26.7 C
Medan
Friday, May 17, 2024

Perusahaan Bangkrut, Bangunan Dihuni Mahluk Halus

Seiring perjalanan waktu, perusahaan Deli Kley mengalami kebangkrutan. Lantas, seperti apa kondisi bangunan dan nasib karyawannya kini?

Ari Sisworo, Medan

Sejak perusahaan tersebut mengamali pailit di Tahun 1982. Secara perlahan, pabrik dan bangsal yang ada juga lenyap dan saat ini hanya tersisa cerobong asap tersebut.

“Tinggal cerobong asap itu saja yang tersisa. Dulu, cerobong asap itu dipergunakan saat lampu listrik mati. Fungsinya untuk menyalurkan asap ke udara. Kalau lampu listrik hidup, asapnya tidak melalui cerobong asap tersebut,” ingatnya.

Sudarto kembali mengenang, seingat dia, saat itu dia bekerja bersama sebanyak 80 orang pekerja lainnya selain staf dan krani. Setiap pekerja diberi fasilitas rumah yang ukurannya 3×8 meter, yang berlokasi tidak jauh dari lokasi pabrik tersebut. Sementara untuk gaji yang mereka terima, hanya sebesar Rp30 ribu sebulan.

“Ya kalau dipikir-pikir, kami dulu juga karena mengejar rumah ini sebagai tempat tinggal. Kalau gaji sih nggak cukup. Gaji segitu hanya bisa memenuhi kebutuhan setengah bulan saja. Makanya, dulu juga harus pandai-pandai cari pekerjaan sampingan. Kalau mengenai status karyawan, kami ini karyawan borongan. Dan itu sampai sekarang. Kalau staf atau kraninya pegawai negeri,” katanya.

Meskipun terbiang menjadi karyawan di perusahaan tersebut, namun saat ini para pekerjanya tidak mendapatkan pensiun. Dan itu telah mereka upyakan meminta kepada pemerintah, namun hasilnya nihil.

Apa yang diutarakan Sudarto, juga dibenarkan Mujiono yang juga pernah bekerja di pabrik pembuatan batu bata tersebut sejak 1978 hingga 1982.

Namun, saat Mujiono yang notabene juga merupakan adik kandung dari Sudarto masuk menjadi pekerja di pabrik tersebut, Deli Kley sudah mulai mengalami kemerosotan. Jumlah pekerja yang awalnya sebanyak 80 pekerja, saat Mujiono masuk hanya tinggal sebanyak 22 pekerja saja.

“Waktu jaya-jayanya, hasil produksi sampai diekspor ke Singapura, Malaysia dan negara-negara lainnya. Tapi, lama kelamaan mengalami kebangkrutan. Kebangkrutan itu dikarenakan biaya pembuatan tidak sebanding dengan biaya jualnya. Sementara bahan bakunya mesti didatangkan dari luar daerah,” terang pria berusia 50 tahun yang masih tetap menempati rumah No 122 di Jalan Bromo pemberian dari Deli Kley tersebut.

Layaknya bangunan bersejarah peninggalan zaman Belanda yang biasanya terkesan seram dan “berpenghuni”. Begitu pula sekarang yang terjadi di lokasi keberadaan cerobong asap tersebut.

Menurut keterangan Sastra, kakek berusia 72 tahun ini, dirinya sempat bermimpi ditemui seorang kakek berjanggut mengenakan jubah putih dalam mimpinya. Kedatangan kakek berjanggut dengan mengenakan jubah putih itu, dalam mimpi Sastra menyatakan, Sastra boleh mendirikan rumahnya di areal bekas pabrik tersebut.

“Sebelum menetap di sini, saya tinggal di Gang Seto. Pada tahun 2000, saya berniat pindah rumah dan membangun rumah di dekat bekas pabrik ini. saat hendak membangun rumah inilah, saya mimpi didatangi kakek berjanggut dan berjubah putih. Kakek itu memperbolehkan saya untuk mendirikan rumah di tempat ini. Kata kakek itu, yang menjaga cerobong asap itu adalah makhluk sejenis kuda dan anjing. Tapi, kedua makhluk itu tidak jahat. Dan tidak mau mengganggu orang-orang di sini,” ungkapnya.

Selain itu, di puncak cerobong asap tersebut, sambung Sastra, ada beberapa Burung Hantu yang tinggal di dalamnya. Selain itu pula, dulunya cerobong tersebut dilengkapi dengan besi yang melingkari. Namun sayangnya, besi yang melingkar itu sudah tidak ada lagi karena dicuri para tangan-tangan jahil.

