30.6 C
Medan
Friday, May 17, 2024

UMP SUMUT 2019 Jadi Rp2.303.402, Buruh Minta Rp2.8Juta

Ilustrasi UMP

SUMUTPOS.CO – Pemerintah Pusat melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Menaker) telah menetapkan upah minimum provinsi (UMP) 2019 naik 8,03 persen. Dengan begitu, UMP Sumatera Utara tahun depan naik Rp 171.214 dari UMP 2018 Rp2.132.188 menjadi Rp2.303.402. Meski begitu, kepastian nilai UMP ini masih menunggu keputusan Gubernur Sumut dan bakal diumumkan serentak pada 1 November 2018.

Penetapan kenaikan UMP 2019 sebesar 8,03 persen ini mengacu pada nilai inflasi nasional 2,88 persen dan pertumbuhan ekonomi (PDRB) nasional 5,15 persen. Kenaikan 8,03 persen itu juga sudah sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, Pasal 44 Ayat 1 dan Ayat 2.

Menyikapi kenaikan UMP 2019 ini, elemen buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Sumut menolak kebijakan tesebut. Sebab menurut mereka, kenaikan sebesar itu akan membuat daya beli kaum buruh semakin menurun akibat kenaikan upah minimum yang rendah.

“Padahal secara bersamaan, di tengah melemahnya rupiah terhadap dollar dan meningkatnya harga minyak dunia, berpotensin mengakibatkan harga-harga barang kebutuhan dan BBM jenis premium akan naik. Apalagi, sekarang pertamax sudah mengalami kenaikan,” ujar Ketua FSPMI Sumut, Willy Agus Utomo melalui keterangan tertulisnya, Kamis (18/10).

Efeknya sambung Willy, apabila premium naik, maka akan menimbukan kenaikan harga-harga barang lainnya. Seperti harga kebutuhan pokok, transportasi, sewa/kontrak rumah, dan kenaikan harga-harga lainnya. “Dengan demikian, kenaikan upah yang hanya 8,03 persen tidak akan memberikan manfaat bagi kaum buruh dan rakyat kecil di tengah kenaikan harga-harga barang tadi, yang oleh Bapak Rizal Ramli diperkirakan akan terjadi Desember 2018. Padahal upah minimum mulai berlaku Januari 2019,” tegasnya.

Oleh karena itu, pihaknya mengusulkan kenaikan upah minimum adalah berkisar 20 hingga 25 persen, bukan 8,03 persen. Selain itu, upah minimum sektoral sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 harus tetap diberlakukan. “UMP Sumut kita minta naik menjadi Rp2,8 juta, UMK Medan dan Deliserdang Rp3,5 juta. Bila pemerintah tidak mendengarkan aspirasi kaum buruh, maka kami kaum buruh di Sumut akan mempersiapkan aksi unjuk rasa besar-besaran untuk memperjuangkan kenaikan upah minimum tanpa menggunakan PP 78/2015,” katanya.

Pihaknya juga menagih janji Gubsu Edy Rahmayadi yang selama kampanye siap memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan kaum buruh. “Kita tagih janji Gubsu yang baru terpilih untuk peduli pada buruh Sumut, UMP Sumut saat ini sangat tidak laik bagi buruh Sumut,” imbuhnya.

Ia pun menilai PP 78/2015 tentang Pengupahan mengakibatkan kembalinya rezim upah murah. Dengan adanya PP 78/2015 hak berunding serikat buruh untuk menentukan upah minimum hilang. Oleh karena itu, KSPI-FSPMI dan buruh Indonesia mendesak agar PP 78/2015 segera dicabut. “Secara hukum PP 78/2015 melanggar Pasal 88 dan 89 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” tegasnya.

Untuk itu, Willy meminta kepada kepala daerah baik Gubernur Sumatera Utara, wali kota dan bupati untuk tidak mengacu pada PP 78 Tahun 2015 dalam menetapkan kenaikan UMP 2019. Ditegaskan Willy, penetapan UMP harus berdasarkan rekomendasi kepala daerah dan dewan pengupahan, yang didahului dengan survey pasar mengenai Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

“Jadi bukan berdasarkan inflansi nasional dan pertumbuhan ekonomi nasional, seperti yang tertuang dalam Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri yang menetapkan kenaikan UMP 2019 sebesar 8,03 persen,” tegasnya lagi.

