjadi karena para pemuda. Itu pun disebabkan masalah yang sangat sepele. Misalnya, senggolan di pentas musik atau hanya karena saling pandang. Selain itu, para pemuda tersebut umumnya masih menganggap dirinya anak adat sehingga mudah diprovokasi untuk melakukan sesuatu.