23.9 C
Medan
Sunday, June 23, 2024

KPK Usut Aliran Dana ke Polda Sumut, Kapoldasu: Harus Izin Kapolri

Irjen Agus Andrianto
Kapolda Sumut

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga duit suap yang disita dari Bupati Pakpak Bharat Remigo Yolanda Berutu untuk ‘mengamankan’ kasus sang istri Made Tirta Kusuma Dewi. Bahkan uang itu diduga mengalir ke oknum di jajaran Polda Sumatera Utara (Sumut).

Polda Sumut pun terus memberikan klarifikasi ihwal tudingan itu. Bahkan Polda sudah memanggil beberapa orang untuk dimintai klarifikasi Kapolda Sumut Irjen Agus Andrianto mengatakan, pihaknya juga sudah melakukan penyelidikan internal. Ada enam penyidik yang diperiksa. Termasuk satu orang berinisial FD yang disebut masih memegang duit yang akan disetor kepada oknum yang akan mengamankan kasus Made Tirta.

FD yang bekerja sebagai karyawan swasta, dimintai bantuan oleh Remigo untuk menyelesaikan perkara korupsi PKK yang menjerat istrinya. Remigo menyerahkan uang kepada RA selaku orang kepercayaan. Total uang Rp400 juta diterima FD dari RA.  Uang tersebut diberikan dua kali, pertama Rp150 juta dan kedua Rp250 juta di sebuah hotel.

“Ternyata dia (FD) memang menerima dan disimpan dalam rekeningnya. Dan yang bersangkutan memanfaatkan situasi itu atas permintaan bupati, melalui orang kepercayaannya, berinisial RA. Alasannya bisa mengurus. Tapi penyidik tidak ada dihubungi oleh si RA dan FD,” kata Agus Andrianto, Kamis (22/11).

Pun jika nantinya dugaan aliran dana itu akan diusut ke Polda Sumut, Agus menyatakan harus memakai aturan.  “Pakai Aturan dong, harus izin dengan Pak Kapolri dulu. Yang kedua, kita sudah melakukan pemeriksaan internal juga,” tegas Agus.

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan, pihaknya tengah mendalami hubungan antara kasus suap yang membelit Bupati Pakpak Bharat Remigo Yolanda Berutu dengan adanya penghentian penyidikan kasus yang menjerat istrinya, Made Tirta Kusuma Dewi oleh Kepolisian Daerah Sumatera Utara.

“Akan didalami oleh penyidik relevansinya seperti apa, sudah pasti harus dilihat fakta yang terkait dengan wewenang KPK,” ucap Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, Selasa (20/11).

Saut juga menambahkan bahwa pihaknya akan melihat terlebih dahulu konstruksi kasus yang membelit istri Remigo tersebut. “Kami juga akan menggali alasan Remigo mengumpulkan duit untuk mengurus kasus istrinya,” tegasnya.

Kapolres Tapteng Dimutasi Mutasi
Sementara itu, AKBP Ganda Saragih yang baru saja menjabat sebagai Kapolres Tapanuli Tengah (Tapteng) dimutasi dari jabatannya ke Polda Lampung. Polda Sumatera Utara (Sumut) membantah jika mutasi tersebut dikaitkan karena operasi tangkap tangan terhadap Bupati Pakpak Bharat, Remigo Yolanda Berutu beberapa waktu lalu.

Sebelum menjabat sebagai Kapolres Tapteng, AKBP Ganda sempat menjabat sebagai Kapolres Pakpak Bharat. Yang cukup mencengangkan, mantan Kasat Narkoba Polrestabes Medan itu dimutasi setelah hanya satu hari menjabat di Tapteng. Dia dipindahkan ke Lampung dan menjabat sebagai Kapolres Metro, Polda Lampung.

Ganda dilantik sebagai Kapolres Tapanuli Tengah pada 16 November 2018 lalu. Pelantikan AKBP Ganda MH Saragih sesuai dengan Surat Telegram nomor ST/ 2597 /X/KEP./2018 TGL 14- 10-2018 yang ditandatangani AS SDM Mabes Polri, Irjen Dr. Eko Indra Heri S, M.M, yang dikeluarkan 14 Oktober 2018.

