28.9 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

Pemilu Sebagai Uji Kecerdasan, Dedi Iskandar : Nilai Kritis Mahasiswa Terhadap Bangsa

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Momentum Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024, merupakan ajang bagi para pemuda, khususnya mahasiswa untuk menguji sejauh mana nilai kritis anak muda, terhadap keberlangsungan bangsa.

Hal itu, diungkapkan oleh Anggota DPD RI, Ust H Dedi Iskandar Batubara, Selasa (19/12). Ia mengatakan dalam hal ini, menitikberatkan kepada kecerdasan moral, dimana hal itu berkaitan erat dengan pendidikan dan politik.

“Salah satu fakta yang tak bisa dibantah adalah, banyak masyarakat yang alergi terhadap politik. Berusaha memisahkan antara politik dengan urusan lain di luar politik. Ekonomi, pendidikan, sosial budaya, dan lain-lain. Mereka menganggap bahwa semua ranah tersebut punya garis demarkasi masing-masing. Tidak boleh dicampuradukkan dengan politik,” kata Dedi Iskandar.

Terhadap relasi antara politik dan pendidikan, kata Dedi Iskandar Batubara, ada yang berusaha memisahkan antara politik dan pendidikan. Biasanya mengatakan bahwa education is outside politics atau pendidikan berada di luar politik. Lawannya adalah orang yang berpendapat education and politics are inextricably linked atau pendidikan dan politik terkait tanpa bisa dipisahkan.

“Kelompok pertama beralasan bahwa politik dan pendidikan adalah dua hal yang berbeda. Keduanya harus dipisahkan untuk menjaga otonomi pendidikan dan profesionalitas tenaga pendidikan dari intervensi kekuasaan,” kata Dedi Iskandar Batubara.

“Sementara kelompok kedua beralasan bahwa pendidikan merupakan wahana paling efektif untuk menanamkan ideologi negara. Membentuk karakter masyarakat, serta fakta bahwa banyak penyelenggaraan lembaga pendidikan yang bergantung pada bantuan negara,” sebut Ketua PW Al-Washliyah Sumatera Utara ini.

Kedua cara pandang masyarakat terhadap relasi politik dan pendidikan ini sebut Dedi Iskandar Batubara, terjadi secara universal di semua negara. Dari negara yang menganut sistem demokratis, hingga yang setia pada sistem monarki, baik adidaya hingga negara berkembang, dari negara liberal, hingga negara yang mencantumkan agama sebagai dasar ideologinya. Realitas ini sebenarnya wajar dan lumrah karena dua alasan, sosio-historis dan idealisme-profesional.

“Pertama, secara sosio-historis banyak masyarakat yang kecewa terhadap penyelenggara negara. Kekecewaan ini terjadi karena banyak faktor. Misalnya intervensi kekuasaan yang dianggap terlalu jauh terhadap dunia pendidikan. Tidak ada koherensi yang jelas antara proses pembentukan karakter di dunia pendidikan, dengan perilaku politisi setelah berkuasa. Politik hanya menjadikan pendidikan sebagai objek dari kekuasaan, dan masih banyak lagi,” jelas Dedi Iskandar Batubara.

Kedua, secara idealisme-profesional, banyak orang meyakini bahwa proses pendidikan tidak boleh dicampuradukkan dengan politik. Pendidikan murni untuk ilmu pengetahuan dan pembentukan karakter.

“Sedangkan politik adalah seni mengatur dan mengelola negara. Jika keduanya dicampuradukkan, maka ada potensi produk ilmu pengetahuan hanya akan dimanfaatkan untuk kepentingan politik,” tutur Iskandar Dedi Batubara.

Dari realita itu, Dedi Iskandar Batubara pun melihat bahwa ada kecenderungan bahwa Indonesia mengarah pada pandangan yang memisahkan antara pendidikan dan politik. Termasuk diantaranya larangan berkampanye di kampus, dengan alasan mengganggu konsentrasi belajar/kuliah.

“Jika itu alasannya, maka justru mahasiswa hampir diarahkan kepada sikap apatisme politik. Sebab, melarang politisi masuk kampus, dianggap sama saja dengan menutup peluang untuk menguji kualitas dan kapasitas seorang calon pemimpin. Padahal, bukankah mahasiswa merupakan kelompok masyarakat yang paling cerdas dan idealis? Bukankah akan lebih tepat jika semua calon pemimpin dihadapkan kepada mahasiswa untuk diuji, agar ketahuan tingkat kecerdasan dan kapabilitasnya?” kata Ketua PPUU DPD RI ini.

Karena itu menurut Dedi Iskandar Batubara (DIB), momentum Pemilu ini perlu dijadikan sebagai ajang uji kecerdasan moral mahasiswa, menguji calon pemimpin melalui keilmuan, idealisme dan sikap kritis serta kepedulian melihat masa depan bangsa ini. Dengan begitu, kampus tidak lagi menjadi menara gading yang kosong dan terpisah dari realitas kehidupan bermasyarakat, tetapi penuh dengan ide, idieologi serta moralitas yang tinggi.

“Sejatinya, politik pembangunan itu berorientasi memanusiakan manusia. Semua produk budaya dan ilmu pengetahuan, memang diperuntukkan untuk menopang keluhuran nilai-nilai kemanusiaan. Jadi, betapa pun majunya ekonomi dan ilmu pengetahuan suatu bangsa,” jelas Dedi Iskandar.

“Jika moralitas dan budaya masyarakatnya justru bertentangan dengan nilai luhur kemanusiaan, bisa dipastikan ada yang salah dalam politik. Dan peran menjaga nilai itu, satu diantaranya adalah gerakan mahasiswa sebagai pilar kelima demokrasi,” jelas Dedi Iskandar Batubara.(gus)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Momentum Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024, merupakan ajang bagi para pemuda, khususnya mahasiswa untuk menguji sejauh mana nilai kritis anak muda, terhadap keberlangsungan bangsa.

