25.6 C
Medan
Monday, May 6, 2024

Perempuan di Tengah Pandemi: Nenek Buruh Cuci & PRT Nyambi jadi Pemulung

Beragam cara perempuan-perempuan dari kelas ekonomi bawah menutupi biaya hidup sehari-hari. Ada yang menjadi pembantu rumah tangga, buruh cuci pakaian tetangga, dan sebagainya. Hantaman pandemi Covid-19 memaksa sebagian di antaranya nyambi menjadi pemulung.

Foto: Dame/Sumut Pos
BURUH CUCI: Masriani Tanjung, seorang buruh cuci, di rumah petaknya yang berukuran 3 x 3 meter, di Jalan Pasar 7 Gang Kantil 5A, Padang Bulan, Kota Medan. Nenek dua cucu ini setiap hari mencuci dan menyeterika pakaian tetangga untuk upah.

Masriani Tanjung, seorang buruh cuci, sedang sibuk menyortir pakaian kotor dari sebuah goni plastik, saat dikunjungi di rumah petaknya yang berukuran 3 x 3 meter, di Jalan Pasar 7 Gang Kantil 5A, Padang Bulan, Kota Medan, Minggu (22/11) malam lalu.

“Eh, masuklah. Ini lagi menyortir pakaian tetangga yang mau dicuci besok. Baru kami jemput tadi,” tutur nenek usia 60 tahun ini tersipu, sembari membenahi jilbabnya yang kedodoran.

Di ruangan yang terasa pengap itu, cucunya FS alias Dila, sedang tiduran di atas tilam 4 kaki bertutup sprei lusuh yang digelar di atas lantai. Anak perempuan 10 tahun itu sedang melihat-lihat hape Android–pemberian tetangga kepada abangnya, AHH alias Arif (13), murid kelas 2 SMP. Buku pelajaran terbuka di sebelahnya.

“Dila lagi belajar online,” terang Masriani yang lebih dikenal dengan sebutan Nek Arif itu, sembari menggeser-geser sejumlah barang agar ada ruang lapang.

Tak banyak tempat untuk tamu. Setelah tilam di sisi kiri kamar, kamar dipenuhi dengan sebuah meja reyot di dekat pintu, tumpukan barang-barang dan goni-goni di sisi depan dan kanan pintu. Ruang lapang tersisa sekira 1×1 meter. Di sanalah perempuan yang kerab disapa Nek Arif sedang menyortir baju kotor yang akan dicucinya demi upah.

“Di sinilah kami tidur, makan, belajar, menyetrika baju, serta menerima tamu,” ungkap nenek dua cucu itu, sembari mengembangkan senyum di wajahnya yang legam dan penuh kerut.

Saban malam, ia dan dua cucunya tidur bersempit-sempitan di ruangan itu. Cucu laki-lakinya tidur di lantai. Ia dan Dila tidur di atas tilam.

Sebenarnya ada ruangan lain di sebelah kanan kamar itu. Yakni dapur dan kamar mandi. Disebut dapur karena di sanalah ia memasak. Tetapi sebenarnya lebih cocok disebut gudang barang-barang bekas. Di sebelah ruangan berdinding seng itu, ada kamar mandi.

Di belakang ruang tidur mereka, ada ruangan seluas 1×3 meter yang mirip kamar kecil karena dikelilingi dinding tetangga. Penuh tumpukan barang juga. “Kalau cucu laki-laki saya nanti sudah lajang, ia bisa tidur di sana,” katanya dengan raut wajah yang menunjukkan ekspresi: ‘ya begitulah’.

Masriani bukan janda. Tapi juga bukan perempuan bersuami. “Saya ditinggal suami tahun 1993 lalu.  Alasan suami, mau cari anak laki-laki,” tutur ibu satu anak perempuan itu pelan. Saat ditinggal suami, putri satu-satunya masih berusia 5 tahun.

Ia mengaku tidak dicerai dan juga tidak menuntut cerai. Alasannya: “Kakek orang ini (sambil menunjuk cucunya) saat itu masih mau mengirimkan biaya untuk putrinya. Jadi buat apa cerai? Nanti malah dihentikan pula bantuannya,” katanya malu-malu.

Untuk biaya hidup, mantan guru honor tamatan PGSLTP ini menerima jasa permak pakaian. Seperti memperbaiki baju robek, memotong baju/celana, pasang kancing, bahkan menjahit jilbab sederhana. Sayang, hasilnya tidak terlalu memadai untuk menopang hidup. Paling banter dapat Rp 200 ribu -300 ribu sebulan.

Karena itu, sambil menjaga putri kecilnya, ia menerima penitipan 2-3 anak tetangga di rumah. 

Kenapa tidak mengajar lagi?

“Saat itu tak ada yang jaga anak di rumah. Lagipula waktu itu saya agak stres karena ditinggal ayah anak saya. Daripada marah-marah ke murid, lebih baik saya berhenti mengajar,” ungkapnya.

Setelah putrinya dewasa dan menikah, ia berhenti momong anak tetangga. Namun tak berapa lama, rumah tangga putrinya bermasalah. Ia bercerai dan kedua anaknya –Arif dan Dila—ditinggalkan pada Masriani. “Mau bagaimana lagi… ya sayalah yang rawat,” katanya pasrah.

Beban bertambah dengan dua cucu, sementara penghasilan ‘begitu-begitu saja’, Masriani pun putar otak. Sejak 2015 lalu, ia mulai menawarkan tenaga untuk mencuci pakaian ke beberapa tetangga. Pakaian dicuci-setrika di rumahnya. “Cuci seterika baju kotor dihargai Rp7.000 per kg. Kadang dapat 5 kg per hari. Kadang lebih, kadang kurang,” cetusnya.

Mengapa memilih jadi buruh cuci? “Jam kerjanya fleksibel. Bisa dikerjakan di rumah sembari jaga cucu,” ungkapnya seraya tersenyum manis.