Untuk itum dia juga meminta gubernur, wali kota dan bupati untuk mengabaikan surat edaran dari Menaker Nomor: B.240/M-Naker/PHISSK-UPAH/X/2018 Hal Penyampaian Data Tingkat Inflansi Nasional dan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tahun 2018, tertanggal 15 Oktober 2018. “Kami menilai, surat edaran Menaker tersebut sangat provokatif dan memancing suasana yang tidak kondusif di kalangan buruh di seluruh Indonesia, serta mencerminkan arogansi penguasa terhadap kaum buruh, “ pungkas Willy.

Senada, Sekretaris Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) Wilayah Pulau Sumatera, Arsula Gultom juga menilai kebijakan Menaker sangat merugikan buruh. “Kalau mengacu pada PP 78 Tahun 2015, sudah jelas sangat rendah kenaikannya. Perhitungan yang ditetapkan, lebih rendah dari UU No 13 Tahun 2003. Jadi, kenaikan itu, bukan mensejahterakan, tapi malah mensengsarakan buruh,” ungkap Arsula.

Apabila pemerintah pusat, menaikkan UMP mengacu pada UU No. 13 Tahun 2003, maka buruh Sumatera Utara khusus di Medan dan Deliserdang, akan menerima kenaikan mencapai 12 hingga 15 persen. Jadi, kenaikan yang akan ditetapkan dalam waktu dekat, sangat rendah dengan selisih 4 hingga 7 persen merugikan buruh.

Dengan demikian, dia berharap Pemprovsu tidak serta merta menerima keputusan Menaker terkait kenaikan UMP 8,03 persen. Apalagi sudah ada putusan MA Nomor 120 K/TUN/2018 tentang UMP Sumatera Utara ditetapkan gugatan Apindo yang ditolak untuk memberikan upah berdasarkan PP 78 Tahun 2015.

“Jadi, berdasarkan tahun lalu, kita menerima upah sesuai dengan UU No 13 Tahun 2003. Artinya, pengusaha telah dikalahkan dari gugatan itu, diberlakukan upah sesuai dengan standar UMP itu. Karena secara hukum, PP 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan melanggar Pasal 88 dan 89 UU No. 13 Thn 2003 tentang Ketenagakerjaan,” tegas Arsula.

Bila kenaikan UMP tetap diterima Pemprovsu, seluruh lapisan elemen buruh akan tetap menolak dan mendesak dicabut PP No 78 tahun 2015. “Sekarang mana lebih tinggi, undang-undang atau peraturan pemerintah? Kepada Gubsu agar lebih bijak menyikapi UMP yang akan ditetapkan, karena ada beberapa kepala daerah menetapkan UMP berdasarkan UU N0 13 tahun 2003. Harapan kita, Gubsu dapat melakukan hal yang sama demi kesejahteraan buruh di Sumatera Utara,” ungkap Arsula.

Lantas, bagaimana tanggapan Pemprov Sumut terkait UMP 2019? Kepala Dinas Tenaga Kerja Sumut, Harianto Butarbutar mengatakan, UMP Sumut 2019 sebesar Rp2.303.402 itu belum bisa menjadi kesimpulan. Sebab, meskipun sudah disurati menaker bahwa UMP Sumut 2019 mengacu pada kenaikan 8,03%, namun tetap saja harus dibahas dengan stakeholder terkait.

“Sudah kita terima surat menaker, benar demikian disebutkan ya kenaikan UMP 8,03%, mengacu pada nilai inflasi 2,88% dan PDRB 5,15%. Gambarannya untuk Sumut adalah 8,03% dikalikan UMP tahun 2018,” katanya saat dikonfirmasi, Kamis (18/10).

Namun Harianto menyebutkan, soal berapa nilai UMP Sumut 2019 harus tetap melalui pembahasan di Dewan Pengupahan Sumut. Pesertanya adalah Disnaker Sumut, perwakilan pengusaha atau Apindo dan perwakilan buruh.

Setelah nilai UMP diputuskan dalam rapat Dewan Pengupahan, imbuh dia, lalu disampaikan kepada gubernur untuk ditetapkan dalam surat keputusan. “Dan biasanya per 1 November, nilai UMP Sumut 2019 sudah diumumkan ke publik. Jadi sama-sama kita tunggulah keputusan gubernur. Sekali lagi kami belum bisa saat ini menyebut nilai UMP Sumut 2019,” tambah Harianto.

Kepala Bidang Hubungan Industrial Disnaker Sumut, Maruli Silitonga mengatakan, rapat dewan pengupahan kemungkinan digelar pekan depan. “Mungkin pekan depan kita rapat,” kata pria yang juga Ketua Dewan Pengupahan Sumut itu.