Pada 17 November telegram baru muncul. Telegram nomor : ST/2947/XI/Kep/2018, tertanggal 17 November 2018 menunjuk AKBP Ganda MH Saragih menjadi Kapolres Metro Polda Lampung. Sebagai penggantinya yakni AKBP Sukamat, yang sebelumnya menjabat di Kasubditregident Ditlantas Polda Aceh.

Serah Terima Jabatan (Sertijab) AKBP Ganda Saragih kepada AKBP Sukamat berlangsung pada Kamis (22/11 dipimpin langsung oleh Kapolda Sumut Irjen Agus Andrianto. ”Ya (mutasi) sesuai kebutuhan,” ujar Irjen Agus.

Agus membantah jika mutasi Ganda terkait OTT KPK kepada Remigo Yolanda Berutu dan sejumlah orang lainnya. “Enggak…enggak ada kaitan. Ini memang kebutuhan organisasi,” tukasnya.

Diberitakan sebelumnya, kasus dugaan suap yang menjerat Bupati Remigo membawa-bawa aparatur hukum di Medan. KPK menyebutkan sebagian uang suap yang diterima Remigo diduga digunakan untuk ‘mengamankan’kasus penyelewengan dana KPK yang menjerat sang istri Made Tirta Kusuma Dewi 2014 lalu.

Sistem Elektronik tak Jaminan

Terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang baru ini menimpa Bupati Pakpak Bharat Remigo Yolanda Berutu membuat masyarakat menilai bahwa sistem elektronik di pemerintahan (E-Government) mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan tidak menjamin dapat menekan tindak korupsi secara signifikan. Pasalnya, isu mengenai dugaan fee proyek yang mengalir ke kepala daerah, bukan hal baru.

Anggota Komisi A DPRD Sumut Ikrimah Hamidy menyebut persoalan OTT kasus fee proyek sebagai satu kesialan. Sebab menurutnya, kasus hukum ini adalah satu dari sekian banyak persoalan yang tidak terlihat atau belum tertangkap oleh KPK serta aparat penegak hukum lainnya. Di balik itu semua, ada persoalan yang mendasar kenapa hal seperti ini masih marak tejadi.

“Kalau saja KPK itu bisa mengungkap persoalan ini, saya kira bisa saja lebih banyak lagi kepala daerah (di Indonesia) terangkat semuanya. Karena kasus ini tak jadi rahasia umum lagi, terkait fee proyek yang mengalir ke kepala daerah. Tinggal saja, istilah pasarannya, ada yang apes (sial) dan ada yang tidak,” ujar Ikrimah kepada Sumut Pos, Rabu (21/11).

Persoalan yang menurutnya dapat diambil hubungannya adalah sistem demokrasi dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung. Kaitan ini, katanya, karena harus diakui bahwa biaya kampanye untuk berkompetisi cukup mahal. Itu serentak untuk semua kabupaten/kota serta provinsi. Sehingga, baik daerah yang tergolong besar seperti DKI Jakarta, hingga Pakpak Bharat yang sangat jauh di bawahnya, disamakan.

“Dan kita itu melaksanakan Pilkada ini serentak untuk semua daerah, baik secara finansial atau APBD dan potensi daerahnya, tidak mencukupi (kecil). Jadi ini sama semua pendekatannya. Sedangkan kalau kita ambil contoh di Negara maju, tidak semua daerah ada Pilkada langsung, bahkan tidak ada DPRD-nya, hanya dewan kota yang ditunjuk pusat. Jadi yang ada hanya di daerah yang besar-besar saja, seperti di Negara Inggris,” katanya.

Kaitannya dengan sistem Pilkada langsung, kata Politisi PKS ini, mahalnya biaya ditambah minimnya keuangan dan potensi daerah, membuat banyak yang mencoba mengambl jalan pintas. Di antaranya adalah dengan mengambil fee proyek ini. Ujungnya adalah ada dorongan untuk berbuat yang tidak benar.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Sumut Rurita Ningrum menyebutkan, persoalan ini tidak bisa serta merta menyalahkan sistem demokrasi yang berlaku. Sebab tentu alasan tersebut beragam, tergantung bagaimana kekuatan nama seseorang (calon) di masyarakat, baik dari segi popularitas, akseptibilitas dan elektabilitasnya.

