25.6 C
Medan
Tuesday, May 21, 2024

Gedung 10 Lantai Harus Dirombak

60 Persen Bangunan Tinggi di Medan tak Tahan Gempa

MEDAN- Sedikitnya 60 persen bangunan bertingkat di Kota Medan rawan roboh saat gempa datang. Hal ini makin mengkhawatirkan karena Medan terletak di kawasan yang dekat dengan sumber gempa. Itulah sebab, para ahli mengatakan gedung yang bertingkat minimal 10 lantai harus diretrofitting atau dirombak.

Ya, Kota Medan, daerah yang berada di grade 3 dalam gempa seharusnya memiliki bangunan tahan pada guncangan. Tetapi, kenyataanya tidak seperti itu. Karena itu, Ketua Departemen Fakultas Tehnik Sipil Universitas Sumatera Utara (USU), Ing Johanes Tarigan, menilai retrofitting atau perombakan ulang sebuah bangunan dalam upaya penguatan ketahanan kontruksinya adalah wajib.

Pasalnya, berdasarkan riset yang pernah dilakukan, daya nilai koevesien gempa yang dikeluarkan Pekerjaan Umum (PU) dan menjadi Standar Nasional Indonesia (SNI) saat itu masih terlalu kecil yakni 0.1 gravitasi atau hanya mampu menahan gempa berkekuatan 7 SR dengan pusat gempa di luar provinsi seperti Aceh dan Sumatera Barat.

Seharusnya, kejadian di provinsi Sumatera Barat dan Aceh kemarin menjadi pelajaran bagi masyarakat. Terutama, saat gempa di Tarutung sekitar tahun 1980-an lalu. Medan saat itu terkena dampaknya. Banyak bangunan yang saat itu sudah runtuh, dan sebagian mulai retak.

“Tapi, saat ini PU telah mengeluarkan nilai koevisien baru yang dijadikan acuan SNI, terhadap ketahanan gempa, yakni 0.16 gravitasi dan diyakini mampu menahan gempa berkekuatan 9 SR dan pusat gempanya di luar dari provinsi. Sehingga dengan keluarnya nilai koevisien baru ini, sejumlah bangunan yang masih mengikuti SNI lama sudah seharusnya melakukan retrofitting untuk mencegah ambruknya bangunan sebelum terjadinya gempa besar,” terang Johannes.

Apalagi bilang Johannes, jika dikonversi atas kejadian gempa besar yang pernah terjadi di Sumatera Barat dan Nias beberapa waktu lalu, seharusnya bisa menjadi acuan bagi pemerintah menyarankan agar bangunan lama dilakukan retrofitting untuk menghindari hal yang tidak diinginkan.Dia juga menyarankan, untuk Retrofitting bangunan tersebut, sebaiknya dilakukan terhadap bangunan yang memiliki jumlah 10 lantai ke atas.

Johannes menjelaskan, kontruksi jenis bangunan yang tahan terhadap gempa harus menggunakan begel atau tulangan yang rapat dengan kontruksi berbahan beton.

“Seandainya pusat gempa terjadi di pegunungan Bukit Barisan dengan kekuatan yang besar, tidak menutup kemungkinan jika rumah-rumah dengan kontruksi yang menggunakan SNI lama ini akan ambruk dan bisa menelan korban jiwa. Seperti halnya gempa berkekuatan 7 SR yang pernah terjadi pada 1942 lalu di Tanah Karo yang mengakibatkan longsor dan sejumlah rumah ambruk,” ucapnya.

Sesuai keterangan Johannes, Kepala Bidang Data dan Informasi BMKG Wilayah I Sumbagut, Hendra Swarta, menyebutkan ada beberapa daerah di Sumatera Utara yang rentan terjadi gempa. Di antaranya yakni sepanjang daerah Bukit Barisan seperti Tapanuli Tengah (Tapteng), Tapanuli Selatan (Tapsel), Tapanuli Utara (Taput), dan Nias.

“Selain itu beberapa kawasan disekitar Danau Toba juga rentan gempa, seperti Simalungun, Dairi, Humbahas, Samosir, Karo dan Langkat,” terang Hendra.
Menurut Hendra beberapa daerah rentan tersebut, disebabkan letak daerahnya yang dilewati patahan Sumatera. Karena, bilang Hendra, biasanya patahan aktif terhadap gempa.

“Walaupun tidak dirasakan orang, namun bisa diukur oleh alat sesmograf atau alat pengukur gempa. Pada umumnya gempa bisa dirasakan jika kekuatan gempanya di atas 4.0 SR. Namun di bawah itu juga bisa dirasakan tergantung kedalaman gempa,”ucapnya.

