28.7 C
Medan
Sunday, November 24, 2024
spot_img

Dilapor ke DKPP, Bawaslu: Sah-sah Saja!

Ketua Bawaslu Sumut, Syafrida R Rasahan.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Polemik surat Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Sumut Nomor: B-1601/K.BAWASLU-Prov.SU/PM.00.01/05/2018 berbuntut panjang. Tim Advokasi dan Bantuan Hukum Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah (Eramas) resmi melaporkan tiga komisioner Bawaslu Sumut ke Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) dengan No. 136/I-P/L-DKPP/2018, Senin (21/5). Ketiganya yakni Ketua Bawaslu Sumut Syafrida R Rasahan, Komisioner Hardi Munte dan Aulia Andri.

Mereka dilaporkan karena menurut kajian tim advokasi, ketiga komisioner tersebut melakukan perbuatan yang sifatnya melanggar etik sebagai penyelenggara pilkada dengan mengeluarkan surat No. B-1601/K.Bawaslu-Prov.SU/PM.00.01/05/2018. Kemudian, surat tersebut dianggap menimbulkan kegaduhan politik di masyarakat.

“Mulai dari dasar hukum sampai pada kesimpulan, bagi kami merupakan sebuah tindakan yang sangat melanggar etika sebagai penyelenggara Pilkada, yakni melanggar pasal 10 dan 15 Peraturan DKPP No.2/2017, karena terlihat bahwa komisioner Bawaslu Sumut tidak profesional,” tegas Tim Advokasi dan Bantuan Hukum Eramas, Adi Mansar Lubis bersama Ahmad Sofyan Hussein Rambe didampingi Bantuan Hukum Gerindra DPP Zulfikri Lubis dan Idharul Haq, Selasa (22/5).

Ketidakprofesionalan Bawaslu Sumut tersebut, lanjut Adi Mansar, karena sengaja mengajak konstituen atau masyarakat membuat suatu kesepakatan yang bertentangan dengan aturan yang ada di atasnya yaitu PKPU Nomor 4/2017 dan UU Nomor 10/2015. “Aturan yang dibuat Bawaslu itu sudah diatur terlebih dulu, itu tidak profesional. Kemudian itu tidak efektif karena aturan yang dia buat hanya mengulang aturan yang lama dan tidak bisa diterapkan,” imbuhnya.

Kemudian, lanjutnya, ketiga komisioner Bawaslu sangat erat kaitannya tidak independen karena salah satu komisioner Bawaslu Sumut adalah anak kandung dari ketua tim pemenangan salah satu paslon Pilgubsu.  Selanjutnya, sambung dia, Syafrida R Rasahan sangat tidak konsisten dengan apa yang sudah dia katakan sebelumnya. “Karena menurut mereka, tim nomor satu sudah ikut memberi persetujuan. Sementara bantahan itu sudah ada di mana-mana, tentang tidak pernah membuat kesepakatan sama sekali untuk ikut dalam kesepakatan. Jika itu tidak mereka cabut, maka murni mereka melakukan pelanggaran kode etik,” ujarnya.

Dia juga menjelaskan, pasal 15 huruf b dan C Peraturan DKPP No. 2/2017 tentang kode etik dan pedoman perilaku penyelenggaraan pemilu menyebutkan, dalam menjalankan prinsip profesional, penyelenggara pemilu bersikap dan bertindak a) menjalankan tugas sesuai visi, misi, tujuan dan program lembaga penyelenggara pemilu; b). Melaksanakan tugas sesuai jabatan dan kewenangan yang didasarkan pada UU.

“Bawaslu itu jelas bukan sebagai lembaga yang membuat regulator atau peraturan yang menyusun perundang-undangan, tetapi lembaga yang melakukan eksekusi terhadap peraturan perundang-undangan itu. Bahkan aturan yang dibuat itu malah membuat kegaduhan bukan menyukseskan Pilkada,” imbuhnya.

Sedangkan Bantuan Hukum Gerindra Idharul Haq mengatakan, laporan pengaduan ke DKPP sudah tepat. “Inilah langkah yang harus kita ambil ketika ada surat yang dikeluarkan merugikan pasangan calon. Maka harapan kami ada sinergi, kita harus kawal bagaimana proses dari DKPP itu sendiri, kita harus proaktif dan monitoring terus,” katanya.

