25.1 C
Medan
Tuesday, June 18, 2024

Di Sumut, Laki-laki & Perempuan Gila 3 Banding 1

MEDAN-Laki-laki yang selama ini diakui lebih kuat dibanding perempuan ternyata lebih rentan mengalami gangguan jiwa. Di Sumatera Utara, perbandingan antara laki-laki dan perempuan yang terganggu jiwanya mencapai 3 banding 1.

Setidaknya hal ini terungkap dari jumlah pasien  Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Provinsi Sumatera Utara (Provsu). Bahkan, jumlah laki-laki yang mengalami kelainan jiwa diprediksi masih akan bertambah.

Hal ini diungkapkan Direktur RSJD Provsu, Dapot P Gultom melalui Kabag TU RSJD Provsu, Sunarno, Kamis (19/1) di ruangannya
Berdasarkan data yang diperoleh dari Medical Record RSJD Provsu, sepanjang tahun 2011 ada 2.055 pasien rawat inap yang terdata. 1.544 orang di antaranya pasien laki-laki dan perempuan 511 orang. Sedangkan pada 2010, sebanyak 1.949 pasien yang menjalani rawat inap di RSJD Provsu di antaranya, 1.445 orang laki-laki dan 504 perempuan.

“Jumlahnya memang meningkat secara signifikan. Memang dari jumlah tersebut, laki-laki lebih banyak penderitanya daripada perempuan. Penyebabnya dikarenakan laki-laki lebih sering mengalami tekanan biologis maupun sosial. Penyakit jiwa ini, bisa juga karena pasien pernah mengalami benturan di kepala, keracunan, dan yang berkaitan dengan organ tubuh lainnya,” katanya.

Namun, katanya, penderita gangguan jiwa lebih cenderung dikarenakan faktor ekonomi dan minimnya lapangan pekerjaan. Berdasarkan umur, pada tahun 2011 usia 30-34 tahun lebih banyak mengalami gangguan jiwa mencapai 413 orang dan pada usia remaja 46 orang. Sedangkan pada tahun 2010 usia 30-34 tahun sebanyak 400 orang. Pada remaja usia 15-19 tahun ada 56 orang.

“Di RS Jiwa, pada usia tersebut lebih banyak menjalani menderita gangguan jiwa. Karena pada saat itu, si laki-laki memiliki tanggung jawab yang tinggi seperti untuk mencukupi keluarganya, dia harus memikirkan ke mana mencari lapangan kerja. Orang bisa menjadi depresi, malu dan putus asa karena minimnya lapangan pekerjaan. Selain itu, tidak terpenuhinya kebutuhan dan tuntutan hidup membuat mudahnya kejiwaan seseorang menjadi terganggu,” jelasnya.

Selanjutnya untuk jumlah rawat jalan, pada 2011 mencapai 15.966 pasien di antaranya laki-laki 10.410 orang dan perempuan sebanyak 5.556 orang. Sedangkan pada 2010, jumlah pasien rawat jalan sebanyak 15.720 pasien: laki-laki 9.183 orang dan perempuan mencapai 6.537 orang.
“Untuk pasien gangguan jiwa ini, kita tidak bisa menjamin apakah mereka benar-benar sembuh total. Biasanya pasien yang berobat di sini kebanyakan pasien berulang. Untuk menentukan mereka sudah sembuh harus berdasarkan pemeriksaan mental, fisik, dan sosialnya. Bisa berhubungan dengan orang lain dan harus ada keluarga yang menanggungjawabi,” ungkapnya.

Ditambahkannya, mayoritas pasien yang dibawa sudah parah sehingga dalam pengobatannya semakin sulit. Pasien yang menjalani perawatan atas pengawasan dokter. Pengobatan sendiri dapat dilakukan dengan terapi seperti strum listrik, rehabilitasi hingga mengajarkan mereka sebuah keterampilan yang nantinya dapat digunakan saat kembali ke masyarakat.

“Tingkat kesembuhan juga menjadi penentu. Apakah keluarganya dan masyarakat menerima dia atau malah menjauhi dia. Namun, penyakit jiwa ini dapat juga karena faktor keturunan atau genetik. Tergantung pola asuh keluarganya juga. Tapi tidak semua kasus, karena orangtuanya mengalami gangguan jiwa, lantas anaknya juga sakit jiwa,” terangnya.