Langganannya ada 3-4 keluarga. Ia menjemput sendiri baju-baju itu. Sebulan ia bisa mendapat penghasilan kurang lebih Rp 2 jutaan. Upah itu masih kotor, karena masih terpotong untuk membeli deterjen (mencuci) dan biaya listrik (menyetrika). Air diperoleh dari sumur kecil yang digali di depan kamar tidurnya.

Maret 2020, pandemi Covid-19 melanda dunia, termasuk Indonesia. Beban wanita tua ini pun makin besar. Maklum, kedua cucunya terpaksa tinggal 24 jam di rumah. Sementara dirinya tetap harus mencuci-seterika pakaian, memasak, dan pekerjaan domestik lainnya.

“Selama pandemi ini, saya mesti mendampingi cucu belajar online. Biasanya mereka ke sekolah… kini banyak di rumah. Saya jadi terhalang kerja. Hape yang bisa internet tak punya. Untung Lebaran kemarin, ada tetangga yang ngasih hape bekasnya untuk cucu saya. Itulah yang mereka pakai belajar online. Kadang saya terkantuk-kantuk mendampingi mereka belajar,” tuturnya mulai sedikit menaikkan nada suara.

Foto: Dame/Sumut Pos
MEMULUNG: Masriani Tanjung, berdiri di gang sempit di depan pintu rumah petaknya di Jalan Pasar 7 Gang Kantil 5A, Padang Bulan, Kota Medan. Barang-barang bekas yang belum disortir sebagian diletakkan di gang.

Untuk menambah penghasilan, ia memutuskan nyambi jadi pemulung.  Sambil berjalan kaki menjemput baju kotor, ia membawa goni. Di jalanan, warkop, cafe, atau kedai ia memulung barang-barang bekas yang masih dapat dijual. Besi, tembaga, botol-botol plastik, karton-karton, dan sebagainya.

Hasil memulung, ia bisa memperoleh rata-rata Rp50 ribu per minggu. Lumayan sebagai tambahan untuk membayar token listrik Rp25 ribu per minggu, membeli lauk pauk, minyak goreng, dan berbagai kebutuhan rumah tangga lainnya.

Agar pembagian waktunya efektif, ia biasa mencuci pakaian kotor mulai pukul 7 pagi hingga 11 siang. Usai menjemur pakaian, ia istirahat sembari mendampingi cucu belajar. Sore, ia pergi memulung sekaligus menjemput pakaian kotor. Kadang ia dibantu cucunya Dila.

Malam kerjakan pekerjaan domestik sembari dampingi cucu belajar, lalu tidur. Pukul 3 pagi, ia bangun lagi untuk menyeterika pakaian sampai subuh. Salat, lalu memasak untuk mereka bertiga.

Masriani mengaku, terkadang merasa kelelahan di usianya yang sudah 60 tahun. Tenaganya habis untuk memulung, menjemput cucian, mencuci, menyetrika, dan mengantar kembali cucian itu. Rasa lelah membuat emosinya kadang meledak saat cucunya melakukan kesalahan. Tak jarang terdengar teriakan-teriakan marah dari rumah mereka.

“Abis cemmana? Kadang cucu melawan saat disuruh. Sementara saya capek. Uang tak ada,” katanya tanpa terselip nada membela diri.

Selama pandemi Covid-19, Masriani mengaku belum pernah memperoleh bantuan sosial dari pemerintah. Pasalnya, KTP-nya sudah lama hilang. Tinggal fotokopinya. Itupun masa berlakunya sudah mati.

Pernah ia bertanya soal bantuan pada Lurah Medan Selayang. Ia diarahkan untuk mengurus surat pindah dari alamat rumahnya yang lama di Kelurahan Beringin. Namun setiap kali dia ke kantor lurah, petugas beralasan blangko KTP kosong. Ia disuruh ke kantor polisi mengurus KTP hilang.

Di kantor polisi, ia diminta uang administrasi Rp30 ribu. Masriani merasa berat karena baginya nilai uang itu cukup besar.

Untunglah, beberapa bulan belakangan ini, ada bantuan beras umat dari masjid tempat cucunya bersekolah. “Cucu saya Arif dianggap berprestasi di sekolah (dikelola masjid). Ia bertugas baca azan dua kali sehari. Jadi kami dapat jatah 10 kg beras per bulan,” katanya.

Setiap hari, ia menjemur beras itu karena berkutu. Begitupun, ia tetap bersyukur karena tidak perlu lagi beli beras. “Untuk lauk, kemarin baru saja ada teman yang ngasih ikan asin. Itulah lauk kami,” katanya polos.

Foto: Dame/Sumut Pos
DAPUR PLUS GUDANG: Masriani Tanjung, di dapur berdinding sekaligus gudang di sebelah kamarnya di Jalan Pasar 7 Gang Kantil 5A, Padang Bulan, Kota Medan. Nenek buruh cuci ini menyimpan sebagian barang-barang bekas di dapur ini.

Bantuan lain datang dari ‘suaminya’, yang kembali mengontak Masriani setelah sadar tidak punya anak dari istri kedua maupun istri ketiga. “Sejak beberapa waktu lalu, kakek mereka memberi jajan Rp 5.000 per hari. Trus, uang sekolah Rp 100 ribu per bulan per cucu,” kisahnya. 

Masriani sendiri tetap tidak dinafkahi. Pernah coba diminta, tapi jawab si ‘suami’: “Masih mending kukasih untuk cucumu! Atau mau kuhentikan?” ancamnya.

Masriani hanya diam tak berani melawan.

