25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Presiden: Tolong Bedakan Niat Nyolong dan Administrasi

AFP PHOTO / ADEK BERRY President Indonesia, Joko Widodo.
AFP PHOTO / ADEK BERRY
President Indonesia, Joko Widodo.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Masih maraknya upaya kriminalisasi terhadap kepala daerah, tampaknya membuat Presiden Joko Widodo sebal. Kemarin, dia mengumpulkan seluruh Kapolda dan Kajati se-Indonesia di Istana Negara. Presiden kembali meminta aparat penegak hukum untuk tidak mengkriminalisasi kepala daerah atas kebijakan yang diambil.

Saat berbicara kemarin, mimik muka Jokowi tampak serius. ’’Kita sudah pontang-panting melakukan terobosan-terobosan, baik deregulasi ekonomi maupun amnesty pajak,’’ ucapnya. Menurut dia, berbagai jurus untuk bisa mendorong tumbuhnya perekonomian sudah dikeluarkan oleh pemerintah.

“Namun, kalau tidak ada support dari jajaran di daerah, baik pemda, kejari, kejati, polresta, polda, ya tidak jalan,’’ lanjut Jokowi dengan nada kecewa. Jokowi menuturkan, ada lima hal yang sudah sejak tahun lalu sudah dia minta kepada Kapolda dan Kajari. Seluruhnya menyangkut penegakan hukum dan kebijakan pemerintah daerah.

Pertama, kebijakan atau diskresi yang diambil kepala daerah jangan sampai dipidanakan. Hal yang sama juga harus diterapkan pada tindakan administrasi pemerintahan. ’’Tolong dibedakan. Mana yang niat nyuri, mana yang niat nyolong, mana yang itu tindakan administrasi,’’ ujar mantan pengusaha meubel itu.

Ketiga, terkait dengan kerugian negara yang dinyatakan BPK, masih ada waktu 60 hari untuk memperbaiki atau bahkan mengembalikan. Berikutnya, kerugian negara harus konkret. Terakhir, kasus-kasus tersebut tidak diekspos berlebihan sebelum sampai ke ranah penuntutan. Sebab, belum tentu tersangka itu memang bersalah.

Selama setahun belakangan, Jokowi mengaku mendengar sejumlah keluhan dari bupati, wali kota, maupun gubernur berkaitan dengan upaya pemidanaan terhadap kepala daerah dan jajarannya. ’’Nanti saya akan blak-blakan kalau sudah nggak ada media, ucapnya menutup pengantar. Dia lalu kembali duduk tanpa mengucapkan salam.

Seskab Pramono Anung menuturkan, pada dasarnya Presiden hanya tidak ingin ada upaya kriminalisasi terhadap pihak eksekutif yang sedang menjalankan pembangunan. Dalam hal ini, kepala daerah dan jajarannya. ’’Tapi kalau benar-benar salah ya tangkap, kalau mencuri, ya penjarakan,’’ ujar Pramono usai pertemuan.

Temuan BPK misalnya, ada saja yang belum habis 60 hari, penegak hukum sudah masuk dan memproses. Kemudian, saat memproses itu buru-buru diumumkan kepada publik, sehingga seolah sudah bersalah. ’’Kalau memang kriminalisasi terus dilakukan, presiden menyampaikan, meminta kepada Jaksa Agung dan Kapolri mencopot Kajari dan Kajati (juga Kapolda-Kapolres),’’ lanjut mantan Sekjen PDIP itu.

Saat ini, tutur Pramono, ada kurang lebih Rp 246 triliun dana di berbagai daerah yang disimpan di Bank Pembangunan Daerah. Kondisi tersebut dinilai sangat merugikan karena unagnya tidak bergerak. Di satu sisi, pemerintah sedang mencari tambahan dana untuk memperkuat fiskal. Namun, di sisi lain ada dana menganggur yang begitu besar di daerah.

’’Karena apa, mereka (kepala daerah) takut untuk menggunakan uang itu,’’ ucapnya. Karenanya, Presiden justru meminta Kapolda dan Kajati untuk ikut mendorong agar dana-dana tersebut segera diserap untuk pembangunan.

Dia mengakui, ada faktor lain yang mungkin bisa menjadi motif dana menganggur. Salah satunya, untuk mengincar bunga bank. Caranya adalah mengendapkan dana berbulan-bulan. Jika memang itu yang terjadi, maka pemerintah akan mengambil tindakan. Salah satunya mengurangi alokasi dana untuk daerah.

Pramono menambahkan, presiden tidak sedang mengungkapkan kekecewaan terhadap para kapolda dan Kajati. ’’Presiden memberikan penegasan, jangan disalahartikan,’’ tambahnya.

Mendagri Tjahjo Kumolo mengakui, salah satu hal yang dibahas Presiden dengan para penegak hukum tahun lalu adalah faktor ketakutan kepala daerah. BPK memberi waktu 60 hari untuk menjawab temuan yang ada. ’’Ya seharusnya penegak hukum jangan masuk,’’ ucapnya.