Mengenai penggunaan kartu merah bagi pasien gangguan jiwa, sebenarnya, kata Sunarno untuk memudahkan pasien dalam menjalani pengobatan. Kartu merah tersebut berisi nomor atau kode medical record yang digunakan untuk mencari catatan medis bila pasien berobat lagi nantinya.

“Banyak yang beranggapan, pasien gangguan jiwa memanfaatkan kartu merah untuk bertindak kriminal. Sebenarnya itu salah, karena pasien ini juga harus terus check up ke dokter, jadi kartu merah itu digunakan supaya pasien mudah berobat karena sebelumnya ada catatan medis di RS Jiwa. Sekarang kita nggak pakai kartu warna merah lagi, tapi berwarna kuning. Karena itu tadi, banyaknya stigma buruk dari masyarakat,” ucapnya.

Terkait banyaknya penderita gangguan jiwa di jalanan, menurutnya bukan tanggung jawab dari pihaknya. “Ini tanggung jawab dari Dinas Sosial. Karena yang dibawa ke RSJD Provsu harus ada yang menanggungjawabi. Jika gelandangan tadi mengalami gangguan jiwa, mereka dapat membawanya ke rumah sakit jiwa dan menanggungjawabinya. Tentunya ini membutuhkan kerja sama lintas sektor,” urainya.

Sementara itu, saat Sumut Pos berkunjung ke RS Jiwa dan Ketergantungan Obat Sembada Jalan sembada XII Pdang Bulan Medan, Direktur maupun Humas sedang tidak berada ditempat. Begitupun, Deni, perawat di rumah sakit swasta tersebut mengatakan pasien yang menjalani perawatan tidak begitu banyak hanya berkisar 15 orang. “Dirut sama Humasnya lagi diluar, Kak. Pasiennya nggak begitu banyak. Rata-rata pasien yang mengalami gangguan jiwa biasa, bukan karena pengaruh obat-obatan,” tukasnya. (mag-11)

Jangan Malu untuk Menangis

Direktur Biro Psikologi PERSONA, Irna Minauli mengungkapkan seseorang yang mengalami gangguan jiwa dapat disebabkan beberapa faktorn
Pertama, faktor psikogenik seperti kemiskinan, perceraian dan kegagalan dalam rumah tangga. Dan, kedua faktor organik mencakup gangguan diotak, bisa saja disebabkan mengkonsumsi obat-obatan, penyakit syphilis dan lainnya.

“Memang aspek ekonomi sangat mempengaruhi kejiwaan seseorang. Seperti minimnya lapangan pekerjaan, kebangkrutan atau PHK yang otomatis menjadikan seseorang pengangguran. Mereka yang tidak memiliki lapangan pekerjaan, tidak sanggup mendapat tudingan yang tidak baik dari masyarakat,” ujarnya.

Katanya, secara umum, penderita gangguan jiwa memang lebih banyak diderita kaum laki-laki. Secara psikologis laki-laki lebih rentan karena mengalami banyak tekanan secara biologis maupun sosial. Para pria terbiasa untuk memendam masalahnya sendiri. Mereka jarang berbagi dan kurang mampu menyalurkan emosi dengan baik.

“Berbeda dengan perempuan. Biasanya perempuan hanya mengalami depresi, selebihnya didominasi oleh laki-laki. Pria tidak bisa menyalurkan kesedihannya dengan menangis karena faktor sosial. Padahal, dengan menangis sebenarnya kita sudah menyalurkan sebagian emosi-emosi negatif. Pada saat menangis, racun-racun dalam tubuh juga ikut terbuang,” urainya.

Laki-laki, lanjutnya, malah lebih banyak menyalurkan emosinya dengan cara-cara yang bahkan dapat membahayakan diri mereka sendiri, misalnya menjadi agresif atau melarikan diri pada alkohol dan obat-obatan terlarang. Hal inilah yang memperparah masalahnya hingga mengakibatkan gangguan kejiwaan. Mereka juga jarang berusaha mendapatkan dukungan sosial dari lingkungannya.

“Berbeda dengan perempuan, yang kalau ada masalah mereka justru curhat dan mencari bantuan dan dukungan dari lingkungannya. Hal itu membuat mereka mampu melakukan katarsis (penyaluran emosi-emosi negatif) dengan baik. Secara organis pun, pria memiliki kecendrungan penyimpangan yang jauh lebih besar. Perempuan biasanya lebih bersifat resesif (pembawa) saja,” tegasnya.

