25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Setahun 4.800 Warga Medan Berobat ke Luar Negeri

Sedikitnya 400 warga Kota Medan setiap bulannya memilih untuk berobat ke luar negeri. Dengan kata lain, per tahun sekitar 4800 warga Medan melakukan kunjungan ke beberapa negara di Asia untuk keperluan pengobatan dan check up.

Jumlah tersebut diungkapkan Wakil Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Medan, dr Ramlan Sp THT KL. “Dari jumlah tersebut, negara yang menjadi rujukan kunjungan perobatan terbesar didominasi oleh Malaysia dan Singapura serta beberapa negara lainnya seperti China dan India,” terangnya kepada Sumut Pos, belum lama ini.

Tingginya angka kunjungan ke luar negeri dalam rangka perobatan ini bilang Ramlan dipengaruhi beberapa faktor. Di antaranya yakni tingginya kualitas manajemen pelayanan yang diberikan hingga rendahnya cost ataupun biaya yang dikeluarkan.

Selama ini, bilang Ramlan, manajemen pelayanan di luar negeri seperti Malaysia cukup tertata dengan baik. Tidak hanya dari pelayanan medis, informasi yang diberikan cukup memberikan kepuasan. Bahkan menurut Ramlan, tingginya angka kunjungan perobatan ke Malaysia, menjadikan sumber penghasilan terbesar kedua di negara tersebut.

“Dari informasi yang kita dapat sumber penghasilan yang didapat negara Malaysia dari sektor kesehatan masuk dalam rangking kedua. Karena ini bisnis yang menjanjikan, tentu saja mereka terus menjaga untuk kepentingan industri negaranya terutama dari sektor kesehatan ini,”ungkapnya.

Hanya saja hal itu menurut Ramlan belum bisa diterapkan di Indonesia khususnya Kota Medan. Kepercayaan masyarakat atas pelayanan rumah sakit di Kota Medan menurutnya belum bisa terbangun. Padahal bilang Amran, masyarakat Medan tidak betul-betul paham dengan penyakitnya hingga harus berobat ke luar negeri.

“Ada beberapa kasus yang kita temukan bahwa penanganan medis yang dilakukan di luar negeri seperti Malaysia, masih dibawah standar keilmuan dibandingkan dengan penanganan medis di Indonesia. Sehingga terkadang masyarakat kita sering menjadi korban dari tindakan-tindakan bisnis semata,”ucapnya.

Untuk itu Amran mengimbau kepada masyarakat agar memahami penyakitnya terlebih dahulu sebelum berobat ke luar negeri. “Kalau bisa dengan penanganan medis secara sederhana kenapa harus ditangani dengan penanganan medis yang berlebih,”tuturnya di akhir.

Pengamat kesehatan Destanul Aulia, SKM, MBA, MEc dosen FKM USU yang tengah mengambil S3 dengan penelitian medical tourism atau pariwisata medis, sekaligus salah seorang pengurus Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) Sumut menilai, jika undang-undang rumah sakit di Indonesia terkesan kaku.

Sehingga rumah sakit sulit untuk melakukan promosi, dan wajar jika banyak warga Medan berobat ke luar negeri namun rumah sakit lokal tak mampu menarik warga luar untuk berobat ke Medan. “Dulunya rumah sakit kita merupakan rumah sakit social heritage, namun undang-undangnya kini berubah, sehingga kita sulit untuk mengembangkan menjadi bisnis. Jika kita bisa melakukan perubahan untuk memperbaiki, tidak menutup kemungkinan kunjungan berobat ke luar negeri akan terus bertambah,” ucapnya.

Selain itu Destanul juga menilai kekuatan promosi rumah sakit di Medan khususnya, tidak didukung dengan fasilitas dan pelayanan yang disesuaikan dengan standar Internasional. “Jadi untuk menuju pada tingkatan menarik minat warga asing berobat ke Indonesia mungkin saja dilakukan jika standar pelayanan kita sudah berstandar internasional. Namun butuh waktu yang cukup panjang untuk menuju ke arah pelayanan berstandar internasional, karena saat ini untuk membatasi warga lokal berobat ke luar negeri saja kita belum mampu,” ucapnya.