Jika hal itu dimiliki seseorang, maka kemugkinan biaya yang dikeluarkan untuk kampanye tidak terlalu besar.”Tetapi memang komitmen awal kepala daerah itu kan jelas (saat dilantik), tidak korupsi. Ketika (masih) menerima fee proyek, ini perlu peratian lagi dari semua pihak. Agar sistem elektronik seperti e-procurement, e-katalog dan lainnya, perlu dievaluasi kembali. Karena ini kan tujuannya menghindari tatap muka antara pemberi dan pelaksana proyek. Tetap saja terjadi kecurangan,” ujarnya.

Selain itu, dirinya menilai bahwa audit BPK selama ini juga belum memberikan efek jera kepada para pelaku korupsi. Sebab dalam beberapa laporan, katanya, yang dilakukan (sanksi) kemudian adalah mengembalikan kerugian negara. Padahal kalau bisa ditelusuri lagi, bisa saja ada kemungkinan hal itu disengaja oleh oknum tertentu.

“Biasanya (dugaan) ini dilakukan oknum pejabat (ASN). Setelah itu fee proyek diberikan kepada kepala daerah. Jadi kalau sampai kepala daerahya kena OTT, ini dalam tanda kutip bisa dibilang rakus. Karena jumlahnya kecil sekali, dan ini sudah lama jadi incaran KPK. Padahal KPK juga kan sudah mensupervisi Sumut. Jadi ini mungkin soal mental. Sistem itu tidak menjamin,” jelasnya.

Begitu juga soal hukuman, Rurita berharap ada sanksi lebih berat diberikan kepada pemegang kekuasaan. Sebab, banyak rakyat yang menjadi korban akibat penyalahgunaan kuasa tersebut. Terlebih untuk Pakpak Bharat, menjadi cerita miris di tengah kondisi daerahnya tergolong miskin, dengan infrastruktur masih kurang memadai.

“Saya sempat bangga melihat prestasi di Pakpak Bharat (Remigo). Mereka punya website berisi rancangan anggaran yang bisa kita lihat. Beliau juga kan dikenal punya prestasi yang cukup selama menjadi Bupati. Jadi kasus ini tentu membuat kita kecewa berat. Selain mungkin ada kecenderungan ini tahun politik, untuk menjaga konstituen, mengingat dia juga kan ketua partai,” pungkasnya. (dvs/bal/JPC)

 

Irjen Agus Andrianto
Kapolda Sumut

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga duit suap yang disita dari Bupati Pakpak Bharat Remigo Yolanda Berutu untuk ‘mengamankan’ kasus sang istri Made Tirta Kusuma Dewi. Bahkan uang itu diduga mengalir ke oknum di jajaran Polda Sumatera Utara (Sumut).

Polda Sumut pun terus memberikan klarifikasi ihwal tudingan itu. Bahkan Polda sudah memanggil beberapa orang untuk dimintai klarifikasi Kapolda Sumut Irjen Agus Andrianto mengatakan, pihaknya juga sudah melakukan penyelidikan internal. Ada enam penyidik yang diperiksa. Termasuk satu orang berinisial FD yang disebut masih memegang duit yang akan disetor kepada oknum yang akan mengamankan kasus Made Tirta.

FD yang bekerja sebagai karyawan swasta, dimintai bantuan oleh Remigo untuk menyelesaikan perkara korupsi PKK yang menjerat istrinya. Remigo menyerahkan uang kepada RA selaku orang kepercayaan. Total uang Rp400 juta diterima FD dari RA.  Uang tersebut diberikan dua kali, pertama Rp150 juta dan kedua Rp250 juta di sebuah hotel.

“Ternyata dia (FD) memang menerima dan disimpan dalam rekeningnya. Dan yang bersangkutan memanfaatkan situasi itu atas permintaan bupati, melalui orang kepercayaannya, berinisial RA. Alasannya bisa mengurus. Tapi penyidik tidak ada dihubungi oleh si RA dan FD,” kata Agus Andrianto, Kamis (22/11).

Pun jika nantinya dugaan aliran dana itu akan diusut ke Polda Sumut, Agus menyatakan harus memakai aturan.  “Pakai Aturan dong, harus izin dengan Pak Kapolri dulu. Yang kedua, kita sudah melakukan pemeriksaan internal juga,” tegas Agus.

