Isu kenaikan harga rokok mendapat reaksi dari pengusaha rokok asal Sumut, Pinpin. Menurutnya, kebijakan menaikkan harga rokok hingga Rp50 ribu merupakan upaya mematikan industri rokok nusantara. Misalnya, rokok produk asing disandingkan dengan rokok lokal dengan harga di atas Rp50 ribu, maka sudah pasti pilihannya rokok asing. Bahkan, sekalipun harganya beda tipis, tetap saja pilihannya rokok luar negeri.
“Kebijakan tersebut merupakan upaya terhadap pihak asing untuk menghancurkan industri rokok tanah air. Jadi, kalau negara mau seperti itu silahkan saja. Maka, berarti membunuh perusahaan anak bangsa,” ungkap Pinpin kepada Sumut Pos, Senin (22/8)
Untuk itu, sebut pria yang menjabat sebagai Wakil Ketua Apindo Sumut ini, pihaknya jelas menolak kebijakan tersebut. “Boleh saja kalau memang menerapkan kebijakan itu, asalkan harga rokok produk lokal di bawah Rp50 ribu. Karena, kalau disamakan juga harganya, sudah barang tentu akan banyak yang bangkrut. Jadi, intinya kita tolak wacana itu,” tegasnya.
Dikatakan Pinpin, kebijakan itu secara tidak langsung membantu perusahaan asing dan membunuh perusahaan lokal. Sebab, dari segi kekuatan brand, perusahaan lokal kalah bersaing. “Rasionalisme untuk cinta produk tanah air masih rendah. Maka dari itu, pemerintah harus mendorong untuk menguatkan rasa nasionalisme, jika memang menerapkan kebijakan tersebut,” cetusnya.
Sekretaris Apindo Sumut, Laksamana Adyaksa juga menilai, jika harga rokok dinaikkan akan ada dampak terhadap dunia usaha. Artinya, banyak perusahaan rokok kecil akan gulung tikar. “Harus dipikirkan juga setengah juta tenaga kerja di sektor rokok. Sebab, kalau harga rokok naik, otomatis daya belinya turun. Tentunya, kalau daya beli turun, maka produksi akan turun dan terjadi pengurangan tenaga kerja,” sebutnya.
Meski demikian, lanjut Laksamana, memang ada sisi positif dari kebijakan tersebut yaitu pada sektor kesehatan. Akan tetapi, kebijakan ini harus dipikirkan atau dikaji ulang mana yang lebih baik terkait masalah tenaga kerja itu.”Kalau harga rokok ini naik, pemerintah yang diuntungkan. Sebab, cukainya naik dan pendapatan negara bertambah. Jadi, kalau memang mau diterapkan juga wacana ini, tidak serta merta. Artinya, perlu ada penyesuaian dan termasuk juga persoalan nasib tenaga kerja bagaimana pengalihannya,” terang Laksamana.
Dia menambahkan, kebijakan itu juga dinilai akan ada banyak pihak yang memiliki masalah bila tetap diberlakukan.”Tujuannya memang bagus untuk meningkatkan kesehatan. Tetapi, persoalannya sisi negatif harus dipikirkan juga. Kalau ingin mencapai suatu tujuan, namun lebih banyak merugikan untuk apa. Jadi, Harus ada satu proses atau tahapan sebelum menerapkannya,” pungkas Laksamana. (jpg)