“Salah seorang pencuri besi itu sempat hampir naas, jatuh. Untungnya tersangkut di bagian bawah besi-besi yang belum sempat dibongkar. Tapi sekarang sudah raib semua,” ungkapnya.(*)

Seiring perjalanan waktu, perusahaan Deli Kley mengalami kebangkrutan. Lantas, seperti apa kondisi bangunan dan nasib karyawannya kini?

Ari Sisworo, Medan

Sejak perusahaan tersebut mengamali pailit di Tahun 1982. Secara perlahan, pabrik dan bangsal yang ada juga lenyap dan saat ini hanya tersisa cerobong asap tersebut.

“Tinggal cerobong asap itu saja yang tersisa. Dulu, cerobong asap itu dipergunakan saat lampu listrik mati. Fungsinya untuk menyalurkan asap ke udara. Kalau lampu listrik hidup, asapnya tidak melalui cerobong asap tersebut,” ingatnya.

Sudarto kembali mengenang, seingat dia, saat itu dia bekerja bersama sebanyak 80 orang pekerja lainnya selain staf dan krani. Setiap pekerja diberi fasilitas rumah yang ukurannya 3×8 meter, yang berlokasi tidak jauh dari lokasi pabrik tersebut. Sementara untuk gaji yang mereka terima, hanya sebesar Rp30 ribu sebulan.

“Ya kalau dipikir-pikir, kami dulu juga karena mengejar rumah ini sebagai tempat tinggal. Kalau gaji sih nggak cukup. Gaji segitu hanya bisa memenuhi kebutuhan setengah bulan saja. Makanya, dulu juga harus pandai-pandai cari pekerjaan sampingan. Kalau mengenai status karyawan, kami ini karyawan borongan. Dan itu sampai sekarang. Kalau staf atau kraninya pegawai negeri,” katanya.

Meskipun terbiang menjadi karyawan di perusahaan tersebut, namun saat ini para pekerjanya tidak mendapatkan pensiun. Dan itu telah mereka upyakan meminta kepada pemerintah, namun hasilnya nihil.

Apa yang diutarakan Sudarto, juga dibenarkan Mujiono yang juga pernah bekerja di pabrik pembuatan batu bata tersebut sejak 1978 hingga 1982.

Namun, saat Mujiono yang notabene juga merupakan adik kandung dari Sudarto masuk menjadi pekerja di pabrik tersebut, Deli Kley sudah mulai mengalami kemerosotan. Jumlah pekerja yang awalnya sebanyak 80 pekerja, saat Mujiono masuk hanya tinggal sebanyak 22 pekerja saja.

“Waktu jaya-jayanya, hasil produksi sampai diekspor ke Singapura, Malaysia dan negara-negara lainnya. Tapi, lama kelamaan mengalami kebangkrutan. Kebangkrutan itu dikarenakan biaya pembuatan tidak sebanding dengan biaya jualnya. Sementara bahan bakunya mesti didatangkan dari luar daerah,” terang pria berusia 50 tahun yang masih tetap menempati rumah No 122 di Jalan Bromo pemberian dari Deli Kley tersebut.

Layaknya bangunan bersejarah peninggalan zaman Belanda yang biasanya terkesan seram dan “berpenghuni”. Begitu pula sekarang yang terjadi di lokasi keberadaan cerobong asap tersebut.

Menurut keterangan Sastra, kakek berusia 72 tahun ini, dirinya sempat bermimpi ditemui seorang kakek berjanggut mengenakan jubah putih dalam mimpinya. Kedatangan kakek berjanggut dengan mengenakan jubah putih itu, dalam mimpi Sastra menyatakan, Sastra boleh mendirikan rumahnya di areal bekas pabrik tersebut.

“Sebelum menetap di sini, saya tinggal di Gang Seto. Pada tahun 2000, saya berniat pindah rumah dan membangun rumah di dekat bekas pabrik ini. saat hendak membangun rumah inilah, saya mimpi didatangi kakek berjanggut dan berjubah putih. Kakek itu memperbolehkan saya untuk mendirikan rumah di tempat ini. Kata kakek itu, yang menjaga cerobong asap itu adalah makhluk sejenis kuda dan anjing. Tapi, kedua makhluk itu tidak jahat. Dan tidak mau mengganggu orang-orang di sini,” ungkapnya.

Selain itu, di puncak cerobong asap tersebut, sambung Sastra, ada beberapa Burung Hantu yang tinggal di dalamnya. Selain itu pula, dulunya cerobong tersebut dilengkapi dengan besi yang melingkari. Namun sayangnya, besi yang melingkar itu sudah tidak ada lagi karena dicuri para tangan-tangan jahil.

“Salah seorang pencuri besi itu sempat hampir naas, jatuh. Untungnya tersangkut di bagian bawah besi-besi yang belum sempat dibongkar. Tapi sekarang sudah raib semua,” ungkapnya.(*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/