Dari segi usia yang matang, diharapkan seseorang mendapatkan pekerjaan yang baik, pernikahan dan memiliki hubungan sosial yang baik. Jika seseorang belum mendapat penghasilan sendiri, otomatis masyarakat maupun dirinya sendiri akan menghukum dirinya. Itu adalah usia produktif sehingga ketika seseorang tidak mencapai perilaku yang optimal pada masa itu, mereka akan kehilangan harga diri.

“Menurunkan harga diri, membuat mereka merasa tidak berdaya dan akhirnya mengarah pada depresi dan sebagainya. Persoalan hidup serta penyesuaian diri yang harus dilakukan juga cukp banyak sehingga berpeluang menimbulkan stress. Misalnya masalah dalam pekerjaan, rumah tangga, anak-anak, mertua, ipar, dan lainnya,” jelas Irna.

Jika dilihat dari sudut pandang sosiologi, M Iqbal pengamat sosilog Unimed menambahkan seseorang yang mengalami gangguan jiwa banyak faktor penyebabnya. Namun faktor ekonomi dan lingkungan sangat berpengaruh. Seorang laki-laki lebih rentan mengalami gangguan kejiwaan karena tuntutan hidup yang harus dipikulnya.

“Misalnya dalam keluarga, otomatis laki-laki mengalami tuntutan psikologi yang tinggi untuk mencukupi nafakah keluarganya. Apalagi kompetensi dalam karir, menyebabkan mereka gampang marah, stress dan akhirnya mengalami gangguan kejiwaan. Dalam keluarga peranan laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan. Sebagai kepala keluarga, mereka harus bisa survive. Kegagalan yang dialaminya membuatnya tidak bisa menerima realitas yang terjadi,” jelasnya.

Untuk itu, mereka harus beradaptasi dan menerima kenyataan yang jauh dari harapan. Peran keluarga sangat penting dalam hal ini. Seseorang, terutama laki-laki, bisa berbagi dan mencurahkan semua keluh kesahnya untuk meringankan masalah yang dihadapi. Terpenting tingkatkan religius dan keimanan kepada Tuhan. (mag-11)

MEDAN-Laki-laki yang selama ini diakui lebih kuat dibanding perempuan ternyata lebih rentan mengalami gangguan jiwa. Di Sumatera Utara, perbandingan antara laki-laki dan perempuan yang terganggu jiwanya mencapai 3 banding 1.

Setidaknya hal ini terungkap dari jumlah pasien  Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Provinsi Sumatera Utara (Provsu). Bahkan, jumlah laki-laki yang mengalami kelainan jiwa diprediksi masih akan bertambah.

Hal ini diungkapkan Direktur RSJD Provsu, Dapot P Gultom melalui Kabag TU RSJD Provsu, Sunarno, Kamis (19/1) di ruangannya
Berdasarkan data yang diperoleh dari Medical Record RSJD Provsu, sepanjang tahun 2011 ada 2.055 pasien rawat inap yang terdata. 1.544 orang di antaranya pasien laki-laki dan perempuan 511 orang. Sedangkan pada 2010, sebanyak 1.949 pasien yang menjalani rawat inap di RSJD Provsu di antaranya, 1.445 orang laki-laki dan 504 perempuan.

“Jumlahnya memang meningkat secara signifikan. Memang dari jumlah tersebut, laki-laki lebih banyak penderitanya daripada perempuan. Penyebabnya dikarenakan laki-laki lebih sering mengalami tekanan biologis maupun sosial. Penyakit jiwa ini, bisa juga karena pasien pernah mengalami benturan di kepala, keracunan, dan yang berkaitan dengan organ tubuh lainnya,” katanya.

Namun, katanya, penderita gangguan jiwa lebih cenderung dikarenakan faktor ekonomi dan minimnya lapangan pekerjaan. Berdasarkan umur, pada tahun 2011 usia 30-34 tahun lebih banyak mengalami gangguan jiwa mencapai 413 orang dan pada usia remaja 46 orang. Sedangkan pada tahun 2010 usia 30-34 tahun sebanyak 400 orang. Pada remaja usia 15-19 tahun ada 56 orang.

