Hari ke-22, mesin menderu dan kapal melaju ke perairan Thailand. Dibutuhkan waktu tujuh hari tujuh malam sebelum mereka sampai di perbatasan. Kontak dengan militer Thailand terjadi, tapi kapal dilarang masuk ke perairan Negeri Gajah Putih itu. Terungkitnya kasus sindikat perdagangan manusia di Songhkla membuat pemeritah Thailand memperketat penjagaan di wilayah perairan.
Buntutnya, para imigran itu kembali terombang-ambing selama 41 hari di Laut Andaman. Selama dua bulan kurang itu, mereka amat menderita. Kapal yang sesak membuat mereka tak bisa bergerak leluasa. ”Kami tak bisa bergerak atau berdiri. Kami hanya bisa jongkok. Dari hari ke hari, minggu ke minggu, kami memandang laut dengan penuh keputusasaan.”
Beruntunglah mereka yang berada di dek kapal karena ada udara laut segar yang bisa dihirup. Lain halnya dengan mereka yang membayar murah dan ditempatkan di dalam lambung kapal. Ada tiga tingkat ruangan untuk mereka. Selisih tingkat per tingkat hanya 1,5 meter. Saat berdiri, otomatis kepala mereka akan terbentur atap kayu.
Bukan hanya itu, kondisi ruangan tersebut amat pengap. Sempit dan bau tidak keruan. Sebab, aktivitas kencing atau buang kotoran dilakukan para penumpang di sekitar mereka berdiri. Kondisi itu dialami para pengungsi Rohingya yang sudah dua bulan terkatung-katung di tengah laut.
Terlebih ketika kapal itu mendapat limpahan 558 penumpang baru dari tiga kapal kecil dari Bangladesh. Total lebih 900 penumpang dalam satu kapal yang seharusnya hanya bisa menampung 400 orang. Begitu berjejalan!
Pada hari ke-70 pukul 7 malam, kata Rafiq, mesin kapal dihidupkan kapten kapal berkebangsaan Thailand itu. ”Kalian semua akan pergi ke Malaysia,” ucap sang kapten, lalu disambut sukacita seluruh penumpang. Namun, setelah empat jam berlalu, kapal kembali berhenti. Semua orang terdiam dan saling bertanya-tanya. ”Ada apa ini? Ada apa?”
”Dor…dor…dor…” Tanpa diduga, kapten kapal mengeluarkan pistol revolver yang terselip di pinggangnya dan menembak para penumpang yang memprotesnya dan banyak omong. Hanya lelaki dewasa yang dibunuh karena perempuan dan anak-anak berada di belakang kapal.
Tindakan kapten itu diikuti lima anak buahnya. ”Ada 70–80 orang yang mereka tembak. Saya tak bisa menghitungnya,” ucap Muhammad Tayyub Ali, 25.
Penderitaan semakin menjadi setelah si kapten memilih kabur bersama anak buahnya. Tersiar kabar, si kapten dan anak buahnya lari karena akan ditangkap tentara AL Thailand. Dia memilih meninggalkan para pengungsi terkatung-katung di Laut Andaman.
Dor… Dor… Kapten Kapal Menembaki Penumpang yang Protes
Hari ke-22, mesin menderu dan kapal melaju ke perairan Thailand. Dibutuhkan waktu tujuh hari tujuh malam sebelum mereka sampai di perbatasan. Kontak dengan militer Thailand terjadi, tapi kapal dilarang masuk ke perairan Negeri Gajah Putih itu. Terungkitnya kasus sindikat perdagangan manusia di Songhkla membuat pemeritah Thailand memperketat penjagaan di wilayah perairan.
Buntutnya, para imigran itu kembali terombang-ambing selama 41 hari di Laut Andaman. Selama dua bulan kurang itu, mereka amat menderita. Kapal yang sesak membuat mereka tak bisa bergerak leluasa. ”Kami tak bisa bergerak atau berdiri. Kami hanya bisa jongkok. Dari hari ke hari, minggu ke minggu, kami memandang laut dengan penuh keputusasaan.”
Beruntunglah mereka yang berada di dek kapal karena ada udara laut segar yang bisa dihirup. Lain halnya dengan mereka yang membayar murah dan ditempatkan di dalam lambung kapal. Ada tiga tingkat ruangan untuk mereka. Selisih tingkat per tingkat hanya 1,5 meter. Saat berdiri, otomatis kepala mereka akan terbentur atap kayu.
Bukan hanya itu, kondisi ruangan tersebut amat pengap. Sempit dan bau tidak keruan. Sebab, aktivitas kencing atau buang kotoran dilakukan para penumpang di sekitar mereka berdiri. Kondisi itu dialami para pengungsi Rohingya yang sudah dua bulan terkatung-katung di tengah laut.
Terlebih ketika kapal itu mendapat limpahan 558 penumpang baru dari tiga kapal kecil dari Bangladesh. Total lebih 900 penumpang dalam satu kapal yang seharusnya hanya bisa menampung 400 orang. Begitu berjejalan!
Pada hari ke-70 pukul 7 malam, kata Rafiq, mesin kapal dihidupkan kapten kapal berkebangsaan Thailand itu. ”Kalian semua akan pergi ke Malaysia,” ucap sang kapten, lalu disambut sukacita seluruh penumpang. Namun, setelah empat jam berlalu, kapal kembali berhenti. Semua orang terdiam dan saling bertanya-tanya. ”Ada apa ini? Ada apa?”
”Dor…dor…dor…” Tanpa diduga, kapten kapal mengeluarkan pistol revolver yang terselip di pinggangnya dan menembak para penumpang yang memprotesnya dan banyak omong. Hanya lelaki dewasa yang dibunuh karena perempuan dan anak-anak berada di belakang kapal.
Tindakan kapten itu diikuti lima anak buahnya. ”Ada 70–80 orang yang mereka tembak. Saya tak bisa menghitungnya,” ucap Muhammad Tayyub Ali, 25.
Penderitaan semakin menjadi setelah si kapten memilih kabur bersama anak buahnya. Tersiar kabar, si kapten dan anak buahnya lari karena akan ditangkap tentara AL Thailand. Dia memilih meninggalkan para pengungsi terkatung-katung di Laut Andaman.