Meski hidupnya keras, keluhan Masriani sederhana saja. Sudah dua minggu terakhir ia tidak dapat mengambil isi tabungannya di BRI. Masalahnya ya KTP tadi. Padahal saban ada upah dari cuci bajunya, ia tabungkan ke BRI agar tidak hilang. Uang tabungannya di BRI ada Rp1,5 juta. “Gimanalah menarik uang saya? Bank nggak mau kasih tanpa KTP,” katanya memelas.

Tentang bantuan pemerintah, ia juga tidak ngotot. Meski tetap berharap dapat bansos jika memungkinkan. “Pernah ngadu ke Kepling, dijanjikan akan diurus. Tapi tak ada sampai sekarang,” ungkapnya.

Gaji PRT Dipotong, Nyambi Pemulung

Selain Masriani Tanjung, seorang perempuan ekonomi bawah lainnya, juga memilih nyambi jadi pemulung selama pandemi Covid-19. Mariani Nasution namanya. Usianya saat ini 42 tahun. Suaminya mencari nafkah sebagai tukang becak mesin.

“Sebelum pandemi, penghasilan suami dari menarik becak mesin bisa Rp 150 ribu per hari. Tetapi sebagian besar habis untuk membeli bensin, biaya makan di warung, bengkel, uang rokok, dan uang minum,” katanya mengawali, saat ditemui di rumah sewa milik majikannya, di Jalan Pasar 7, Gang Kantil 5 A, Padang Bulan, Kota Medan.    

Sebagai istri, ia hanya mendapat Rp20 ribu per hari untuk uang belanja. “Cobalah bayangkan… cemmana belanja rumah tangga dengan uang itu,” keluhnya muram.

Untuk membantu menutupi biaya rumah tangga, ibu 3 anak ini bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Gajinya Rp 1,2 juta per bulan. Jumlah itu untuk pekerjaan memasak, mencuci, membersihkan rumah, sekaligus menjaga anak majikan.

Namun sejak pandemi Covid-19 melanda, pendapatan suaminya menurun drastis. Dari rata-rata Rp 150 ribu per hari, turun menjadi Rp 50 ribu. Itupun kadang tidak tercapai.

“Habislah untuk biaya bensin dan biaya bengkel motornya yang sudah tua. Suami mengurangi uang belanja. Kadang dikasihnya Rp5.000 beli sayur. Tapi ia yang bertugas membeli beras. Cuma… berapalah yang bisa dibelinya? Paling 1-2 kg beras,” ucapnya makin murung.

Foto: Dame/Sumut Pos
MEMULUNG: Mariani Nasution bersama kedua putrinya, menunjukkan barang-barang hasil memulung di rumah sewa milik majikannya di Jalan Pasar 7, Padang Bulan, Kota Medan. Ia terpaksa memulung karena penghasilan suami menurun drastis sejak pandemi. Gajinya sebagai PRT juga dipotong majikan.     

Kesulitan ekonomi kerap memicu pertikaian di tengah keluarga kecil mereka. Sang suami kerap menuduh dirinya tidak menghormati suami. Sementara Mariani tak terima dicurigai suaminya soal alokasi uang. “Sejak menikah hanya ngasih uang Rp20 per hari. Turun menjadi Rp15 ribu. Belakangan malah tidak pernah lagi dikasih uang belanja. Tapi masih dicurigai. Cemmana nggak ribut?” katanya dengan wajah ketat.

Tekanan ekonomi keluarganya makin terasa berat, setelah majikannya mengurangi gajinya dari Rp 1,2 juta menjadi Rp 800 ribu, awal Oktober lalu. “Majikan bilang, gaji saya dipotong tapi saya tidak usai lagi memasak dan membersihkan rumah,” ungkapnya.

Merasa gaji PRT semakin tidak cukup, sejak pertengahan Oktober kemarin, Mariani terpaksa nyambi menjadi pemulung barang-barang bekas. Maklum, pendidikannya hanya sampai kelas 3 SD. Ia tidak punya keterampilan lain selain pekerjaan rumah tangga.

Setiap malam, usai kerja di rumah majikan, ia membawa goni dan mengajak kedua putrinya (seorang gadis remaja penyandang disabilitas dan seorang gadis kecil usia 5 tahun) berjalan kaki menelusuri jalanan di Padang Bulan. Sepanjang jalan, ketiganya memunguti barang-barang bekas yang masih bisa dijual.

Keesokan harinya, sang suami yang menyortir barang-barang itu untuk dijual kembali.

Sebagai keluarga yang rentan secara ekonomi, Mariani mengaku belum pernah mendapat bantuan sosial dari manapun, baik pemerintah maupun swasta. Pasalnya mereka belum terdaftar di kelurahan setempat. “KTP saya masih beralamat di rumah mama saya di Tembung,” katanya singkat. Sementara KTP suaminya, masih beralamat di rumah mantan istri.

Tak terlalu berharap bakal dapat perhatian dari pemerintah, hanya satu harapan Mariani.  Majikan mau mengembalikan gajinya ke angka semula, yakni Rp1,2 juta per bulan. “Berapalah hasil memulung ini? Paling banyak Rp200 ribu sebulan. Padahal udah ngos-ngosan mencari,” katanya.

Apalagi belakangan, ia melihat jumlah kaum ibu bahkan kaum bapak yang ikut memulung, makin banyak saja. “Mungkin efek pandemi. Biar hasilnya agak banyak, kami memulung makin lama. Kadang pulang jam 1 atau 2 malam. Bahkan pernah hingga jam 3 pagi,” ucapnya.

Ia bersyukur bebannya mendampingi anak belajar di rumah selama pandemi Covid-19, tidak ada. Putri sulungnya yang disabilitas tidak pernah bersekolah di Sekolah Luar Biasa karena ketiadaan biaya. Sementara putri bungsunya masih kecil. Belum masuk sekolah.

Penurunan Penghasilan Picu Ketegangan

Masriani dan Mariani hanyalah dua dari ratusan atau bahkan mungkin ribuan wanita di Indonesia –termasuk Kota Medan– yang terdampak pandemi Covid-19.  

Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), pihaknya menerima 892 pengaduan langsung hingga Mei 2020. Angka ini setara dengan 63% dari total pengaduan sepanjang 2019. Mayoritas laporan masuk pada April atau bulan kedua kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) berjalan di sejumlah daerah Indonesia. Angkanya mencapai 232 laporan. Lebih banyak dari bulan sebelumnya yang 181 laporan.

Sedangkan, pada Mei sebanyak 207 laporan. Ranah kasus kekerasan paling banyak dilaporkan adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)/ranah personal (RP). Persentasenya mencapai 69% dari total kasus sepanjang Januari-Mei 2020. Disusul kekerasan di ranah komunitas (30%) dan negara (1%).      

Bentuk KDRT/RP yang paling banyak berupa kekerasan psikis, yakni 398 laporan. Lalu, jenis paling banyak adalah kekerasan terhadap istri, yakni 170 laporan. Hal ini terjadi lantaran PSBB dan penurunan tingkat ekonomi atau penghasilan memicu ketegangan dalam hubungan suami-istri meningkat.

Selain itu, selama pandemi ada 36 persen perempuan pekerja informal yang harus mengalami pengurangan waktu kerja berbayar mereka. Angka itu lebih banyak ketimbang laki-laki pekerja informal yang mengalami persoalan serupa (30 persen).

Pembatasan sosial yang diterapkan selama pandemi membuat 69 persen perempuan dan 61 persen laki-laki menghabiskan lebih banyak waktu mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Akan tetapi perempuan memikul beban lebih berat karena 61 persen di antara mereka juga harus menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengasuh dan mendampingi anak. Sedangkan di antara para lelaki hanya 48 persen yang melakukannya.

Pandemi Covid-19 juga telah memengaruhi kesehatan mental dan emosional perempuan.

Sebanyak 57 persen perempuan menurut hasil survei mengalami peningkatan stres dan kecemasan karena menanggung lebih banyak beban dalam mengurus pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan. Mereka juga kehilangan pekerjaan dan pendapatan serta menghadapi kekerasan berbasis gender. Masalah itu hanya dihadapi oleh 48 persen laki-laki.

Maria Holtsberg, Penasihat Risiko Bidang Kemanusiaan dan Bencana di UN Women Asia dan Pasifik mengatakan, “krisis selalu memperburuk ketimpangan gender.”

Banyak tindak kekerasan terhadap perempuan akibat lemahnya tingkat ekonomi, pendidikan, ataupun kondisi psikis mereka yang terguncang akibat berbagai masalah di tengah pandemi saat ini. “Maka diperlukan langkah-langkah khusus dan konkret untuk menjaga perempuan khususnya dalam memerangi Covid-19 saat ini,” kata Holtsberg.

Untuk mencegah terjadinya KDRT, diperlukan kebijakan yang benar-benar memperhatikan kepentingan dan kondisi masyarakat, khususnya perempuan sebagai kelompok rentan. Baik dalam hal pemenuhan kebutuhan spesifik, pelayanan kesehatan jiwa, penanganan dan pendampingan bagi korban kekerasan, serta peningkatan ekonomi pemberdayaan perempuan.

Cek Ulang DTKS

Komisi II DPRD Medan mengakui bansos kepada warga miskin sering tidak tepat sasaran. Pasalnya, Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) tidak lagi valid dan tidak update.

Karena itu Komisi II DPRD Medan mendorong Dinas Sosial (Dinsos) Kota Medan agar benar-benar melakukan verifikasi data seluruh warga miskin di Kota Medan.

“Tahun 2021, seluruh warga miskin di Kota Medan harus dapat terakomodir untuk mendapatkan segala jenis bantuan sosial yang ada, baik yang bersumber dari pemerintah pusat maupun daerah,” kata Wakil Ketua Komisi II DPRD Medan, Sudari ST.

Mereka yang sebelumnya termasuk golongan warga miskin, tetapi sekarang tidak lagi miskin, agar dicoret dari DTKS. Sebaliknya, warga miskin baru agar dimasukkan agar mendapat bantuan.

Kepala Dinas Sosial Kota Medan, Endar Sutan Lubis, berjanji akan melakukan verifikasi dan validasi terhadap data warga miskin di Kota Medan. Pendataan akan dilakukan dengan metode door to door di 17 kecamatan, dengan sasaran sekitar 120.870 KK.

“Ada 14 kriteria untuk dinyatakan sebagai warga miskin. Jika telah memenuhi 9 kriteria saja, sudah layak masuk kategori warga miskin,” katanya.

Ke-14 kriteria tersebut, yakni luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 M2 per orang, jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan,  jenis dinding tempat tinggal dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.

Kemudian, tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain, sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik, sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan,  bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah, hanya mengonsumsi daging/susu/ayam dalam satu kali seminggu.

Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari, tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani dengan luas lahan 500 m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp 600.000 per bulan.

Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/tamat SD, tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan minimal Rp500.000, seperti sepeda motor kredit/non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga, mengatakan isu-isu perempuan dan anak sifatnya selalu lintas sektoral. Karena itu, intervensi yang tepat sasaran dan efektif hanya dapat dilakukan debgan kerja sama berbagai pihak. Yakni pemerintah, dunia usaha, media, dan masyarakat.

Kemen PPPA sendiri terus melakukan upaya pencegahan kekerasan berbasis gender. Salahsatu solusi Kemen PPPA, yakni membangun rumah perlindungan perempuan dan anak serta membuka layanan konsultasi dan edukasi psikologi. Dengan demikian, perempuan dan anak dapat mengadukan masalah yang mereka alami di tengah merebaknya pandemi corona Covid-19.