“Di RS Jiwa, pada usia tersebut lebih banyak menjalani menderita gangguan jiwa. Karena pada saat itu, si laki-laki memiliki tanggung jawab yang tinggi seperti untuk mencukupi keluarganya, dia harus memikirkan ke mana mencari lapangan kerja. Orang bisa menjadi depresi, malu dan putus asa karena minimnya lapangan pekerjaan. Selain itu, tidak terpenuhinya kebutuhan dan tuntutan hidup membuat mudahnya kejiwaan seseorang menjadi terganggu,” jelasnya.

Selanjutnya untuk jumlah rawat jalan, pada 2011 mencapai 15.966 pasien di antaranya laki-laki 10.410 orang dan perempuan sebanyak 5.556 orang. Sedangkan pada 2010, jumlah pasien rawat jalan sebanyak 15.720 pasien: laki-laki 9.183 orang dan perempuan mencapai 6.537 orang.
“Untuk pasien gangguan jiwa ini, kita tidak bisa menjamin apakah mereka benar-benar sembuh total. Biasanya pasien yang berobat di sini kebanyakan pasien berulang. Untuk menentukan mereka sudah sembuh harus berdasarkan pemeriksaan mental, fisik, dan sosialnya. Bisa berhubungan dengan orang lain dan harus ada keluarga yang menanggungjawabi,” ungkapnya.

Ditambahkannya, mayoritas pasien yang dibawa sudah parah sehingga dalam pengobatannya semakin sulit. Pasien yang menjalani perawatan atas pengawasan dokter. Pengobatan sendiri dapat dilakukan dengan terapi seperti strum listrik, rehabilitasi hingga mengajarkan mereka sebuah keterampilan yang nantinya dapat digunakan saat kembali ke masyarakat.

“Tingkat kesembuhan juga menjadi penentu. Apakah keluarganya dan masyarakat menerima dia atau malah menjauhi dia. Namun, penyakit jiwa ini dapat juga karena faktor keturunan atau genetik. Tergantung pola asuh keluarganya juga. Tapi tidak semua kasus, karena orangtuanya mengalami gangguan jiwa, lantas anaknya juga sakit jiwa,” terangnya.

Mengenai penggunaan kartu merah bagi pasien gangguan jiwa, sebenarnya, kata Sunarno untuk memudahkan pasien dalam menjalani pengobatan. Kartu merah tersebut berisi nomor atau kode medical record yang digunakan untuk mencari catatan medis bila pasien berobat lagi nantinya.

“Banyak yang beranggapan, pasien gangguan jiwa memanfaatkan kartu merah untuk bertindak kriminal. Sebenarnya itu salah, karena pasien ini juga harus terus check up ke dokter, jadi kartu merah itu digunakan supaya pasien mudah berobat karena sebelumnya ada catatan medis di RS Jiwa. Sekarang kita nggak pakai kartu warna merah lagi, tapi berwarna kuning. Karena itu tadi, banyaknya stigma buruk dari masyarakat,” ucapnya.

Terkait banyaknya penderita gangguan jiwa di jalanan, menurutnya bukan tanggung jawab dari pihaknya. “Ini tanggung jawab dari Dinas Sosial. Karena yang dibawa ke RSJD Provsu harus ada yang menanggungjawabi. Jika gelandangan tadi mengalami gangguan jiwa, mereka dapat membawanya ke rumah sakit jiwa dan menanggungjawabinya. Tentunya ini membutuhkan kerja sama lintas sektor,” urainya.

Sementara itu, saat Sumut Pos berkunjung ke RS Jiwa dan Ketergantungan Obat Sembada Jalan sembada XII Pdang Bulan Medan, Direktur maupun Humas sedang tidak berada ditempat. Begitupun, Deni, perawat di rumah sakit swasta tersebut mengatakan pasien yang menjalani perawatan tidak begitu banyak hanya berkisar 15 orang. “Dirut sama Humasnya lagi diluar, Kak. Pasiennya nggak begitu banyak. Rata-rata pasien yang mengalami gangguan jiwa biasa, bukan karena pengaruh obat-obatan,” tukasnya. (mag-11)

Jangan Malu untuk Menangis

Direktur Biro Psikologi PERSONA, Irna Minauli mengungkapkan seseorang yang mengalami gangguan jiwa dapat disebabkan beberapa faktorn
Pertama, faktor psikogenik seperti kemiskinan, perceraian dan kegagalan dalam rumah tangga. Dan, kedua faktor organik mencakup gangguan diotak, bisa saja disebabkan mengkonsumsi obat-obatan, penyakit syphilis dan lainnya.