Sebelumnya soal 60 persen bangunan tinggi di Medan tidak tahan gempa diungkapkan oleh Ketua Himpunan Ahli Kontruksi Indonesia (HAKI) Sumut, Simon Dertha Tarigan. “Banyak bangunan disini (Medan, red) banyak yang tidak dihitung bahan bangunannya. Tidak menggunakan jasa kontruksi yang memahami pondasi, struktur, dan lainnya. Sehingga bangunan tersebut sangat rawan saat terjadi gempa. Terutama bangunan tinggi, akan rawan saat gempa besar terjadi,” ujarnya.

Dijelaskannya, sudah ada peraturan yang mengharuskan sebuah bangunan tersebut didirikan menggunakan jasa konstruksi. Tepatnya SK SNI tahun 2002 tentang bangunan. Hanya saja, ketegasan pemerintah daerah saat ini, sehingga membuat SK tersebut tidak berjalan dan kurang familier di masyarakat.

Misalnya, saat pembuatan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) seharusnya disertakan ahli kontruksi. “Untuk di Jakarta, hampir 100 persen bangunan di sana sudah menggunakan ahli kontruksi. Karena Pemda-nya tegas. Dan memang mewajibkan saat pengurusan IMB,” tambahnya.

Penggunaan ahli konstruksi tersbut bukan hanya mengguntungkan saat terjadinya gempa. Tetapi juga pada daya tahan bangunan, yang mampu bertahan lebih lama dari seharusnya. “Misalnya bangunan tersebut usianya seharusnya 20 tahun, tetapi dengan menggunakan jasa konstruksi, bangunanan dapat bertahan menjadi 30 hingga 40 tahun,” lanjutnya.

Seharusnya, kejadian di provinsi Sumatera Barat dan Aceh menjadi pelajaran bagi masyarakat. Bahwa, sangat penting untuk menghitung bahan bangunan dan desain bangunan untuk mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan. Padahal, menggunakan jasa konstruksi ini termasuk terjangkau.

Disadarinya, walau tinggal di perkotaan. Masyarakat di Medan belum mengenal secara langsung pentingnya konstruksi ini. Karena itu, HAKI berencana untuk lebih mendekatkan diri kepada masyarakat. (ram/sam/uma/gus)

60 Persen Bangunan Tinggi di Medan tak Tahan Gempa

MEDAN- Sedikitnya 60 persen bangunan bertingkat di Kota Medan rawan roboh saat gempa datang. Hal ini makin mengkhawatirkan karena Medan terletak di kawasan yang dekat dengan sumber gempa. Itulah sebab, para ahli mengatakan gedung yang bertingkat minimal 10 lantai harus diretrofitting atau dirombak.

Ya, Kota Medan, daerah yang berada di grade 3 dalam gempa seharusnya memiliki bangunan tahan pada guncangan. Tetapi, kenyataanya tidak seperti itu. Karena itu, Ketua Departemen Fakultas Tehnik Sipil Universitas Sumatera Utara (USU), Ing Johanes Tarigan, menilai retrofitting atau perombakan ulang sebuah bangunan dalam upaya penguatan ketahanan kontruksinya adalah wajib.

Pasalnya, berdasarkan riset yang pernah dilakukan, daya nilai koevesien gempa yang dikeluarkan Pekerjaan Umum (PU) dan menjadi Standar Nasional Indonesia (SNI) saat itu masih terlalu kecil yakni 0.1 gravitasi atau hanya mampu menahan gempa berkekuatan 7 SR dengan pusat gempa di luar provinsi seperti Aceh dan Sumatera Barat.

Seharusnya, kejadian di provinsi Sumatera Barat dan Aceh kemarin menjadi pelajaran bagi masyarakat. Terutama, saat gempa di Tarutung sekitar tahun 1980-an lalu. Medan saat itu terkena dampaknya. Banyak bangunan yang saat itu sudah runtuh, dan sebagian mulai retak.

“Tapi, saat ini PU telah mengeluarkan nilai koevisien baru yang dijadikan acuan SNI, terhadap ketahanan gempa, yakni 0.16 gravitasi dan diyakini mampu menahan gempa berkekuatan 9 SR dan pusat gempanya di luar dari provinsi. Sehingga dengan keluarnya nilai koevisien baru ini, sejumlah bangunan yang masih mengikuti SNI lama sudah seharusnya melakukan retrofitting untuk mencegah ambruknya bangunan sebelum terjadinya gempa besar,” terang Johannes.