Ilustrasi UMP

SUMUTPOS.CO – Pemerintah Pusat melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Menaker) telah menetapkan upah minimum provinsi (UMP) 2019 naik 8,03 persen. Dengan begitu, UMP Sumatera Utara tahun depan naik Rp 171.214 dari UMP 2018 Rp2.132.188 menjadi Rp2.303.402. Meski begitu, kepastian nilai UMP ini masih menunggu keputusan Gubernur Sumut dan bakal diumumkan serentak pada 1 November 2018.

Penetapan kenaikan UMP 2019 sebesar 8,03 persen ini mengacu pada nilai inflasi nasional 2,88 persen dan pertumbuhan ekonomi (PDRB) nasional 5,15 persen. Kenaikan 8,03 persen itu juga sudah sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, Pasal 44 Ayat 1 dan Ayat 2.

Menyikapi kenaikan UMP 2019 ini, elemen buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Sumut menolak kebijakan tesebut. Sebab menurut mereka, kenaikan sebesar itu akan membuat daya beli kaum buruh semakin menurun akibat kenaikan upah minimum yang rendah.

“Padahal secara bersamaan, di tengah melemahnya rupiah terhadap dollar dan meningkatnya harga minyak dunia, berpotensin mengakibatkan harga-harga barang kebutuhan dan BBM jenis premium akan naik. Apalagi, sekarang pertamax sudah mengalami kenaikan,” ujar Ketua FSPMI Sumut, Willy Agus Utomo melalui keterangan tertulisnya, Kamis (18/10).

Efeknya sambung Willy, apabila premium naik, maka akan menimbukan kenaikan harga-harga barang lainnya. Seperti harga kebutuhan pokok, transportasi, sewa/kontrak rumah, dan kenaikan harga-harga lainnya. “Dengan demikian, kenaikan upah yang hanya 8,03 persen tidak akan memberikan manfaat bagi kaum buruh dan rakyat kecil di tengah kenaikan harga-harga barang tadi, yang oleh Bapak Rizal Ramli diperkirakan akan terjadi Desember 2018. Padahal upah minimum mulai berlaku Januari 2019,” tegasnya.

Oleh karena itu, pihaknya mengusulkan kenaikan upah minimum adalah berkisar 20 hingga 25 persen, bukan 8,03 persen. Selain itu, upah minimum sektoral sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 harus tetap diberlakukan. “UMP Sumut kita minta naik menjadi Rp2,8 juta, UMK Medan dan Deliserdang Rp3,5 juta. Bila pemerintah tidak mendengarkan aspirasi kaum buruh, maka kami kaum buruh di Sumut akan mempersiapkan aksi unjuk rasa besar-besaran untuk memperjuangkan kenaikan upah minimum tanpa menggunakan PP 78/2015,” katanya.

Pihaknya juga menagih janji Gubsu Edy Rahmayadi yang selama kampanye siap memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan kaum buruh. “Kita tagih janji Gubsu yang baru terpilih untuk peduli pada buruh Sumut, UMP Sumut saat ini sangat tidak laik bagi buruh Sumut,” imbuhnya.

Ia pun menilai PP 78/2015 tentang Pengupahan mengakibatkan kembalinya rezim upah murah. Dengan adanya PP 78/2015 hak berunding serikat buruh untuk menentukan upah minimum hilang. Oleh karena itu, KSPI-FSPMI dan buruh Indonesia mendesak agar PP 78/2015 segera dicabut. “Secara hukum PP 78/2015 melanggar Pasal 88 dan 89 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” tegasnya.

Untuk itu, Willy meminta kepada kepala daerah baik Gubernur Sumatera Utara, wali kota dan bupati untuk tidak mengacu pada PP 78 Tahun 2015 dalam menetapkan kenaikan UMP 2019. Ditegaskan Willy, penetapan UMP harus berdasarkan rekomendasi kepala daerah dan dewan pengupahan, yang didahului dengan survey pasar mengenai Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

“Jadi bukan berdasarkan inflansi nasional dan pertumbuhan ekonomi nasional, seperti yang tertuang dalam Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri yang menetapkan kenaikan UMP 2019 sebesar 8,03 persen,” tegasnya lagi.

