Manu, gadis 18 tahun, yang merasa iba akhirnya merawat Jamal dan Rizuana. ’’Saya tidak mengenal Jamal dan Rizuana. Tetapi, kami berasal dari distrik yang sama. Jadi, mereka akan bersama saya selamanya,’’ tegasnya.
Kematian keluarga Jamal dilihat langsung oleh Manu. Dia hanya bisa diam, bersembunyi dan mengintip dari celah-celah dinding kayu kapal. ’’Kami seluruh perempuan hanya bisa diam. Takut. Tidak ada yang berani melawan.’’
Saat orang tua Jamal tewas, pada waktu bersamaan, Hasima Begum, 18, berusaha mempertahankan hidup. Seorang warga Bangladesh mendekatinya dan hendak melemparkannya ke luar perahu. Namun, Hasima bisa berpegangan di tiang kayu dengan erat. Frustrasi, lelaki Bangladesh itu hanya memukul kepalanya dan melenggang pergi.
Namun, bukan itu yang membuat Hasima akhirnya mendendam. Beberapa menit sebelumnya, dengan mata kepala sendiri, dia menyaksikan dua adiknya yang berusia 17 tahun, Amma Haizun dan Januaza, meregang nyawa setelah dipukul dengan besi di kepalanya.
’’Saya tidak tahu ketika itu adik saya masih hidup atau tidak. Sebelum saya sempat mendekati jenazahnya, mereka langsung mengangkat dan melempar tubuhnya ke laut,’’ ungkapnya sedih.
Kondisi semrawut di atas kapal juga membuat Muhammad Ami takut. Lelaki Rohingya berusia 48 tahun itu akhirnya memilih mencebur ke laut, menjauh dari kapal dan berenang 5 kilometer selama empat jam untuk mencari bantuan. Dia berenang di tengah kondisi laut yang gelap gulita karena waktu itu tidak ada sinar bulan sama sekali.
’’Setelah diselamatkan nelayan, saya langsung kembali ke kapal. Orang-orang Myanmar yang takut melihat saya langsung loncat ke laut. Begitu pula orang Bangladesh, mereka juga mencebur ke laut,’’ ujar Ami.
Di kamp penampungan Kuala Langsa, dua kubu pengungsi yang dulu berseteru dan saling bunuh itu kini berkumpul. Meski begitu, dendam di antara mereka masih membara.
Kepada saya, Manu dan Hasima menyatakan masih ingat betul wajah-wajah yang menghabisi keluarga mereka di atas kapal. ’’Mereka ada di sini. Mereka hilir mudik dan sering bertatap wajah dengan saya. Kebencian kepada Bangla tidak akan mudah dihilangkan,’’ tegas Hasima.
Hal yang sama dialami Jamal. Membayangkan bocah 8 tahun bertatapan dengan pembunuh keluarganya yang kini berkeliaran bebas merupakan hal yang amat mengerikan. ’’Dia ada di sini. Saya melihatnya. Saya takut kepada dia. Sangat takut,’’ katanya pelan.
’’Itu orang yang memukul saya. Itu orang yang melempar saudara saya ke laut. Itu orang yang menusuk teman saya dengan pisau,’’ ujar Abdul Rosyid, 35, warga Bangladesh yang tanpa takut menunjuk sekumpulan orang Rohingya yang duduk-duduk di sekitar kamp. (*/c5/ari/bersambung)