25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Hatta Rajasa Tolak 2 Permintaan Sumut

Bagi Hasil Perkebunan dan Saham Inalum

MEDAN-Permintaan Sumatera Utara (Sumut) untuk menikmati dana bagi hasil perkebunan dan kepemilikan saham PT Indonesia Aluminium (Inalum) makin jauh api dari panggang. Pasalnya, Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Hatta Rajasa, menolak kedua permintaan Sumut itu.

Hal ini terungkap dari acara Rapat Koordinasi Gubernur se-Sumatera 2012 di Hotel JW Marriot, Jalan Putri Hijau, Medan, Rabu (19/12). Hatta yang hadir untuk membuka acara itu tidak memberikan respon positif setelah dua hal tadi diungkapkan Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho.

Kemarin, di hadapan Menko, Gatot menekankan kembali tuntutan daerah penghasil perkebunan untuk mendapatkan porsi dana bagi hasil perkebunan. Selain itu, Pemprovsu dan sepuluh kabupaten/kota di sekitar Danau Toba berharap dapat menguasai saham PT Inalum yang akan diambil alih oleh pemerintah dari Jepang pada 2013 mendatang.

“Tak bosannya kami menyampaikan harapan adanya pembagian dana bagi hasil perkebunan kepada daerah penghasil agar hasil perkebunan yang diperoleh dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat setempat,” ujar Gatot.

Gatot dalam sambutan menekankan pada pemerintah pusat bahwa sebagai daerah penghasil utama perkebunan, sudah saatnya ada pembagian dana bagi hasil perkebunan kepada daerah penghasil. Pembagian dana bagi hasil itu diperlukan agar hasil perkebunan yang diperoleh dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat setempat. Lebih jauh lagi dana bagi hasil idealnya dapat digunakan untuk pembangunan sektor perkebunan itu sendiri sehingga pemanfaatannya dapat lebih berkelanjutan.

Dalam kesempatan itu Gatot juga menyampaikan harapan Pemprov Sumut dan 10 kabupaten/kota sekitar PT Inalum, terkait pengambilalihan pemerintah setelah kontrak dengan Jepang berakhir 2013 mendatang. “Kami ingin daerah sebagai representasi masyarakat setempat mendapatkan kesempatan untuk memiliki saham pada perusahaan yang bergerak di bidang peleburan dan produksi alumunium tersebut,” ujarnya.

Hasilnya? Di hadapan wartawan usai membuka acara itu, Hatta menyampaikan penolakan terhadap permintaan Sumut itu. “APBN kita tidak dibenarkan dikembalikan dalam bentuk uang dan sebagainya. Kita bisa melanggar undang-undang kalau harus bagi hasil (kebun),” kata Hatta.

Namun lanjut Hatta, pemerintah setuju jika pengembalian pendapatan hasil perkebunan tersebut dialokasikan ke pembangunan infrastruktur yang menyentuh langsung ke perkebunan. Diakuinya memang selama ini bentuk pengembaliannya belum maksimal dilakukan mengingat keterbatasan APBN. Begitupun pemerintah pusat akan terus mengupayakan semaksimal mungkin.

“Kita sepakat ada pengembalian, tapi bukan dengan bagi hasil. Memang belum cukup karena pada akhirnya APBN kita tidak cukup,” ujarnya kembali.

Sedangkan terkait pengambilalihan PT Inalum, Hatta juga tidak bersedia menjanjikan apapun terkait keinginan Sumut atas kepemilikan saham. “Yang penting kita hadapi dulu pengambilalihan. Pokoknya kuasai dulu,” kata Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN) itu.

Menurutnya semua kemungkinan terkait pembagian saham bisa terjadi. Karena jika sudah diambilalih maka semua keputusan terkait PT Inalum hanya Indonesia yang berhak memutuskan.”Semua kemungkinan itu ada. Kan kita sendiri nanti yang tentukan,” ujarnya.

Permintaan Sumut soal dana bagi hasil perkebunan bukan tanpa dasar yang kuat. Sebab kontribusi perekonomian yang disumbangkan Sumatera salah satunya adalah melalui hasil perkebunan kelapa sawitnya. Kegiatan ekonomi utama kelapa sawit di Sumatera memegang peranan penting bagi suplai kelapa sawit di Indonesia dan dunia.