Faktor penghambat lainnya bilang Destanul, yakni masih lemahnya orang Indonesia untuk berinvestasi di bidang teknologi karena biaya yang cukup tinggi sehingga banyak yang fokus menjadikan rumah sakit sebagai hotel. Mengingat, pelayanan medis di sebuah rumah sakit bisa menghabiskan waktu berhari-hari dan ini bertolak belakang dengan Malaysia yang bisa mengeksekusi kesembuhan dalam rentan waktu dua hingga tiga hari lamanya.

“Jika mengalami penyakit akut dan susah disembuhkan rumah sakit di Malaysia cenderung memberikan potongan harga dan hal ini terus disosialisasikan ke negara lainnya. Kalau kita tidak bisa bersaing dari sisi internasional paling kita bisa mengedepankan pengobatan tradisional seperti alternatif ataupun dukun,”sebutnya.

Sementara, pengamat kesehatan lainnya DR dr Umar Zein DTM&H SpPd KPTI menilai, jika industri rumah sakit di Indonesia khususnya Medan belum mampu menyaingi negara luar seperti Malaysia dan Singapura.

Fakta yang ada, Malaysia dan Singapura memiliki kelebihan baik dari sistem pelayanan maupun biaya yang dikeluarkan. Untuk sisi pelayanan bilang Umar, Malaysia dan Singapura lebih komprehensif karena menyediakan tim ahli dan dokter untuk penanganan medisnya.

Selain itu, sambungnya, kedua negara tersebut juga memiliki peralatan sesuai perkembangan teknologi kedokteran, di balik biaya yang relatif cukup murah. “Pasien akan merasa puas dan nyaman untuk dilayani. Bahkan mereka (negara luar) juga memberikan pelayanan nonmedis seperti informasi lengkap serta penyediaan fasilitas dan ruang yang nyaman bagi keluarga yang menunggu. Sehingga konsumen lebih diperhatikan karena secara bisnis memberikan pelayanan menjadi prinsip utama bagi mereka,” terangnya.  (uma)

Sedikitnya 400 warga Kota Medan setiap bulannya memilih untuk berobat ke luar negeri. Dengan kata lain, per tahun sekitar 4800 warga Medan melakukan kunjungan ke beberapa negara di Asia untuk keperluan pengobatan dan check up.

Jumlah tersebut diungkapkan Wakil Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Medan, dr Ramlan Sp THT KL. “Dari jumlah tersebut, negara yang menjadi rujukan kunjungan perobatan terbesar didominasi oleh Malaysia dan Singapura serta beberapa negara lainnya seperti China dan India,” terangnya kepada Sumut Pos, belum lama ini.

Tingginya angka kunjungan ke luar negeri dalam rangka perobatan ini bilang Ramlan dipengaruhi beberapa faktor. Di antaranya yakni tingginya kualitas manajemen pelayanan yang diberikan hingga rendahnya cost ataupun biaya yang dikeluarkan.

Selama ini, bilang Ramlan, manajemen pelayanan di luar negeri seperti Malaysia cukup tertata dengan baik. Tidak hanya dari pelayanan medis, informasi yang diberikan cukup memberikan kepuasan. Bahkan menurut Ramlan, tingginya angka kunjungan perobatan ke Malaysia, menjadikan sumber penghasilan terbesar kedua di negara tersebut.

“Dari informasi yang kita dapat sumber penghasilan yang didapat negara Malaysia dari sektor kesehatan masuk dalam rangking kedua. Karena ini bisnis yang menjanjikan, tentu saja mereka terus menjaga untuk kepentingan industri negaranya terutama dari sektor kesehatan ini,”ungkapnya.

Hanya saja hal itu menurut Ramlan belum bisa diterapkan di Indonesia khususnya Kota Medan. Kepercayaan masyarakat atas pelayanan rumah sakit di Kota Medan menurutnya belum bisa terbangun. Padahal bilang Amran, masyarakat Medan tidak betul-betul paham dengan penyakitnya hingga harus berobat ke luar negeri.

