
Imigran Rohingya mengangkut barang-barangnya saat persiapan pemindahan dari tempat penampungan sementara penginapan Beraspatih Medan, Selasa (22/11). Sebagian dari 965 pengungsi Rohingya yang menempati tiga lokasi penampungan di Aceh Utara, Aceh Timur dan Kota Langsa kini hanya tersisa sekitar 61 orang selebihnya telah melarikan diri ke Malaysia dan telah direlokasi ke negara ketiga melalui Medan, Sumatera Utara.
Harianto juga mengatakan, seharusnya Pemko Medan tidak menampung keberadaan imigran ini, seperti yang dilakukan di kota-kota lain. Sebab, mereka harus diawasi ketat. Mengingat mereka datang ke Indonesia tanpa dokumen. Berbeda dengan masyarakat Indonesia yang berpergian ke luar negeri, harus diperiksa seluruh dokumennya. Begitu juga berpergian di luar jam-jam tertentu, dan saat berkendara.
“Mereka tidak boleh berkendaraan karena tidak punya SIM. Termasuk berkeliaran pada jam-jam yang sudah ditentukan. Apabila ketahuan, langsung kami amankan. Itupun hanya beberapa hari. Makanya, kalau ada yang nampak berkeliaran di atas pukul 23.00 WIB, laporkan kepada kami,” imbaunya.
Pihaknya juga kesulitan bila dari para imigran ada yang meninggal dunia. Pasalnya untuk urusan pemakaman, hal tersebut tidak diatur. Parahnya, pihak IOM maupun UNHCR juga mengaku tidak bisa menanggungjawabinya. “Berhubung Medan hanya memiliki satu aturan terkait imigran, dan berbeda seperti di tempat lain, makanya mereka bisa menetap di sini. Jadi bisa saja kalau mereka ada yang sakit, ditempatkan di rumah sakit, dan kalau mereka imigran murni, maka disediakan rumah retensi,” kata Harianto, seraya menambahkan, dalam hal pemakaman pun pihaknya terkadang ikut menangani.
Syamsul Bahri menambahkan, proses pemindahan pengunsi Rohingnya dari Aceh ke Medan sudah dibahas dengan melibatkan beberapa instansi, termasuk dari Kemenpolhukam. “Ya, ini sudah dibahas oleh instansi terkait, termasuk dari pemerintah pusat. Hanya saja saya tidak hadir dalam pertemuan tersebut,” bebernya.
Disinggung kenapa selalu Medan menjadi kota tujuan para imigran? Ia hanya menegaskan, Medan seharusnya bisa menolak. Sebab daerah lain juga menolak, termasuk yang dilakukan Wina, Australia. “Kalau ditanya apakah karena berdekatan dengan negara lain, saya kurang tahu. Tapi sebenarnya, Medan bisa menolak. Seperti yang dilakukan kota-kota lain, termasuk di luar negeri. Tapi saya tidak bilang, Pemko Medan takut menolak keberadaan imigran,” tegasnya.
Berdasar data yang mereka miliki saat ini, tercatat terdapat 2.100 imigran di Kota Medan. Mereka ditempatkan di berbagai titik, seperti di Jalan Kenanga Raya, dan lainnya.
Adapun para imigran tersebut, berasal dari Somalia sebanyak 528 orang, Sri Lanka 356 orang, Afghanistan 354 orang, Myanmar 313 orang, dan Palestina 222 orang. Dari jumlah tersebut, sudah dilakukan pemulangan secara bertahap (parsial) sebanyak 352 pengungsi, dengan rincian, Januari sebanyak 8 orang, Februari 14, Maret 72, April 31, Mei 36, Juni 45, Juli 76, Agustus 35, September 17, dan Oktober 18. “Mereka dideportasi karena berbagai alasan,” pungkas Syamsul. (prn/saz)