Indonesia merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia sejak 2007, dan sekitar 70 persen lahan penghasil kelapa sawit di Indonesia berada di Sumatera. Perkebunan kelapa sawit telah memberi lapangan pekerjaan yang luas karena sekitar 42 persen lahan kelapa sawit dimiliki oleh petani kecil.

Selain itu dalam produksi karet mentah dari perkebunan, Sumatera juga produsen terbesar di Indonesia dan masih memiliki peluang peningkatan produktivitas. Koridor ekonomi Sumatera menghasilkan sekitar 65 persen dari produksi karet nasional. Sedangkan Indonesia merupakan negara kedua penghasil karet alami di dunia yaitu sekitar 28 persen dari produksi karet dunia pada 2010 dan sedikit di belakang Thailand sekitar 30 persen.

Satu-satunya respon postif yang ditunjukan Hatta Rajasa hanya soal pembangunan high way high grade jalan baru sepanjang 2.770 km yang menghubungan daerah di sepanjang Pulau Sumatera. Jalan nontol dengan kualitas tol tersebut menurutnya akan menjadi ikon koridor Sumatera yang membutuhkan dana Rp80-90 Triliun.

Dengan asumsi mebutuhkan biaya Rp30 m dalam setiap kilometer pembangunannya, maka dibutuhkan sekitar 80-90 triliun dana membangun jalan lintas Sumatera tersebut. Saat ini, menurut Hatta, baru 30 persen dari total subsidi yang diberikan pemerintah. “MP3EI memasukkan pembangunan jalan highway high grade sebagai salah satu program, paling tidak desainnya harus segera diselesaikan,” ujar Hatta.

Hatta menjelaskan bahwa pada 2013, pemerintah menyediakan alokasi dana sebesar Rp430 triliun yang bersumber dari APBN dan APBD untuk pembangunan infrastruktur yaitu jalan tol, jalan provinsi, irigasi dan pembangkit listrik. Hatta merincikan dana yang bersumber dari APBN/APBD senilai Rp300 triliun, sementara Rp130  triliun sisanya berasal dari investasi BUMN dan swasta.

Usai membuka acara itu, Hatta didampingi Gatot mengunjungi bandara baru yang berada di Kualanamu, Deliserdang. Dalam kunjungannya, Hatta menggunakan jasa kereta api. Berangkat dari Stasiun Besar Kereta Api Medan pada Rabu (22/12) sekitar pukul 11.40 WIB, Hatta dan rombongan menaiki gerbong kereta baru.

Tampak Dirjen Perhubungan Udara, Bambang G, ikut dalam gerbong tersebut. Setelah menempuh perjalanan melewati beberapa stasiun yaitu Bandarkalipah, Batangkuis dan Araskabu, rombongan tiba di bandara sekitar pukul 12.20 WIB. Total lama perjalanan dengan jalur kereta api ini sekitar 40 menit.

Kereta berhenti beberapa puluh meter dari pintu bandara dan rombong dijemput dengan bus. Rombongan kemudian masuk ke area bandara yaitu terminal keberangkatan yang berada di lantai 2. Bambang Hermanto, Koordinator Teknik PT Angkasa Pura, menjelaskan area check in dan penggunaan sistem otomatis dalam penanganan bagasi (bagage handling system otomatic) dengan menggunakan scan barcode.

Dijelaskannya interior bandara banyak mengadopsi khasanah budaya dan sumber daya alam lokal di antaranya motif ulos pada bagian lantai dan desain kubah yang meniru pohon kelapa sawit.

andara ini juga menerapkan konsep hemat energi dengan tata pencahayaan yang terang benderang pada siang hari sehingga tidak membutuhkan penerangan di dalam ruangan pada siang hari. Demikian juga dengan sistem pendingin ruangan yang didesain lebih hemat listrik. Terminal sepanjang 600 meter yang kini tengah proses finishing tersebut menampung 8 gate, di mana dua diantaranya adalah untuk penerbangan internasional.