Ketua Bawaslu Sumut, Syafrida R Rasahan.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Polemik surat Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Sumut Nomor: B-1601/K.BAWASLU-Prov.SU/PM.00.01/05/2018 berbuntut panjang. Tim Advokasi dan Bantuan Hukum Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah (Eramas) resmi melaporkan tiga komisioner Bawaslu Sumut ke Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) dengan No. 136/I-P/L-DKPP/2018, Senin (21/5). Ketiganya yakni Ketua Bawaslu Sumut Syafrida R Rasahan, Komisioner Hardi Munte dan Aulia Andri.

Mereka dilaporkan karena menurut kajian tim advokasi, ketiga komisioner tersebut melakukan perbuatan yang sifatnya melanggar etik sebagai penyelenggara pilkada dengan mengeluarkan surat No. B-1601/K.Bawaslu-Prov.SU/PM.00.01/05/2018. Kemudian, surat tersebut dianggap menimbulkan kegaduhan politik di masyarakat.

“Mulai dari dasar hukum sampai pada kesimpulan, bagi kami merupakan sebuah tindakan yang sangat melanggar etika sebagai penyelenggara Pilkada, yakni melanggar pasal 10 dan 15 Peraturan DKPP No.2/2017, karena terlihat bahwa komisioner Bawaslu Sumut tidak profesional,” tegas Tim Advokasi dan Bantuan Hukum Eramas, Adi Mansar Lubis bersama Ahmad Sofyan Hussein Rambe didampingi Bantuan Hukum Gerindra DPP Zulfikri Lubis dan Idharul Haq, Selasa (22/5).

Ketidakprofesionalan Bawaslu Sumut tersebut, lanjut Adi Mansar, karena sengaja mengajak konstituen atau masyarakat membuat suatu kesepakatan yang bertentangan dengan aturan yang ada di atasnya yaitu PKPU Nomor 4/2017 dan UU Nomor 10/2015. “Aturan yang dibuat Bawaslu itu sudah diatur terlebih dulu, itu tidak profesional. Kemudian itu tidak efektif karena aturan yang dia buat hanya mengulang aturan yang lama dan tidak bisa diterapkan,” imbuhnya.

Kemudian, lanjutnya, ketiga komisioner Bawaslu sangat erat kaitannya tidak independen karena salah satu komisioner Bawaslu Sumut adalah anak kandung dari ketua tim pemenangan salah satu paslon Pilgubsu.  Selanjutnya, sambung dia, Syafrida R Rasahan sangat tidak konsisten dengan apa yang sudah dia katakan sebelumnya. “Karena menurut mereka, tim nomor satu sudah ikut memberi persetujuan. Sementara bantahan itu sudah ada di mana-mana, tentang tidak pernah membuat kesepakatan sama sekali untuk ikut dalam kesepakatan. Jika itu tidak mereka cabut, maka murni mereka melakukan pelanggaran kode etik,” ujarnya.

Dia juga menjelaskan, pasal 15 huruf b dan C Peraturan DKPP No. 2/2017 tentang kode etik dan pedoman perilaku penyelenggaraan pemilu menyebutkan, dalam menjalankan prinsip profesional, penyelenggara pemilu bersikap dan bertindak a) menjalankan tugas sesuai visi, misi, tujuan dan program lembaga penyelenggara pemilu; b). Melaksanakan tugas sesuai jabatan dan kewenangan yang didasarkan pada UU.

“Bawaslu itu jelas bukan sebagai lembaga yang membuat regulator atau peraturan yang menyusun perundang-undangan, tetapi lembaga yang melakukan eksekusi terhadap peraturan perundang-undangan itu. Bahkan aturan yang dibuat itu malah membuat kegaduhan bukan menyukseskan Pilkada,” imbuhnya.

Sedangkan Bantuan Hukum Gerindra Idharul Haq mengatakan, laporan pengaduan ke DKPP sudah tepat. “Inilah langkah yang harus kita ambil ketika ada surat yang dikeluarkan merugikan pasangan calon. Maka harapan kami ada sinergi, kita harus kawal bagaimana proses dari DKPP itu sendiri, kita harus proaktif dan monitoring terus,” katanya.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/