“Setiap perempuan adalah advokat bagi dirinya sendiri dan bagi hak-hak perempuan secara umum,” katanya. (dame ambarita)

Beragam cara perempuan-perempuan dari kelas ekonomi bawah menutupi biaya hidup sehari-hari. Ada yang menjadi pembantu rumah tangga, buruh cuci pakaian tetangga, dan sebagainya. Hantaman pandemi Covid-19 memaksa sebagian di antaranya nyambi menjadi pemulung.

Foto: Dame/Sumut Pos
BURUH CUCI: Masriani Tanjung, seorang buruh cuci, di rumah petaknya yang berukuran 3 x 3 meter, di Jalan Pasar 7 Gang Kantil 5A, Padang Bulan, Kota Medan. Nenek dua cucu ini setiap hari mencuci dan menyeterika pakaian tetangga untuk upah.

Masriani Tanjung, seorang buruh cuci, sedang sibuk menyortir pakaian kotor dari sebuah goni plastik, saat dikunjungi di rumah petaknya yang berukuran 3 x 3 meter, di Jalan Pasar 7 Gang Kantil 5A, Padang Bulan, Kota Medan, Minggu (22/11) malam lalu.

“Eh, masuklah. Ini lagi menyortir pakaian tetangga yang mau dicuci besok. Baru kami jemput tadi,” tutur nenek usia 60 tahun ini tersipu, sembari membenahi jilbabnya yang kedodoran.

Di ruangan yang terasa pengap itu, cucunya FS alias Dila, sedang tiduran di atas tilam 4 kaki bertutup sprei lusuh yang digelar di atas lantai. Anak perempuan 10 tahun itu sedang melihat-lihat hape Android–pemberian tetangga kepada abangnya, AHH alias Arif (13), murid kelas 2 SMP. Buku pelajaran terbuka di sebelahnya.

“Dila lagi belajar online,” terang Masriani yang lebih dikenal dengan sebutan Nek Arif itu, sembari menggeser-geser sejumlah barang agar ada ruang lapang.

Tak banyak tempat untuk tamu. Setelah tilam di sisi kiri kamar, kamar dipenuhi dengan sebuah meja reyot di dekat pintu, tumpukan barang-barang dan goni-goni di sisi depan dan kanan pintu. Ruang lapang tersisa sekira 1×1 meter. Di sanalah perempuan yang kerab disapa Nek Arif sedang menyortir baju kotor yang akan dicucinya demi upah.

“Di sinilah kami tidur, makan, belajar, menyetrika baju, serta menerima tamu,” ungkap nenek dua cucu itu, sembari mengembangkan senyum di wajahnya yang legam dan penuh kerut.

Saban malam, ia dan dua cucunya tidur bersempit-sempitan di ruangan itu. Cucu laki-lakinya tidur di lantai. Ia dan Dila tidur di atas tilam.

Sebenarnya ada ruangan lain di sebelah kanan kamar itu. Yakni dapur dan kamar mandi. Disebut dapur karena di sanalah ia memasak. Tetapi sebenarnya lebih cocok disebut gudang barang-barang bekas. Di sebelah ruangan berdinding seng itu, ada kamar mandi.

Di belakang ruang tidur mereka, ada ruangan seluas 1×3 meter yang mirip kamar kecil karena dikelilingi dinding tetangga. Penuh tumpukan barang juga. “Kalau cucu laki-laki saya nanti sudah lajang, ia bisa tidur di sana,” katanya dengan raut wajah yang menunjukkan ekspresi: ‘ya begitulah’.

Masriani bukan janda. Tapi juga bukan perempuan bersuami. “Saya ditinggal suami tahun 1993 lalu.  Alasan suami, mau cari anak laki-laki,” tutur ibu satu anak perempuan itu pelan. Saat ditinggal suami, putri satu-satunya masih berusia 5 tahun.

Ia mengaku tidak dicerai dan juga tidak menuntut cerai. Alasannya: “Kakek orang ini (sambil menunjuk cucunya) saat itu masih mau mengirimkan biaya untuk putrinya. Jadi buat apa cerai? Nanti malah dihentikan pula bantuannya,” katanya malu-malu.

Untuk biaya hidup, mantan guru honor tamatan PGSLTP ini menerima jasa permak pakaian. Seperti memperbaiki baju robek, memotong baju/celana, pasang kancing, bahkan menjahit jilbab sederhana. Sayang, hasilnya tidak terlalu memadai untuk menopang hidup. Paling banter dapat Rp 200 ribu -300 ribu sebulan.

Karena itu, sambil menjaga putri kecilnya, ia menerima penitipan 2-3 anak tetangga di rumah. 

Kenapa tidak mengajar lagi?

“Saat itu tak ada yang jaga anak di rumah. Lagipula waktu itu saya agak stres karena ditinggal ayah anak saya. Daripada marah-marah ke murid, lebih baik saya berhenti mengajar,” ungkapnya.

Setelah putrinya dewasa dan menikah, ia berhenti momong anak tetangga. Namun tak berapa lama, rumah tangga putrinya bermasalah. Ia bercerai dan kedua anaknya –Arif dan Dila—ditinggalkan pada Masriani. “Mau bagaimana lagi… ya sayalah yang rawat,” katanya pasrah.

Beban bertambah dengan dua cucu, sementara penghasilan ‘begitu-begitu saja’, Masriani pun putar otak. Sejak 2015 lalu, ia mulai menawarkan tenaga untuk mencuci pakaian ke beberapa tetangga. Pakaian dicuci-setrika di rumahnya. “Cuci seterika baju kotor dihargai Rp7.000 per kg. Kadang dapat 5 kg per hari. Kadang lebih, kadang kurang,” cetusnya.

Mengapa memilih jadi buruh cuci? “Jam kerjanya fleksibel. Bisa dikerjakan di rumah sembari jaga cucu,” ungkapnya seraya tersenyum manis.