Ketika meninjau terminal kedatangan yang berada di lantai 1, Hatta mempertanyakan kondisi terminal yang tampak masih belum serapi terminal keberangkatan di lantai 2. Bandara Internasional Kualanamu ini memiliki areal 1.365 hektar, dengan  kapasitas terminal 8,1 juta penumpang per tahun.

Saat beroperasi kelak, bandara ini bisa ditempuh lewat jalur kereta api, jalur tol, jalan non tol bahkan direncanakan bisa lewat modal transportasi laut. Areal parkir di bandara ini bisa menampung 407 taksi, 55 bus dan 908 mobil.

“Hasil progres sementara, Pak, sudah 91 persen. Jadi kemungkinan target Maret bisa tercapai,” ucap Bambang.

Seiring peninjauan Hatta ke bandara, banyak juga yang dipertanyakannya. “Run way bagaimana?” tanya Hatta.

Bambang menjelaskan landasan pacu (run way) telah diselesaikan lebih panjang dari Bandara di Batam. “Tahap pertama run way (landasan pacu) di sebelah kiri kita Pak, sepanjang 3.750 x 60 meter, lebih panjang dari Bandara Batam,” ujarnya singkat.

Usai peninjauan berjalan tersebut, Hatta dan rombongan menuju ke Kantor Project Implementation Unit (PIU) PT AP 2 yang masih di dalam areal bandara. Tampak dua maket perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yakni PT AP 2 maket Bandara Kualanamu dan PT PTPN 3 dengan maket Sei Semangkenya terpajang di depan ruang rapat PIU.

Namun, Hatta hanya memandang sejenak lalu masuk ke ruang rapat PIU. Saat di dalam, Hatta sempat bertanya pada unsur PIU agenda berikut yang seharusnya paparan hasil pembangunan dua perusahaan BUMN tersebut. Ternyata, usai makan siang, Hatta langsung berangkat bersama rombongan pengurus dan kader PAN menuju Kabupaten Serdangbedagai. (ril/btr/mag-5)

Bagi Hasil Perkebunan dan Saham Inalum

MEDAN-Permintaan Sumatera Utara (Sumut) untuk menikmati dana bagi hasil perkebunan dan kepemilikan saham PT Indonesia Aluminium (Inalum) makin jauh api dari panggang. Pasalnya, Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Hatta Rajasa, menolak kedua permintaan Sumut itu.

Hal ini terungkap dari acara Rapat Koordinasi Gubernur se-Sumatera 2012 di Hotel JW Marriot, Jalan Putri Hijau, Medan, Rabu (19/12). Hatta yang hadir untuk membuka acara itu tidak memberikan respon positif setelah dua hal tadi diungkapkan Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho.

Kemarin, di hadapan Menko, Gatot menekankan kembali tuntutan daerah penghasil perkebunan untuk mendapatkan porsi dana bagi hasil perkebunan. Selain itu, Pemprovsu dan sepuluh kabupaten/kota di sekitar Danau Toba berharap dapat menguasai saham PT Inalum yang akan diambil alih oleh pemerintah dari Jepang pada 2013 mendatang.

“Tak bosannya kami menyampaikan harapan adanya pembagian dana bagi hasil perkebunan kepada daerah penghasil agar hasil perkebunan yang diperoleh dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat setempat,” ujar Gatot.

Gatot dalam sambutan menekankan pada pemerintah pusat bahwa sebagai daerah penghasil utama perkebunan, sudah saatnya ada pembagian dana bagi hasil perkebunan kepada daerah penghasil. Pembagian dana bagi hasil itu diperlukan agar hasil perkebunan yang diperoleh dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat setempat. Lebih jauh lagi dana bagi hasil idealnya dapat digunakan untuk pembangunan sektor perkebunan itu sendiri sehingga pemanfaatannya dapat lebih berkelanjutan.