Hal itu, diungkapkan oleh Anggota DPD RI, Ust H Dedi Iskandar Batubara, Selasa (19/12). Ia mengatakan dalam hal ini, menitikberatkan kepada kecerdasan moral, dimana hal itu berkaitan erat dengan pendidikan dan politik.

“Salah satu fakta yang tak bisa dibantah adalah, banyak masyarakat yang alergi terhadap politik. Berusaha memisahkan antara politik dengan urusan lain di luar politik. Ekonomi, pendidikan, sosial budaya, dan lain-lain. Mereka menganggap bahwa semua ranah tersebut punya garis demarkasi masing-masing. Tidak boleh dicampuradukkan dengan politik,” kata Dedi Iskandar.

Terhadap relasi antara politik dan pendidikan, kata Dedi Iskandar Batubara, ada yang berusaha memisahkan antara politik dan pendidikan. Biasanya mengatakan bahwa education is outside politics atau pendidikan berada di luar politik. Lawannya adalah orang yang berpendapat education and politics are inextricably linked atau pendidikan dan politik terkait tanpa bisa dipisahkan.

“Kelompok pertama beralasan bahwa politik dan pendidikan adalah dua hal yang berbeda. Keduanya harus dipisahkan untuk menjaga otonomi pendidikan dan profesionalitas tenaga pendidikan dari intervensi kekuasaan,” kata Dedi Iskandar Batubara.

“Sementara kelompok kedua beralasan bahwa pendidikan merupakan wahana paling efektif untuk menanamkan ideologi negara. Membentuk karakter masyarakat, serta fakta bahwa banyak penyelenggaraan lembaga pendidikan yang bergantung pada bantuan negara,” sebut Ketua PW Al-Washliyah Sumatera Utara ini.

Kedua cara pandang masyarakat terhadap relasi politik dan pendidikan ini sebut Dedi Iskandar Batubara, terjadi secara universal di semua negara. Dari negara yang menganut sistem demokratis, hingga yang setia pada sistem monarki, baik adidaya hingga negara berkembang, dari negara liberal, hingga negara yang mencantumkan agama sebagai dasar ideologinya. Realitas ini sebenarnya wajar dan lumrah karena dua alasan, sosio-historis dan idealisme-profesional.

“Pertama, secara sosio-historis banyak masyarakat yang kecewa terhadap penyelenggara negara. Kekecewaan ini terjadi karena banyak faktor. Misalnya intervensi kekuasaan yang dianggap terlalu jauh terhadap dunia pendidikan. Tidak ada koherensi yang jelas antara proses pembentukan karakter di dunia pendidikan, dengan perilaku politisi setelah berkuasa. Politik hanya menjadikan pendidikan sebagai objek dari kekuasaan, dan masih banyak lagi,” jelas Dedi Iskandar Batubara.

Kedua, secara idealisme-profesional, banyak orang meyakini bahwa proses pendidikan tidak boleh dicampuradukkan dengan politik. Pendidikan murni untuk ilmu pengetahuan dan pembentukan karakter.

“Sedangkan politik adalah seni mengatur dan mengelola negara. Jika keduanya dicampuradukkan, maka ada potensi produk ilmu pengetahuan hanya akan dimanfaatkan untuk kepentingan politik,” tutur Iskandar Dedi Batubara.

Dari realita itu, Dedi Iskandar Batubara pun melihat bahwa ada kecenderungan bahwa Indonesia mengarah pada pandangan yang memisahkan antara pendidikan dan politik. Termasuk diantaranya larangan berkampanye di kampus, dengan alasan mengganggu konsentrasi belajar/kuliah.

“Jika itu alasannya, maka justru mahasiswa hampir diarahkan kepada sikap apatisme politik. Sebab, melarang politisi masuk kampus, dianggap sama saja dengan menutup peluang untuk menguji kualitas dan kapasitas seorang calon pemimpin. Padahal, bukankah mahasiswa merupakan kelompok masyarakat yang paling cerdas dan idealis? Bukankah akan lebih tepat jika semua calon pemimpin dihadapkan kepada mahasiswa untuk diuji, agar ketahuan tingkat kecerdasan dan kapabilitasnya?” kata Ketua PPUU DPD RI ini.

Karena itu menurut Dedi Iskandar Batubara (DIB), momentum Pemilu ini perlu dijadikan sebagai ajang uji kecerdasan moral mahasiswa, menguji calon pemimpin melalui keilmuan, idealisme dan sikap kritis serta kepedulian melihat masa depan bangsa ini. Dengan begitu, kampus tidak lagi menjadi menara gading yang kosong dan terpisah dari realitas kehidupan bermasyarakat, tetapi penuh dengan ide, idieologi serta moralitas yang tinggi.

“Sejatinya, politik pembangunan itu berorientasi memanusiakan manusia. Semua produk budaya dan ilmu pengetahuan, memang diperuntukkan untuk menopang keluhuran nilai-nilai kemanusiaan. Jadi, betapa pun majunya ekonomi dan ilmu pengetahuan suatu bangsa,” jelas Dedi Iskandar.

“Jika moralitas dan budaya masyarakatnya justru bertentangan dengan nilai luhur kemanusiaan, bisa dipastikan ada yang salah dalam politik. Dan peran menjaga nilai itu, satu diantaranya adalah gerakan mahasiswa sebagai pilar kelima demokrasi,” jelas Dedi Iskandar Batubara.(gus)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/