Langganannya ada 3-4 keluarga. Ia menjemput sendiri baju-baju itu. Sebulan ia bisa mendapat penghasilan kurang lebih Rp 2 jutaan. Upah itu masih kotor, karena masih terpotong untuk membeli deterjen (mencuci) dan biaya listrik (menyetrika). Air diperoleh dari sumur kecil yang digali di depan kamar tidurnya.

Maret 2020, pandemi Covid-19 melanda dunia, termasuk Indonesia. Beban wanita tua ini pun makin besar. Maklum, kedua cucunya terpaksa tinggal 24 jam di rumah. Sementara dirinya tetap harus mencuci-seterika pakaian, memasak, dan pekerjaan domestik lainnya.

“Selama pandemi ini, saya mesti mendampingi cucu belajar online. Biasanya mereka ke sekolah… kini banyak di rumah. Saya jadi terhalang kerja. Hape yang bisa internet tak punya. Untung Lebaran kemarin, ada tetangga yang ngasih hape bekasnya untuk cucu saya. Itulah yang mereka pakai belajar online. Kadang saya terkantuk-kantuk mendampingi mereka belajar,” tuturnya mulai sedikit menaikkan nada suara.

Foto: Dame/Sumut Pos
MEMULUNG: Masriani Tanjung, berdiri di gang sempit di depan pintu rumah petaknya di Jalan Pasar 7 Gang Kantil 5A, Padang Bulan, Kota Medan. Barang-barang bekas yang belum disortir sebagian diletakkan di gang.

Untuk menambah penghasilan, ia memutuskan nyambi jadi pemulung.  Sambil berjalan kaki menjemput baju kotor, ia membawa goni. Di jalanan, warkop, cafe, atau kedai ia memulung barang-barang bekas yang masih dapat dijual. Besi, tembaga, botol-botol plastik, karton-karton, dan sebagainya.

Hasil memulung, ia bisa memperoleh rata-rata Rp50 ribu per minggu. Lumayan sebagai tambahan untuk membayar token listrik Rp25 ribu per minggu, membeli lauk pauk, minyak goreng, dan berbagai kebutuhan rumah tangga lainnya.

Agar pembagian waktunya efektif, ia biasa mencuci pakaian kotor mulai pukul 7 pagi hingga 11 siang. Usai menjemur pakaian, ia istirahat sembari mendampingi cucu belajar. Sore, ia pergi memulung sekaligus menjemput pakaian kotor. Kadang ia dibantu cucunya Dila.

Malam kerjakan pekerjaan domestik sembari dampingi cucu belajar, lalu tidur. Pukul 3 pagi, ia bangun lagi untuk menyeterika pakaian sampai subuh. Salat, lalu memasak untuk mereka bertiga.

Masriani mengaku, terkadang merasa kelelahan di usianya yang sudah 60 tahun. Tenaganya habis untuk memulung, menjemput cucian, mencuci, menyetrika, dan mengantar kembali cucian itu. Rasa lelah membuat emosinya kadang meledak saat cucunya melakukan kesalahan. Tak jarang terdengar teriakan-teriakan marah dari rumah mereka.

“Abis cemmana? Kadang cucu melawan saat disuruh. Sementara saya capek. Uang tak ada,” katanya tanpa terselip nada membela diri.

Selama pandemi Covid-19, Masriani mengaku belum pernah memperoleh bantuan sosial dari pemerintah. Pasalnya, KTP-nya sudah lama hilang. Tinggal fotokopinya. Itupun masa berlakunya sudah mati.

Pernah ia bertanya soal bantuan pada Lurah Medan Selayang. Ia diarahkan untuk mengurus surat pindah dari alamat rumahnya yang lama di Kelurahan Beringin. Namun setiap kali dia ke kantor lurah, petugas beralasan blangko KTP kosong. Ia disuruh ke kantor polisi mengurus KTP hilang.

Di kantor polisi, ia diminta uang administrasi Rp30 ribu. Masriani merasa berat karena baginya nilai uang itu cukup besar.

Untunglah, beberapa bulan belakangan ini, ada bantuan beras umat dari masjid tempat cucunya bersekolah. “Cucu saya Arif dianggap berprestasi di sekolah (dikelola masjid). Ia bertugas baca azan dua kali sehari. Jadi kami dapat jatah 10 kg beras per bulan,” katanya.

Setiap hari, ia menjemur beras itu karena berkutu. Begitupun, ia tetap bersyukur karena tidak perlu lagi beli beras. “Untuk lauk, kemarin baru saja ada teman yang ngasih ikan asin. Itulah lauk kami,” katanya polos.

Foto: Dame/Sumut Pos
DAPUR PLUS GUDANG: Masriani Tanjung, di dapur berdinding sekaligus gudang di sebelah kamarnya di Jalan Pasar 7 Gang Kantil 5A, Padang Bulan, Kota Medan. Nenek buruh cuci ini menyimpan sebagian barang-barang bekas di dapur ini.

Bantuan lain datang dari ‘suaminya’, yang kembali mengontak Masriani setelah sadar tidak punya anak dari istri kedua maupun istri ketiga. “Sejak beberapa waktu lalu, kakek mereka memberi jajan Rp 5.000 per hari. Trus, uang sekolah Rp 100 ribu per bulan per cucu,” kisahnya. 

Masriani sendiri tetap tidak dinafkahi. Pernah coba diminta, tapi jawab si ‘suami’: “Masih mending kukasih untuk cucumu! Atau mau kuhentikan?” ancamnya.

Masriani hanya diam tak berani melawan.

Meski hidupnya keras, keluhan Masriani sederhana saja. Sudah dua minggu terakhir ia tidak dapat mengambil isi tabungannya di BRI. Masalahnya ya KTP tadi. Padahal saban ada upah dari cuci bajunya, ia tabungkan ke BRI agar tidak hilang. Uang tabungannya di BRI ada Rp1,5 juta. “Gimanalah menarik uang saya? Bank nggak mau kasih tanpa KTP,” katanya memelas.

