“Sehingga kalau berbicara mengenai daya saing memang seharusnya seperti ini. Dengan melepaskan sebagian saham, kita berharap kita bisa belajar dari negara lain yang sudah mumpuni dalam pengelolaan bandara. Selain itu kita juga menginginkan agar pemegang saham minoritas tersebut memiliki kepentingan untuk membesarkan bandara kualanamu,” paparnya.
Dia menegaskan sebenarnya selain menerbitkan saham, sebuah perusahaan bisa mencari sumber pembiayaan lain melalui kredit (utang) atau obligasi. Akan tetapi, keterlibatan pemodal dalam ikut mengelola bandara menjadi terbatas jika hanya mengandalkan utang atau obligasi tersebut.
“Dan yang menjadi pertanyaan saya, mengapa investor AS yang diundang? Karena selain AS, ada Eropa, Tiongkok, hingga India yang sebenarnya juga bisa menjadi pemodal potensial serta memiliki potensi wisman yang bisa digarap,” ungkapnya.
Dalam melepaskan saham minoritas ini, Benyamin mengimbau pemerintah agar lebih transparan dan memberi pemahaman kepada masyarakat. Melepaskan saham minoritas bukan berarti menyerahkan sepenuhnya Bandara Kualanamu kepada pihak asing. Ini sama halnya dengan perusahaan-perusahaan yang telah menjual saham minoritasnya. Seperti Telkom, maupun perusahaan perbankan nasional seperti BRI, Mandiri, BTN atau BNI.
“Semua perusahaan itu statusnya masih BUMN. Artinya, masih milik pemerintah. Bukan sepenuhnya dikuasai asing. Jadi peluang asing untuk menguasai perusahaan-perusahaan Negara itu tergantung pemerintah kita sendiri. Ada DPR yang menjadi keterwakilan kita. Jadi tidak akan semudah membalikan telapak tangan agar saham bandara itu dijual ke pihak manapun,” tambahnya. (btr/mag-2/bbs/adz)