TKA dan TPA Al-quran Al-Ikhlas Medan Estate
Sekolah itu baru saja dibangun tahun 2005 lalu melalui bantuan swadaya masyarakat. Kini kondisinya sangat memprihatinkan. Bangunannya terpaksa berbagi dengan bangunan masjid karena berdiri di atas tanah wakaf.
Farida Noris, Medan
Sekolah yang cukup memprihatinkan itu adalah sekolah Taman Kanak-kanak Al-quran dan Taman Pendidikan Al-quran (TKA-TPA) Al-Ikhlas yangn
terletak di Jalan Pertempuran Bah Bolun Lorong I Komplek Veteran Blok A, Medan Estate.
Di sekolah ini bahkan hanya tersedia 2 ruang kelas serta sekitar 30 meja dan kursi kayu yang sudah rusak parah untuk 80 siswanya. Satu-satunya yang berharga di sekolah itu hanyalah sebuah lemari kayu dan di dalamnya terpajang tropi yang diperoleh beberapa waktu lalu, karena memenangi perlombaan antar sekolah.
Meski keberadaannya sering tak dianggap, namun nilai-nilai agama terus mengalir di sekolah itu. Para muridnya tetap bersemangat mengikuti pelajaran. Dari sanalah anak-anak kampung dan kurang mampu yang awalnya buta aksara dan agama menjadi lebih mengenal apa itu Islam.
Memang untuk menuju TKA-TPA Al-Ikhlas ini harus melewati jalan kerikil penuh debu. Jarak tempuh yang agak jauh sekitar 4 km dari perkotaan membuat para orangtua dengan ekonomi rendah terpaksa menyekolahkan anaknya ditempat itu. Apalagi iuran sekolahnya juga sangat terjangkau. Untuk TPA saja Rp10 ribu per bulannya sedangkan TKA cuma Rp30 ribu per bulan.
Di situlah, 3 guru wanita tetap mengabdi dan bertahan dalam menyebar ilmu di sekolah itu. Meski menerima gaji seadanya, tapi tidak terbersit bagi mereka untuk pindah dan menutup sekolah.
“Awalnya ada 5 tenaga didik di sekolah ini. Mungkin karena honor yang diperoleh juga sangat minim, akhirnya yang tersisa hanya tiga guru saja. Kami menerima gaji hanya berdasarkan pembayaran uang sekolah murid. Terkadang ada yang menunggak hingga tiga bulan baru bayar uang sekolah,” kata Nurlailani, tenaga pengajar disekolah itu.
Bahkan, pada tahun ajaran sebelumnya, murid didik di sekolah itu hanya 14 orang. “Para orangtua terus kita imbau untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah ini. Biarpun setelah beroperasi hingga kini tidak ada yang membantu pembiayaannya. Kita maklum saja, karena keuangan warga juga tidak seberapa. Kursi dan mejanya juga banyak yang rusak. Padahal sudah berulang kali diperbaiki. Kalau untuk beli yang baru, nggak punya dana. Jadi untuk mensiasatinya sehari itu dibuat dua kali jam masuk untuk anak-anak pagi dan sore,” ujar wanita yang tinggal di Kampung Kolam itu.
Fasilitas yang ada disekolah ini hanya sebuah luncuran rusak yang letaknya persis ditengah halaman sekolah. Dengan kondisi seperti itu, murid-murid hanya bisa menerima keadaannya dan tak jarang mereka masih menggunakan seluncuran itu untuk bermain.
“Yang namanya taman kanak-kanak, seharusnya dilengkapi arena bermain juga, tapi lihat saja, disekolah ini cuma punya satu luncuran. Itupun sekarang sudah rusak,” tambahnya.
Nurlailani sendiri memutuskan untuk menjadi guru di sekolah itu karena dikawasan tersebut jarak sekolah sangat jauh. “Kasihan kalau melihat tekad anak-anak ini untuk belajar. Siapa lagi yang mendidik mereka. Memang ada beberapa sekolah dikawasan ini, tapi lokasinya jauh dan uang bulanan nya juga agak mahal. Hanya mengharapkan uang bulanan dari murid memang nggak cukup, apalagi saya punya dua orang anak yang masih sekolah. Begitupun saya senang mengajar di sini,” ujarnya lagi.
Sementara Nurhamidah juga mengatakan hal yang sama. TKA-TPA Al-Ikhlas tidak pernah mendapat bantuan operasional dari pemerintah setempat.
“Saya pernah membuat proposal bantuan dana ke Pemprov, tapi ditolak, mereka bilang sudah terlambat untuk mengajukan bantuan. Di sekolah ini, kami mengajarkan kepada murid mengenai Iqra’, membaca dan menulis agar nantinya mereka punya bekal setelah tamat dari sekolah ini. Kalau jam istirahat, kami selaku tenaga didik juga ikut mengawasi anak-anak bermain. Karena nggak punya kantor, jadi kami duduk disamping kelas,” urai Nurhamidah yang tinggal di Jalan Bandar Setia itu.
Begitupun, TKA-TPA Al Ikhlas pernah menempati posisi kedua dalam perlombaan gerak jalan se-Kota Medan dalam Gebyar 30 tahun BKPRMI dari Ketua DPD KNPI Sumut Rolel Harahap beberapa waktu lalu. “Saat itu anak-anak sangat senang setelah tahu sekolahnya menempati posisi kedua. Tropinya dipajang di dalam lemari. Mungkin cuma itu yang berharga disekolah ini. Karena selama sekolah ini beroperasional, baru itu kami memenangi perlombaan,” ungkapnya lagi.
Berbeda dengan kedua guru tersebut. Ramadiana yang merupakan ibu rumah tangga justru ingin mengabdi disekolah itu karena tak ingin hanya berdiam diri di rumah.
“Saya nggak mau kalau hanya menghabiskan waktu dirumah sebagai ibu rumah tangga. Saya pikir lebih baik mengajar dan memberi manfaat untuk orang lain. Kalau jam mengajar selesai, kami menunggu sampai anak-anak dijemput orangtuanya. Selaku guru, ya kami hanya ingin sekolah ini lebih diperhatikan, kalau sampai sekolah ini tutup, kasihan anak-anak mau belajar dimana mereka nantinya?” ujarnya. (*)