Tentang bantuan pemerintah, ia juga tidak ngotot. Meski tetap berharap dapat bansos jika memungkinkan. “Pernah ngadu ke Kepling, dijanjikan akan diurus. Tapi tak ada sampai sekarang,” ungkapnya.

Gaji PRT Dipotong, Nyambi Pemulung

Selain Masriani Tanjung, seorang perempuan ekonomi bawah lainnya, juga memilih nyambi jadi pemulung selama pandemi Covid-19. Mariani Nasution namanya. Usianya saat ini 42 tahun. Suaminya mencari nafkah sebagai tukang becak mesin.

“Sebelum pandemi, penghasilan suami dari menarik becak mesin bisa Rp 150 ribu per hari. Tetapi sebagian besar habis untuk membeli bensin, biaya makan di warung, bengkel, uang rokok, dan uang minum,” katanya mengawali, saat ditemui di rumah sewa milik majikannya, di Jalan Pasar 7, Gang Kantil 5 A, Padang Bulan, Kota Medan.    

Sebagai istri, ia hanya mendapat Rp20 ribu per hari untuk uang belanja. “Cobalah bayangkan… cemmana belanja rumah tangga dengan uang itu,” keluhnya muram.

Untuk membantu menutupi biaya rumah tangga, ibu 3 anak ini bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Gajinya Rp 1,2 juta per bulan. Jumlah itu untuk pekerjaan memasak, mencuci, membersihkan rumah, sekaligus menjaga anak majikan.

Namun sejak pandemi Covid-19 melanda, pendapatan suaminya menurun drastis. Dari rata-rata Rp 150 ribu per hari, turun menjadi Rp 50 ribu. Itupun kadang tidak tercapai.

“Habislah untuk biaya bensin dan biaya bengkel motornya yang sudah tua. Suami mengurangi uang belanja. Kadang dikasihnya Rp5.000 beli sayur. Tapi ia yang bertugas membeli beras. Cuma… berapalah yang bisa dibelinya? Paling 1-2 kg beras,” ucapnya makin murung.

Foto: Dame/Sumut Pos
MEMULUNG: Mariani Nasution bersama kedua putrinya, menunjukkan barang-barang hasil memulung di rumah sewa milik majikannya di Jalan Pasar 7, Padang Bulan, Kota Medan. Ia terpaksa memulung karena penghasilan suami menurun drastis sejak pandemi. Gajinya sebagai PRT juga dipotong majikan.     

Kesulitan ekonomi kerap memicu pertikaian di tengah keluarga kecil mereka. Sang suami kerap menuduh dirinya tidak menghormati suami. Sementara Mariani tak terima dicurigai suaminya soal alokasi uang. “Sejak menikah hanya ngasih uang Rp20 per hari. Turun menjadi Rp15 ribu. Belakangan malah tidak pernah lagi dikasih uang belanja. Tapi masih dicurigai. Cemmana nggak ribut?” katanya dengan wajah ketat.

Tekanan ekonomi keluarganya makin terasa berat, setelah majikannya mengurangi gajinya dari Rp 1,2 juta menjadi Rp 800 ribu, awal Oktober lalu. “Majikan bilang, gaji saya dipotong tapi saya tidak usai lagi memasak dan membersihkan rumah,” ungkapnya.

Merasa gaji PRT semakin tidak cukup, sejak pertengahan Oktober kemarin, Mariani terpaksa nyambi menjadi pemulung barang-barang bekas. Maklum, pendidikannya hanya sampai kelas 3 SD. Ia tidak punya keterampilan lain selain pekerjaan rumah tangga.

Setiap malam, usai kerja di rumah majikan, ia membawa goni dan mengajak kedua putrinya (seorang gadis remaja penyandang disabilitas dan seorang gadis kecil usia 5 tahun) berjalan kaki menelusuri jalanan di Padang Bulan. Sepanjang jalan, ketiganya memunguti barang-barang bekas yang masih bisa dijual.

Keesokan harinya, sang suami yang menyortir barang-barang itu untuk dijual kembali.

Sebagai keluarga yang rentan secara ekonomi, Mariani mengaku belum pernah mendapat bantuan sosial dari manapun, baik pemerintah maupun swasta. Pasalnya mereka belum terdaftar di kelurahan setempat. “KTP saya masih beralamat di rumah mama saya di Tembung,” katanya singkat. Sementara KTP suaminya, masih beralamat di rumah mantan istri.

Tak terlalu berharap bakal dapat perhatian dari pemerintah, hanya satu harapan Mariani.  Majikan mau mengembalikan gajinya ke angka semula, yakni Rp1,2 juta per bulan. “Berapalah hasil memulung ini? Paling banyak Rp200 ribu sebulan. Padahal udah ngos-ngosan mencari,” katanya.

Apalagi belakangan, ia melihat jumlah kaum ibu bahkan kaum bapak yang ikut memulung, makin banyak saja. “Mungkin efek pandemi. Biar hasilnya agak banyak, kami memulung makin lama. Kadang pulang jam 1 atau 2 malam. Bahkan pernah hingga jam 3 pagi,” ucapnya.

Ia bersyukur bebannya mendampingi anak belajar di rumah selama pandemi Covid-19, tidak ada. Putri sulungnya yang disabilitas tidak pernah bersekolah di Sekolah Luar Biasa karena ketiadaan biaya. Sementara putri bungsunya masih kecil. Belum masuk sekolah.

Penurunan Penghasilan Picu Ketegangan

Masriani dan Mariani hanyalah dua dari ratusan atau bahkan mungkin ribuan wanita di Indonesia –termasuk Kota Medan– yang terdampak pandemi Covid-19.  

Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), pihaknya menerima 892 pengaduan langsung hingga Mei 2020. Angka ini setara dengan 63% dari total pengaduan sepanjang 2019. Mayoritas laporan masuk pada April atau bulan kedua kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) berjalan di sejumlah daerah Indonesia. Angkanya mencapai 232 laporan. Lebih banyak dari bulan sebelumnya yang 181 laporan.

Sedangkan, pada Mei sebanyak 207 laporan. Ranah kasus kekerasan paling banyak dilaporkan adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)/ranah personal (RP). Persentasenya mencapai 69% dari total kasus sepanjang Januari-Mei 2020. Disusul kekerasan di ranah komunitas (30%) dan negara (1%).      

Bentuk KDRT/RP yang paling banyak berupa kekerasan psikis, yakni 398 laporan. Lalu, jenis paling banyak adalah kekerasan terhadap istri, yakni 170 laporan. Hal ini terjadi lantaran PSBB dan penurunan tingkat ekonomi atau penghasilan memicu ketegangan dalam hubungan suami-istri meningkat.

Selain itu, selama pandemi ada 36 persen perempuan pekerja informal yang harus mengalami pengurangan waktu kerja berbayar mereka. Angka itu lebih banyak ketimbang laki-laki pekerja informal yang mengalami persoalan serupa (30 persen).

Pembatasan sosial yang diterapkan selama pandemi membuat 69 persen perempuan dan 61 persen laki-laki menghabiskan lebih banyak waktu mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Akan tetapi perempuan memikul beban lebih berat karena 61 persen di antara mereka juga harus menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengasuh dan mendampingi anak. Sedangkan di antara para lelaki hanya 48 persen yang melakukannya.

Pandemi Covid-19 juga telah memengaruhi kesehatan mental dan emosional perempuan.

Sebanyak 57 persen perempuan menurut hasil survei mengalami peningkatan stres dan kecemasan karena menanggung lebih banyak beban dalam mengurus pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan. Mereka juga kehilangan pekerjaan dan pendapatan serta menghadapi kekerasan berbasis gender. Masalah itu hanya dihadapi oleh 48 persen laki-laki.

Maria Holtsberg, Penasihat Risiko Bidang Kemanusiaan dan Bencana di UN Women Asia dan Pasifik mengatakan, “krisis selalu memperburuk ketimpangan gender.”

Banyak tindak kekerasan terhadap perempuan akibat lemahnya tingkat ekonomi, pendidikan, ataupun kondisi psikis mereka yang terguncang akibat berbagai masalah di tengah pandemi saat ini. “Maka diperlukan langkah-langkah khusus dan konkret untuk menjaga perempuan khususnya dalam memerangi Covid-19 saat ini,” kata Holtsberg.

Untuk mencegah terjadinya KDRT, diperlukan kebijakan yang benar-benar memperhatikan kepentingan dan kondisi masyarakat, khususnya perempuan sebagai kelompok rentan. Baik dalam hal pemenuhan kebutuhan spesifik, pelayanan kesehatan jiwa, penanganan dan pendampingan bagi korban kekerasan, serta peningkatan ekonomi pemberdayaan perempuan.

Cek Ulang DTKS

Komisi II DPRD Medan mengakui bansos kepada warga miskin sering tidak tepat sasaran. Pasalnya, Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) tidak lagi valid dan tidak update.

Karena itu Komisi II DPRD Medan mendorong Dinas Sosial (Dinsos) Kota Medan agar benar-benar melakukan verifikasi data seluruh warga miskin di Kota Medan.

“Tahun 2021, seluruh warga miskin di Kota Medan harus dapat terakomodir untuk mendapatkan segala jenis bantuan sosial yang ada, baik yang bersumber dari pemerintah pusat maupun daerah,” kata Wakil Ketua Komisi II DPRD Medan, Sudari ST.

Mereka yang sebelumnya termasuk golongan warga miskin, tetapi sekarang tidak lagi miskin, agar dicoret dari DTKS. Sebaliknya, warga miskin baru agar dimasukkan agar mendapat bantuan.

Kepala Dinas Sosial Kota Medan, Endar Sutan Lubis, berjanji akan melakukan verifikasi dan validasi terhadap data warga miskin di Kota Medan. Pendataan akan dilakukan dengan metode door to door di 17 kecamatan, dengan sasaran sekitar 120.870 KK.

“Ada 14 kriteria untuk dinyatakan sebagai warga miskin. Jika telah memenuhi 9 kriteria saja, sudah layak masuk kategori warga miskin,” katanya.

Ke-14 kriteria tersebut, yakni luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 M2 per orang, jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan,  jenis dinding tempat tinggal dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.

Kemudian, tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain, sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik, sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan,  bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah, hanya mengonsumsi daging/susu/ayam dalam satu kali seminggu.

Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari, tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani dengan luas lahan 500 m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp 600.000 per bulan.

Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/tamat SD, tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan minimal Rp500.000, seperti sepeda motor kredit/non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga, mengatakan isu-isu perempuan dan anak sifatnya selalu lintas sektoral. Karena itu, intervensi yang tepat sasaran dan efektif hanya dapat dilakukan debgan kerja sama berbagai pihak. Yakni pemerintah, dunia usaha, media, dan masyarakat.

Kemen PPPA sendiri terus melakukan upaya pencegahan kekerasan berbasis gender. Salahsatu solusi Kemen PPPA, yakni membangun rumah perlindungan perempuan dan anak serta membuka layanan konsultasi dan edukasi psikologi. Dengan demikian, perempuan dan anak dapat mengadukan masalah yang mereka alami di tengah merebaknya pandemi corona Covid-19.

“Setiap perempuan adalah advokat bagi dirinya sendiri dan bagi hak-hak perempuan secara umum,” katanya. (dame ambarita)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/