Apalagi bilang Johannes, jika dikonversi atas kejadian gempa besar yang pernah terjadi di Sumatera Barat dan Nias beberapa waktu lalu, seharusnya bisa menjadi acuan bagi pemerintah menyarankan agar bangunan lama dilakukan retrofitting untuk menghindari hal yang tidak diinginkan.Dia juga menyarankan, untuk Retrofitting bangunan tersebut, sebaiknya dilakukan terhadap bangunan yang memiliki jumlah 10 lantai ke atas.

Johannes menjelaskan, kontruksi jenis bangunan yang tahan terhadap gempa harus menggunakan begel atau tulangan yang rapat dengan kontruksi berbahan beton.

“Seandainya pusat gempa terjadi di pegunungan Bukit Barisan dengan kekuatan yang besar, tidak menutup kemungkinan jika rumah-rumah dengan kontruksi yang menggunakan SNI lama ini akan ambruk dan bisa menelan korban jiwa. Seperti halnya gempa berkekuatan 7 SR yang pernah terjadi pada 1942 lalu di Tanah Karo yang mengakibatkan longsor dan sejumlah rumah ambruk,” ucapnya.

Sesuai keterangan Johannes, Kepala Bidang Data dan Informasi BMKG Wilayah I Sumbagut, Hendra Swarta, menyebutkan ada beberapa daerah di Sumatera Utara yang rentan terjadi gempa. Di antaranya yakni sepanjang daerah Bukit Barisan seperti Tapanuli Tengah (Tapteng), Tapanuli Selatan (Tapsel), Tapanuli Utara (Taput), dan Nias.

“Selain itu beberapa kawasan disekitar Danau Toba juga rentan gempa, seperti Simalungun, Dairi, Humbahas, Samosir, Karo dan Langkat,” terang Hendra.
Menurut Hendra beberapa daerah rentan tersebut, disebabkan letak daerahnya yang dilewati patahan Sumatera. Karena, bilang Hendra, biasanya patahan aktif terhadap gempa.

“Walaupun tidak dirasakan orang, namun bisa diukur oleh alat sesmograf atau alat pengukur gempa. Pada umumnya gempa bisa dirasakan jika kekuatan gempanya di atas 4.0 SR. Namun di bawah itu juga bisa dirasakan tergantung kedalaman gempa,”ucapnya.

Sebelumnya soal 60 persen bangunan tinggi di Medan tidak tahan gempa diungkapkan oleh Ketua Himpunan Ahli Kontruksi Indonesia (HAKI) Sumut, Simon Dertha Tarigan. “Banyak bangunan disini (Medan, red) banyak yang tidak dihitung bahan bangunannya. Tidak menggunakan jasa kontruksi yang memahami pondasi, struktur, dan lainnya. Sehingga bangunan tersebut sangat rawan saat terjadi gempa. Terutama bangunan tinggi, akan rawan saat gempa besar terjadi,” ujarnya.

Dijelaskannya, sudah ada peraturan yang mengharuskan sebuah bangunan tersebut didirikan menggunakan jasa konstruksi. Tepatnya SK SNI tahun 2002 tentang bangunan. Hanya saja, ketegasan pemerintah daerah saat ini, sehingga membuat SK tersebut tidak berjalan dan kurang familier di masyarakat.

Misalnya, saat pembuatan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) seharusnya disertakan ahli kontruksi. “Untuk di Jakarta, hampir 100 persen bangunan di sana sudah menggunakan ahli kontruksi. Karena Pemda-nya tegas. Dan memang mewajibkan saat pengurusan IMB,” tambahnya.

Penggunaan ahli konstruksi tersbut bukan hanya mengguntungkan saat terjadinya gempa. Tetapi juga pada daya tahan bangunan, yang mampu bertahan lebih lama dari seharusnya. “Misalnya bangunan tersebut usianya seharusnya 20 tahun, tetapi dengan menggunakan jasa konstruksi, bangunanan dapat bertahan menjadi 30 hingga 40 tahun,” lanjutnya.

Seharusnya, kejadian di provinsi Sumatera Barat dan Aceh menjadi pelajaran bagi masyarakat. Bahwa, sangat penting untuk menghitung bahan bangunan dan desain bangunan untuk mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan. Padahal, menggunakan jasa konstruksi ini termasuk terjangkau.

Disadarinya, walau tinggal di perkotaan. Masyarakat di Medan belum mengenal secara langsung pentingnya konstruksi ini. Karena itu, HAKI berencana untuk lebih mendekatkan diri kepada masyarakat. (ram/sam/uma/gus)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/