Dalam kesempatan itu Gatot juga menyampaikan harapan Pemprov Sumut dan 10 kabupaten/kota sekitar PT Inalum, terkait pengambilalihan pemerintah setelah kontrak dengan Jepang berakhir 2013 mendatang. “Kami ingin daerah sebagai representasi masyarakat setempat mendapatkan kesempatan untuk memiliki saham pada perusahaan yang bergerak di bidang peleburan dan produksi alumunium tersebut,” ujarnya.

Hasilnya? Di hadapan wartawan usai membuka acara itu, Hatta menyampaikan penolakan terhadap permintaan Sumut itu. “APBN kita tidak dibenarkan dikembalikan dalam bentuk uang dan sebagainya. Kita bisa melanggar undang-undang kalau harus bagi hasil (kebun),” kata Hatta.

Namun lanjut Hatta, pemerintah setuju jika pengembalian pendapatan hasil perkebunan tersebut dialokasikan ke pembangunan infrastruktur yang menyentuh langsung ke perkebunan. Diakuinya memang selama ini bentuk pengembaliannya belum maksimal dilakukan mengingat keterbatasan APBN. Begitupun pemerintah pusat akan terus mengupayakan semaksimal mungkin.

“Kita sepakat ada pengembalian, tapi bukan dengan bagi hasil. Memang belum cukup karena pada akhirnya APBN kita tidak cukup,” ujarnya kembali.

Sedangkan terkait pengambilalihan PT Inalum, Hatta juga tidak bersedia menjanjikan apapun terkait keinginan Sumut atas kepemilikan saham. “Yang penting kita hadapi dulu pengambilalihan. Pokoknya kuasai dulu,” kata Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN) itu.

Menurutnya semua kemungkinan terkait pembagian saham bisa terjadi. Karena jika sudah diambilalih maka semua keputusan terkait PT Inalum hanya Indonesia yang berhak memutuskan.”Semua kemungkinan itu ada. Kan kita sendiri nanti yang tentukan,” ujarnya.

Permintaan Sumut soal dana bagi hasil perkebunan bukan tanpa dasar yang kuat. Sebab kontribusi perekonomian yang disumbangkan Sumatera salah satunya adalah melalui hasil perkebunan kelapa sawitnya. Kegiatan ekonomi utama kelapa sawit di Sumatera memegang peranan penting bagi suplai kelapa sawit di Indonesia dan dunia.

Indonesia merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia sejak 2007, dan sekitar 70 persen lahan penghasil kelapa sawit di Indonesia berada di Sumatera. Perkebunan kelapa sawit telah memberi lapangan pekerjaan yang luas karena sekitar 42 persen lahan kelapa sawit dimiliki oleh petani kecil.

Selain itu dalam produksi karet mentah dari perkebunan, Sumatera juga produsen terbesar di Indonesia dan masih memiliki peluang peningkatan produktivitas. Koridor ekonomi Sumatera menghasilkan sekitar 65 persen dari produksi karet nasional. Sedangkan Indonesia merupakan negara kedua penghasil karet alami di dunia yaitu sekitar 28 persen dari produksi karet dunia pada 2010 dan sedikit di belakang Thailand sekitar 30 persen.

Satu-satunya respon postif yang ditunjukan Hatta Rajasa hanya soal pembangunan high way high grade jalan baru sepanjang 2.770 km yang menghubungan daerah di sepanjang Pulau Sumatera. Jalan nontol dengan kualitas tol tersebut menurutnya akan menjadi ikon koridor Sumatera yang membutuhkan dana Rp80-90 Triliun.

Dengan asumsi mebutuhkan biaya Rp30 m dalam setiap kilometer pembangunannya, maka dibutuhkan sekitar 80-90 triliun dana membangun jalan lintas Sumatera tersebut. Saat ini, menurut Hatta, baru 30 persen dari total subsidi yang diberikan pemerintah. “MP3EI memasukkan pembangunan jalan highway high grade sebagai salah satu program, paling tidak desainnya harus segera diselesaikan,” ujar Hatta.

Hatta menjelaskan bahwa pada 2013, pemerintah menyediakan alokasi dana sebesar Rp430 triliun yang bersumber dari APBN dan APBD untuk pembangunan infrastruktur yaitu jalan tol, jalan provinsi, irigasi dan pembangkit listrik. Hatta merincikan dana yang bersumber dari APBN/APBD senilai Rp300 triliun, sementara Rp130  triliun sisanya berasal dari investasi BUMN dan swasta.

