Pelengseran Para Pejabat Eselon III
MEDAN-Pergantian pejabat eselon tiga yang dilakukan Plt Gubsu Gatot Pujo Nugroho banyak menuai pro dan kontra. Pengamat pemerintahan Sumut Wara Sinuhaji melihat pergantian tersebut terkesan aneh. “Ada kesan saenake dewe (sesuka hati). Karena sistem yang dilakukannya tak melalui Baperjakat. Lantas, apa guna Baperjakat?” tegasnya.
Lebih lanjut ia mengungkapkan, saat Syamsul masih menjabat hubungan mereka memang terlihat ‘disharmoni.’
Pergantian eselon dua yang dilakukan Syamsul juga terkesan otoriter. “Kita ketahui sendiri, pergantian yang banyak dilakukan Syamsul terdengar harus ‘main duit.’ Untuk mengisi kepala dinas harus bayar miliaran. Dan saat itu Syamsul juga terkesan tak peduli kepada Gatot. Jadi saat ini muncul pula kesan Gatot balas dendam,” kata Wara.
Ia juga menjelaskan, pergantian pejabat-pejabat yang dilakukan PLt Gubsu saat ini menimbulkan kesan adanya pergantian gerbong yang dulunya diisi orang-orang Syamsul, dan sudah saatnya digantikan oleh orang-orang yang ada di gerbong Plt Gubsu.
Wara menegaskan kembali, pejabat birokrasi sangat berbeda dengan pejabat politik. “Pergantian-pergantian yang dilakukannya memang membuat para PNS tak nyaman bekerja. Pejabat birokrasi ini merupakan pejabat yang merintis karir. Tak bisa dengan sekejap langsung menduduki jabatan strategis. Orang yang menempati jabatannya masing-masing tentunya harus memiliki kompetensi yang mumpuni. Jangan begitu lah…” kata Wara.
Pemerhati politik ini lantas mengingatkan kembali kalau sebelum menjadi pejabat, Gatot dulunya seorang dosen. “Bagaimana kalau saat itu ia juga mengalami hal yang sama dilakukan oleh pimpinannya? Tentunya hal tersebut akan menyakitkan,” kata Wara.
Menurut Wara, PLt Gubsu saat ini adalah orang yang bersih. Namun, berkat ligkungan sekitarnya PLt Gubsu acapkali yang harus menerima akibatnya. “Jadi, akan lebih baik lagi jika setiap pelantikan pejabat diawasi Kejatisu atau KPK. Karena tak sedikit pelantikan yang banyak dilakukan di Sumut ini mengandung KKN,” jelasnya.
Sementara Pengamat pemerintahan lainnya, Ahmad Taufan Damanik, meminta semua pihak memberikan ruang bagi Gatot dalam bekerja. “Penggantian pejabat hak prerogatif seorang Plt Gubsu. Saya malah aneh melihat apa yang ingin dilakukan DPRD Sumut untuk memanggil Plt Gubsu. Mengapa mereka mencampuri hingga sejauh itu. Yang terpenting adalah pergantian ini tentunya akan menghasilkan sesuatu hal, apakah menjadi lebih buruk atau menjadi lebih baik,” terangnya.
Jika hasil pergantian pejabat ini saat dievaluasi nantinya menjadikan birokrasi di Pemprovsu semakin buruk, baru DPRD Sumut bisa memanggil Plt Gubsu untuk melakukan hak interplasinya. “Jika saat ini dipanggil, tentunya PLt Gubsu akan mejawab dengan mudah, itu hak prerogatif saya, katanya, habis perkara. Nah, DPRD Sumut juga harusnya bisa menjaga diri, jika nantinya dilakukan pemanggilan kepada PLt Gubsu saat ini, kemudian orang-orang yang menggantikannya ternyata bisa bekerja lebih maksimal dan menghasilkan pekerjaan yang lebih baik, maka DPRD Sumut sendiri yang akan malu kan?” ujarnya.
DPRD Sumut juga harusnya tak begitu mencurigai hal ini. “Seharusnya yang patut dicurigai adalah saat Syamsul bisa melantik pejabat-pejabat dari dalam penjara. Tapi orang yang segar bugar di sini dan sehat pikirannya, malah diprotes berlebihan. Kita harus memberikan kesempatan kepadanya. Minimal tiga bulan barulah DPRD Sumut mengevaluasi. Jika kinerja menurun, barulah bisa PLt Gubsu disalahkan,” terang Taufan.
PNS memang memiliki ‘kontrak’ bekerja untuk bisa ditempatkan oleh pimpinannya dimana saja. “Tapi kembali lagi, apa yang di Indonesia ini tak diributkan orang. Ya, kita tunggu sajalah tiga bulan kinerja orang-orang tersebut,” ujarnya.
Anggota DPRD Sumut dari Fraksi Golkar, Chaidir Ritonga, melihat pergantian-pergantian pejabat yang dilakukan Gatot bukan merupakan satu masalah. “Selama hal tersebut sudah melalui Baperjakat atau melalui pertimbangan kompetensi dan kapasitas pejabat untuk melaksanakan tupoksi jabatannya,” terangnya.
Ia mengakui penggantian pejabat tersebut memang wewenang Plt Gubsu. “Kalau saya menilainya dari Silpa yang salama ini sangat besar tiap tahunnya, hal ini yang menjadi dasar PLt Gubsu melakukan penggantian pejabat. Tentunya jika Silpa ini lebih sedikit atau dengan kata lain anggaran bisa diserap sepenuhnya maka akan bisa dinikmati masyarakat banyak secara langsung,” jelas Chaidir.
Menurutnya pula, idealnya setiap pergantian pejabat yang dilakukan harus dievaluasi setiap tiga bulan sekali. “Evaluasi ini bisa bertahap dan dibahas per kategori. Seperti tata laksana, pelaksanaan program anggaran dan membuat fakta integritas. Ini tentunya akan menghasilkan SDM yang mumpuni di Pemprovsu nantinya,” kata Chaidir.
Yang paling pentingnya lagi, Plt Gubsu harus pula menyikapi atau menjawab isu atau informasi yang belum bisa dikonfirmasi yang dinilai berbau nepotisme, balas dendam, premordialisme dan gratifikasi itu dengan sebaik-baiknya. “Ada asap karena ada api. Jadi kalau bisa Plt Gubsu harus menghilangkan ‘asap’ karena memang tak ada ‘api.’ Kita juga melihat selama ini gratifikasi sudah terlalu ramai dibicarakan. Tapi tak bisa dilihat wujud dan bentuknya, ini yang harus diatasi,” harapnya. (saz)