“Memang aspek ekonomi sangat mempengaruhi kejiwaan seseorang. Seperti minimnya lapangan pekerjaan, kebangkrutan atau PHK yang otomatis menjadikan seseorang pengangguran. Mereka yang tidak memiliki lapangan pekerjaan, tidak sanggup mendapat tudingan yang tidak baik dari masyarakat,” ujarnya.

Katanya, secara umum, penderita gangguan jiwa memang lebih banyak diderita kaum laki-laki. Secara psikologis laki-laki lebih rentan karena mengalami banyak tekanan secara biologis maupun sosial. Para pria terbiasa untuk memendam masalahnya sendiri. Mereka jarang berbagi dan kurang mampu menyalurkan emosi dengan baik.

“Berbeda dengan perempuan. Biasanya perempuan hanya mengalami depresi, selebihnya didominasi oleh laki-laki. Pria tidak bisa menyalurkan kesedihannya dengan menangis karena faktor sosial. Padahal, dengan menangis sebenarnya kita sudah menyalurkan sebagian emosi-emosi negatif. Pada saat menangis, racun-racun dalam tubuh juga ikut terbuang,” urainya.

Laki-laki, lanjutnya, malah lebih banyak menyalurkan emosinya dengan cara-cara yang bahkan dapat membahayakan diri mereka sendiri, misalnya menjadi agresif atau melarikan diri pada alkohol dan obat-obatan terlarang. Hal inilah yang memperparah masalahnya hingga mengakibatkan gangguan kejiwaan. Mereka juga jarang berusaha mendapatkan dukungan sosial dari lingkungannya.

“Berbeda dengan perempuan, yang kalau ada masalah mereka justru curhat dan mencari bantuan dan dukungan dari lingkungannya. Hal itu membuat mereka mampu melakukan katarsis (penyaluran emosi-emosi negatif) dengan baik. Secara organis pun, pria memiliki kecendrungan penyimpangan yang jauh lebih besar. Perempuan biasanya lebih bersifat resesif (pembawa) saja,” tegasnya.

Dari segi usia yang matang, diharapkan seseorang mendapatkan pekerjaan yang baik, pernikahan dan memiliki hubungan sosial yang baik. Jika seseorang belum mendapat penghasilan sendiri, otomatis masyarakat maupun dirinya sendiri akan menghukum dirinya. Itu adalah usia produktif sehingga ketika seseorang tidak mencapai perilaku yang optimal pada masa itu, mereka akan kehilangan harga diri.

“Menurunkan harga diri, membuat mereka merasa tidak berdaya dan akhirnya mengarah pada depresi dan sebagainya. Persoalan hidup serta penyesuaian diri yang harus dilakukan juga cukp banyak sehingga berpeluang menimbulkan stress. Misalnya masalah dalam pekerjaan, rumah tangga, anak-anak, mertua, ipar, dan lainnya,” jelas Irna.

Jika dilihat dari sudut pandang sosiologi, M Iqbal pengamat sosilog Unimed menambahkan seseorang yang mengalami gangguan jiwa banyak faktor penyebabnya. Namun faktor ekonomi dan lingkungan sangat berpengaruh. Seorang laki-laki lebih rentan mengalami gangguan kejiwaan karena tuntutan hidup yang harus dipikulnya.

“Misalnya dalam keluarga, otomatis laki-laki mengalami tuntutan psikologi yang tinggi untuk mencukupi nafakah keluarganya. Apalagi kompetensi dalam karir, menyebabkan mereka gampang marah, stress dan akhirnya mengalami gangguan kejiwaan. Dalam keluarga peranan laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan. Sebagai kepala keluarga, mereka harus bisa survive. Kegagalan yang dialaminya membuatnya tidak bisa menerima realitas yang terjadi,” jelasnya.

Untuk itu, mereka harus beradaptasi dan menerima kenyataan yang jauh dari harapan. Peran keluarga sangat penting dalam hal ini. Seseorang, terutama laki-laki, bisa berbagi dan mencurahkan semua keluh kesahnya untuk meringankan masalah yang dihadapi. Terpenting tingkatkan religius dan keimanan kepada Tuhan. (mag-11)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/