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan, pihaknya tengah mendalami hubungan antara kasus suap yang membelit Bupati Pakpak Bharat Remigo Yolanda Berutu dengan adanya penghentian penyidikan kasus yang menjerat istrinya, Made Tirta Kusuma Dewi oleh Kepolisian Daerah Sumatera Utara.

“Akan didalami oleh penyidik relevansinya seperti apa, sudah pasti harus dilihat fakta yang terkait dengan wewenang KPK,” ucap Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, Selasa (20/11).

Saut juga menambahkan bahwa pihaknya akan melihat terlebih dahulu konstruksi kasus yang membelit istri Remigo tersebut. “Kami juga akan menggali alasan Remigo mengumpulkan duit untuk mengurus kasus istrinya,” tegasnya.

Kapolres Tapteng Dimutasi Mutasi
Sementara itu, AKBP Ganda Saragih yang baru saja menjabat sebagai Kapolres Tapanuli Tengah (Tapteng) dimutasi dari jabatannya ke Polda Lampung. Polda Sumatera Utara (Sumut) membantah jika mutasi tersebut dikaitkan karena operasi tangkap tangan terhadap Bupati Pakpak Bharat, Remigo Yolanda Berutu beberapa waktu lalu.

Sebelum menjabat sebagai Kapolres Tapteng, AKBP Ganda sempat menjabat sebagai Kapolres Pakpak Bharat. Yang cukup mencengangkan, mantan Kasat Narkoba Polrestabes Medan itu dimutasi setelah hanya satu hari menjabat di Tapteng. Dia dipindahkan ke Lampung dan menjabat sebagai Kapolres Metro, Polda Lampung.

Ganda dilantik sebagai Kapolres Tapanuli Tengah pada 16 November 2018 lalu. Pelantikan AKBP Ganda MH Saragih sesuai dengan Surat Telegram nomor ST/ 2597 /X/KEP./2018 TGL 14- 10-2018 yang ditandatangani AS SDM Mabes Polri, Irjen Dr. Eko Indra Heri S, M.M, yang dikeluarkan 14 Oktober 2018.

Pada 17 November telegram baru muncul. Telegram nomor : ST/2947/XI/Kep/2018, tertanggal 17 November 2018 menunjuk AKBP Ganda MH Saragih menjadi Kapolres Metro Polda Lampung. Sebagai penggantinya yakni AKBP Sukamat, yang sebelumnya menjabat di Kasubditregident Ditlantas Polda Aceh.

Serah Terima Jabatan (Sertijab) AKBP Ganda Saragih kepada AKBP Sukamat berlangsung pada Kamis (22/11 dipimpin langsung oleh Kapolda Sumut Irjen Agus Andrianto. ”Ya (mutasi) sesuai kebutuhan,” ujar Irjen Agus.

Agus membantah jika mutasi Ganda terkait OTT KPK kepada Remigo Yolanda Berutu dan sejumlah orang lainnya. “Enggak…enggak ada kaitan. Ini memang kebutuhan organisasi,” tukasnya.

Diberitakan sebelumnya, kasus dugaan suap yang menjerat Bupati Remigo membawa-bawa aparatur hukum di Medan. KPK menyebutkan sebagian uang suap yang diterima Remigo diduga digunakan untuk ‘mengamankan’kasus penyelewengan dana KPK yang menjerat sang istri Made Tirta Kusuma Dewi 2014 lalu.

Sistem Elektronik tak Jaminan

Terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang baru ini menimpa Bupati Pakpak Bharat Remigo Yolanda Berutu membuat masyarakat menilai bahwa sistem elektronik di pemerintahan (E-Government) mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan tidak menjamin dapat menekan tindak korupsi secara signifikan. Pasalnya, isu mengenai dugaan fee proyek yang mengalir ke kepala daerah, bukan hal baru.

Anggota Komisi A DPRD Sumut Ikrimah Hamidy menyebut persoalan OTT kasus fee proyek sebagai satu kesialan. Sebab menurutnya, kasus hukum ini adalah satu dari sekian banyak persoalan yang tidak terlihat atau belum tertangkap oleh KPK serta aparat penegak hukum lainnya. Di balik itu semua, ada persoalan yang mendasar kenapa hal seperti ini masih marak tejadi.