Usai membuka acara itu, Hatta didampingi Gatot mengunjungi bandara baru yang berada di Kualanamu, Deliserdang. Dalam kunjungannya, Hatta menggunakan jasa kereta api. Berangkat dari Stasiun Besar Kereta Api Medan pada Rabu (22/12) sekitar pukul 11.40 WIB, Hatta dan rombongan menaiki gerbong kereta baru.

Tampak Dirjen Perhubungan Udara, Bambang G, ikut dalam gerbong tersebut. Setelah menempuh perjalanan melewati beberapa stasiun yaitu Bandarkalipah, Batangkuis dan Araskabu, rombongan tiba di bandara sekitar pukul 12.20 WIB. Total lama perjalanan dengan jalur kereta api ini sekitar 40 menit.

Kereta berhenti beberapa puluh meter dari pintu bandara dan rombong dijemput dengan bus. Rombongan kemudian masuk ke area bandara yaitu terminal keberangkatan yang berada di lantai 2. Bambang Hermanto, Koordinator Teknik PT Angkasa Pura, menjelaskan area check in dan penggunaan sistem otomatis dalam penanganan bagasi (bagage handling system otomatic) dengan menggunakan scan barcode.

Dijelaskannya interior bandara banyak mengadopsi khasanah budaya dan sumber daya alam lokal di antaranya motif ulos pada bagian lantai dan desain kubah yang meniru pohon kelapa sawit.

andara ini juga menerapkan konsep hemat energi dengan tata pencahayaan yang terang benderang pada siang hari sehingga tidak membutuhkan penerangan di dalam ruangan pada siang hari. Demikian juga dengan sistem pendingin ruangan yang didesain lebih hemat listrik. Terminal sepanjang 600 meter yang kini tengah proses finishing tersebut menampung 8 gate, di mana dua diantaranya adalah untuk penerbangan internasional.

Ketika meninjau terminal kedatangan yang berada di lantai 1, Hatta mempertanyakan kondisi terminal yang tampak masih belum serapi terminal keberangkatan di lantai 2. Bandara Internasional Kualanamu ini memiliki areal 1.365 hektar, dengan  kapasitas terminal 8,1 juta penumpang per tahun.

Saat beroperasi kelak, bandara ini bisa ditempuh lewat jalur kereta api, jalur tol, jalan non tol bahkan direncanakan bisa lewat modal transportasi laut. Areal parkir di bandara ini bisa menampung 407 taksi, 55 bus dan 908 mobil.

“Hasil progres sementara, Pak, sudah 91 persen. Jadi kemungkinan target Maret bisa tercapai,” ucap Bambang.

Seiring peninjauan Hatta ke bandara, banyak juga yang dipertanyakannya. “Run way bagaimana?” tanya Hatta.

Bambang menjelaskan landasan pacu (run way) telah diselesaikan lebih panjang dari Bandara di Batam. “Tahap pertama run way (landasan pacu) di sebelah kiri kita Pak, sepanjang 3.750 x 60 meter, lebih panjang dari Bandara Batam,” ujarnya singkat.

Usai peninjauan berjalan tersebut, Hatta dan rombongan menuju ke Kantor Project Implementation Unit (PIU) PT AP 2 yang masih di dalam areal bandara. Tampak dua maket perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yakni PT AP 2 maket Bandara Kualanamu dan PT PTPN 3 dengan maket Sei Semangkenya terpajang di depan ruang rapat PIU.

Namun, Hatta hanya memandang sejenak lalu masuk ke ruang rapat PIU. Saat di dalam, Hatta sempat bertanya pada unsur PIU agenda berikut yang seharusnya paparan hasil pembangunan dua perusahaan BUMN tersebut. Ternyata, usai makan siang, Hatta langsung berangkat bersama rombongan pengurus dan kader PAN menuju Kabupaten Serdangbedagai. (ril/btr/mag-5)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/