Untuk itum dia juga meminta gubernur, wali kota dan bupati untuk mengabaikan surat edaran dari Menaker Nomor: B.240/M-Naker/PHISSK-UPAH/X/2018 Hal Penyampaian Data Tingkat Inflansi Nasional dan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tahun 2018, tertanggal 15 Oktober 2018. “Kami menilai, surat edaran Menaker tersebut sangat provokatif dan memancing suasana yang tidak kondusif di kalangan buruh di seluruh Indonesia, serta mencerminkan arogansi penguasa terhadap kaum buruh, “ pungkas Willy.

Senada, Sekretaris Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) Wilayah Pulau Sumatera, Arsula Gultom juga menilai kebijakan Menaker sangat merugikan buruh. “Kalau mengacu pada PP 78 Tahun 2015, sudah jelas sangat rendah kenaikannya. Perhitungan yang ditetapkan, lebih rendah dari UU No 13 Tahun 2003. Jadi, kenaikan itu, bukan mensejahterakan, tapi malah mensengsarakan buruh,” ungkap Arsula.

Apabila pemerintah pusat, menaikkan UMP mengacu pada UU No. 13 Tahun 2003, maka buruh Sumatera Utara khusus di Medan dan Deliserdang, akan menerima kenaikan mencapai 12 hingga 15 persen. Jadi, kenaikan yang akan ditetapkan dalam waktu dekat, sangat rendah dengan selisih 4 hingga 7 persen merugikan buruh.

Dengan demikian, dia berharap Pemprovsu tidak serta merta menerima keputusan Menaker terkait kenaikan UMP 8,03 persen. Apalagi sudah ada putusan MA Nomor 120 K/TUN/2018 tentang UMP Sumatera Utara ditetapkan gugatan Apindo yang ditolak untuk memberikan upah berdasarkan PP 78 Tahun 2015.

“Jadi, berdasarkan tahun lalu, kita menerima upah sesuai dengan UU No 13 Tahun 2003. Artinya, pengusaha telah dikalahkan dari gugatan itu, diberlakukan upah sesuai dengan standar UMP itu. Karena secara hukum, PP 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan melanggar Pasal 88 dan 89 UU No. 13 Thn 2003 tentang Ketenagakerjaan,” tegas Arsula.

Bila kenaikan UMP tetap diterima Pemprovsu, seluruh lapisan elemen buruh akan tetap menolak dan mendesak dicabut PP No 78 tahun 2015. “Sekarang mana lebih tinggi, undang-undang atau peraturan pemerintah? Kepada Gubsu agar lebih bijak menyikapi UMP yang akan ditetapkan, karena ada beberapa kepala daerah menetapkan UMP berdasarkan UU N0 13 tahun 2003. Harapan kita, Gubsu dapat melakukan hal yang sama demi kesejahteraan buruh di Sumatera Utara,” ungkap Arsula.

Lantas, bagaimana tanggapan Pemprov Sumut terkait UMP 2019? Kepala Dinas Tenaga Kerja Sumut, Harianto Butarbutar mengatakan, UMP Sumut 2019 sebesar Rp2.303.402 itu belum bisa menjadi kesimpulan. Sebab, meskipun sudah disurati menaker bahwa UMP Sumut 2019 mengacu pada kenaikan 8,03%, namun tetap saja harus dibahas dengan stakeholder terkait.

“Sudah kita terima surat menaker, benar demikian disebutkan ya kenaikan UMP 8,03%, mengacu pada nilai inflasi 2,88% dan PDRB 5,15%. Gambarannya untuk Sumut adalah 8,03% dikalikan UMP tahun 2018,” katanya saat dikonfirmasi, Kamis (18/10).

Namun Harianto menyebutkan, soal berapa nilai UMP Sumut 2019 harus tetap melalui pembahasan di Dewan Pengupahan Sumut. Pesertanya adalah Disnaker Sumut, perwakilan pengusaha atau Apindo dan perwakilan buruh.

Setelah nilai UMP diputuskan dalam rapat Dewan Pengupahan, imbuh dia, lalu disampaikan kepada gubernur untuk ditetapkan dalam surat keputusan. “Dan biasanya per 1 November, nilai UMP Sumut 2019 sudah diumumkan ke publik. Jadi sama-sama kita tunggulah keputusan gubernur. Sekali lagi kami belum bisa saat ini menyebut nilai UMP Sumut 2019,” tambah Harianto.

Kepala Bidang Hubungan Industrial Disnaker Sumut, Maruli Silitonga mengatakan, rapat dewan pengupahan kemungkinan digelar pekan depan. “Mungkin pekan depan kita rapat,” kata pria yang juga Ketua Dewan Pengupahan Sumut itu.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/