“Kalau saja KPK itu bisa mengungkap persoalan ini, saya kira bisa saja lebih banyak lagi kepala daerah (di Indonesia) terangkat semuanya. Karena kasus ini tak jadi rahasia umum lagi, terkait fee proyek yang mengalir ke kepala daerah. Tinggal saja, istilah pasarannya, ada yang apes (sial) dan ada yang tidak,” ujar Ikrimah kepada Sumut Pos, Rabu (21/11).

Persoalan yang menurutnya dapat diambil hubungannya adalah sistem demokrasi dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung. Kaitan ini, katanya, karena harus diakui bahwa biaya kampanye untuk berkompetisi cukup mahal. Itu serentak untuk semua kabupaten/kota serta provinsi. Sehingga, baik daerah yang tergolong besar seperti DKI Jakarta, hingga Pakpak Bharat yang sangat jauh di bawahnya, disamakan.

“Dan kita itu melaksanakan Pilkada ini serentak untuk semua daerah, baik secara finansial atau APBD dan potensi daerahnya, tidak mencukupi (kecil). Jadi ini sama semua pendekatannya. Sedangkan kalau kita ambil contoh di Negara maju, tidak semua daerah ada Pilkada langsung, bahkan tidak ada DPRD-nya, hanya dewan kota yang ditunjuk pusat. Jadi yang ada hanya di daerah yang besar-besar saja, seperti di Negara Inggris,” katanya.

Kaitannya dengan sistem Pilkada langsung, kata Politisi PKS ini, mahalnya biaya ditambah minimnya keuangan dan potensi daerah, membuat banyak yang mencoba mengambl jalan pintas. Di antaranya adalah dengan mengambil fee proyek ini. Ujungnya adalah ada dorongan untuk berbuat yang tidak benar.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Sumut Rurita Ningrum menyebutkan, persoalan ini tidak bisa serta merta menyalahkan sistem demokrasi yang berlaku. Sebab tentu alasan tersebut beragam, tergantung bagaimana kekuatan nama seseorang (calon) di masyarakat, baik dari segi popularitas, akseptibilitas dan elektabilitasnya.

Jika hal itu dimiliki seseorang, maka kemugkinan biaya yang dikeluarkan untuk kampanye tidak terlalu besar.”Tetapi memang komitmen awal kepala daerah itu kan jelas (saat dilantik), tidak korupsi. Ketika (masih) menerima fee proyek, ini perlu peratian lagi dari semua pihak. Agar sistem elektronik seperti e-procurement, e-katalog dan lainnya, perlu dievaluasi kembali. Karena ini kan tujuannya menghindari tatap muka antara pemberi dan pelaksana proyek. Tetap saja terjadi kecurangan,” ujarnya.

Selain itu, dirinya menilai bahwa audit BPK selama ini juga belum memberikan efek jera kepada para pelaku korupsi. Sebab dalam beberapa laporan, katanya, yang dilakukan (sanksi) kemudian adalah mengembalikan kerugian negara. Padahal kalau bisa ditelusuri lagi, bisa saja ada kemungkinan hal itu disengaja oleh oknum tertentu.

“Biasanya (dugaan) ini dilakukan oknum pejabat (ASN). Setelah itu fee proyek diberikan kepada kepala daerah. Jadi kalau sampai kepala daerahya kena OTT, ini dalam tanda kutip bisa dibilang rakus. Karena jumlahnya kecil sekali, dan ini sudah lama jadi incaran KPK. Padahal KPK juga kan sudah mensupervisi Sumut. Jadi ini mungkin soal mental. Sistem itu tidak menjamin,” jelasnya.

Begitu juga soal hukuman, Rurita berharap ada sanksi lebih berat diberikan kepada pemegang kekuasaan. Sebab, banyak rakyat yang menjadi korban akibat penyalahgunaan kuasa tersebut. Terlebih untuk Pakpak Bharat, menjadi cerita miris di tengah kondisi daerahnya tergolong miskin, dengan infrastruktur masih kurang memadai.

“Saya sempat bangga melihat prestasi di Pakpak Bharat (Remigo). Mereka punya website berisi rancangan anggaran yang bisa kita lihat. Beliau juga kan dikenal punya prestasi yang cukup selama menjadi Bupati. Jadi kasus ini tentu membuat kita kecewa berat. Selain mungkin ada kecenderungan ini tahun politik, untuk menjaga konstituen, mengingat dia juga kan ketua partai,” pungkasnya. (dvs/bal/JPC)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/