AFP PHOTO / ADEK BERRY President Indonesia, Joko Widodo.
AFP PHOTO / ADEK BERRY
President Indonesia, Joko Widodo.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Masih maraknya upaya kriminalisasi terhadap kepala daerah, tampaknya membuat Presiden Joko Widodo sebal. Kemarin, dia mengumpulkan seluruh Kapolda dan Kajati se-Indonesia di Istana Negara. Presiden kembali meminta aparat penegak hukum untuk tidak mengkriminalisasi kepala daerah atas kebijakan yang diambil.

Saat berbicara kemarin, mimik muka Jokowi tampak serius. ’’Kita sudah pontang-panting melakukan terobosan-terobosan, baik deregulasi ekonomi maupun amnesty pajak,’’ ucapnya. Menurut dia, berbagai jurus untuk bisa mendorong tumbuhnya perekonomian sudah dikeluarkan oleh pemerintah.

“Namun, kalau tidak ada support dari jajaran di daerah, baik pemda, kejari, kejati, polresta, polda, ya tidak jalan,’’ lanjut Jokowi dengan nada kecewa. Jokowi menuturkan, ada lima hal yang sudah sejak tahun lalu sudah dia minta kepada Kapolda dan Kajari. Seluruhnya menyangkut penegakan hukum dan kebijakan pemerintah daerah.

Pertama, kebijakan atau diskresi yang diambil kepala daerah jangan sampai dipidanakan. Hal yang sama juga harus diterapkan pada tindakan administrasi pemerintahan. ’’Tolong dibedakan. Mana yang niat nyuri, mana yang niat nyolong, mana yang itu tindakan administrasi,’’ ujar mantan pengusaha meubel itu.

Ketiga, terkait dengan kerugian negara yang dinyatakan BPK, masih ada waktu 60 hari untuk memperbaiki atau bahkan mengembalikan. Berikutnya, kerugian negara harus konkret. Terakhir, kasus-kasus tersebut tidak diekspos berlebihan sebelum sampai ke ranah penuntutan. Sebab, belum tentu tersangka itu memang bersalah.

Selama setahun belakangan, Jokowi mengaku mendengar sejumlah keluhan dari bupati, wali kota, maupun gubernur berkaitan dengan upaya pemidanaan terhadap kepala daerah dan jajarannya. ’’Nanti saya akan blak-blakan kalau sudah nggak ada media, ucapnya menutup pengantar. Dia lalu kembali duduk tanpa mengucapkan salam.

Seskab Pramono Anung menuturkan, pada dasarnya Presiden hanya tidak ingin ada upaya kriminalisasi terhadap pihak eksekutif yang sedang menjalankan pembangunan. Dalam hal ini, kepala daerah dan jajarannya. ’’Tapi kalau benar-benar salah ya tangkap, kalau mencuri, ya penjarakan,’’ ujar Pramono usai pertemuan.

Temuan BPK misalnya, ada saja yang belum habis 60 hari, penegak hukum sudah masuk dan memproses. Kemudian, saat memproses itu buru-buru diumumkan kepada publik, sehingga seolah sudah bersalah. ’’Kalau memang kriminalisasi terus dilakukan, presiden menyampaikan, meminta kepada Jaksa Agung dan Kapolri mencopot Kajari dan Kajati (juga Kapolda-Kapolres),’’ lanjut mantan Sekjen PDIP itu.

Saat ini, tutur Pramono, ada kurang lebih Rp 246 triliun dana di berbagai daerah yang disimpan di Bank Pembangunan Daerah. Kondisi tersebut dinilai sangat merugikan karena unagnya tidak bergerak. Di satu sisi, pemerintah sedang mencari tambahan dana untuk memperkuat fiskal. Namun, di sisi lain ada dana menganggur yang begitu besar di daerah.

’’Karena apa, mereka (kepala daerah) takut untuk menggunakan uang itu,’’ ucapnya. Karenanya, Presiden justru meminta Kapolda dan Kajati untuk ikut mendorong agar dana-dana tersebut segera diserap untuk pembangunan.

Dia mengakui, ada faktor lain yang mungkin bisa menjadi motif dana menganggur. Salah satunya, untuk mengincar bunga bank. Caranya adalah mengendapkan dana berbulan-bulan. Jika memang itu yang terjadi, maka pemerintah akan mengambil tindakan. Salah satunya mengurangi alokasi dana untuk daerah.

Pramono menambahkan, presiden tidak sedang mengungkapkan kekecewaan terhadap para kapolda dan Kajati. ’’Presiden memberikan penegasan, jangan disalahartikan,’’ tambahnya.

Mendagri Tjahjo Kumolo mengakui, salah satu hal yang dibahas Presiden dengan para penegak hukum tahun lalu adalah faktor ketakutan kepala daerah. BPK memberi waktu 60 hari untuk menjawab temuan yang ada. ’’Ya seharusnya penegak hukum jangan masuk,’’ ucapnya.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/