“Ada beberapa kasus yang kita temukan bahwa penanganan medis yang dilakukan di luar negeri seperti Malaysia, masih dibawah standar keilmuan dibandingkan dengan penanganan medis di Indonesia. Sehingga terkadang masyarakat kita sering menjadi korban dari tindakan-tindakan bisnis semata,”ucapnya.

Untuk itu Amran mengimbau kepada masyarakat agar memahami penyakitnya terlebih dahulu sebelum berobat ke luar negeri. “Kalau bisa dengan penanganan medis secara sederhana kenapa harus ditangani dengan penanganan medis yang berlebih,”tuturnya di akhir.

Pengamat kesehatan Destanul Aulia, SKM, MBA, MEc dosen FKM USU yang tengah mengambil S3 dengan penelitian medical tourism atau pariwisata medis, sekaligus salah seorang pengurus Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) Sumut menilai, jika undang-undang rumah sakit di Indonesia terkesan kaku.

Sehingga rumah sakit sulit untuk melakukan promosi, dan wajar jika banyak warga Medan berobat ke luar negeri namun rumah sakit lokal tak mampu menarik warga luar untuk berobat ke Medan. “Dulunya rumah sakit kita merupakan rumah sakit social heritage, namun undang-undangnya kini berubah, sehingga kita sulit untuk mengembangkan menjadi bisnis. Jika kita bisa melakukan perubahan untuk memperbaiki, tidak menutup kemungkinan kunjungan berobat ke luar negeri akan terus bertambah,” ucapnya.

Selain itu Destanul juga menilai kekuatan promosi rumah sakit di Medan khususnya, tidak didukung dengan fasilitas dan pelayanan yang disesuaikan dengan standar Internasional. “Jadi untuk menuju pada tingkatan menarik minat warga asing berobat ke Indonesia mungkin saja dilakukan jika standar pelayanan kita sudah berstandar internasional. Namun butuh waktu yang cukup panjang untuk menuju ke arah pelayanan berstandar internasional, karena saat ini untuk membatasi warga lokal berobat ke luar negeri saja kita belum mampu,” ucapnya.

Faktor penghambat lainnya bilang Destanul, yakni masih lemahnya orang Indonesia untuk berinvestasi di bidang teknologi karena biaya yang cukup tinggi sehingga banyak yang fokus menjadikan rumah sakit sebagai hotel. Mengingat, pelayanan medis di sebuah rumah sakit bisa menghabiskan waktu berhari-hari dan ini bertolak belakang dengan Malaysia yang bisa mengeksekusi kesembuhan dalam rentan waktu dua hingga tiga hari lamanya.

“Jika mengalami penyakit akut dan susah disembuhkan rumah sakit di Malaysia cenderung memberikan potongan harga dan hal ini terus disosialisasikan ke negara lainnya. Kalau kita tidak bisa bersaing dari sisi internasional paling kita bisa mengedepankan pengobatan tradisional seperti alternatif ataupun dukun,”sebutnya.

Sementara, pengamat kesehatan lainnya DR dr Umar Zein DTM&H SpPd KPTI menilai, jika industri rumah sakit di Indonesia khususnya Medan belum mampu menyaingi negara luar seperti Malaysia dan Singapura.

Fakta yang ada, Malaysia dan Singapura memiliki kelebihan baik dari sistem pelayanan maupun biaya yang dikeluarkan. Untuk sisi pelayanan bilang Umar, Malaysia dan Singapura lebih komprehensif karena menyediakan tim ahli dan dokter untuk penanganan medisnya.

Selain itu, sambungnya, kedua negara tersebut juga memiliki peralatan sesuai perkembangan teknologi kedokteran, di balik biaya yang relatif cukup murah. “Pasien akan merasa puas dan nyaman untuk dilayani. Bahkan mereka (negara luar) juga memberikan pelayanan nonmedis seperti informasi lengkap serta penyediaan fasilitas dan ruang yang nyaman bagi keluarga yang menunggu. Sehingga konsumen lebih diperhatikan karena secara bisnis memberikan pelayanan menjadi prinsip utama bagi mereka,” terangnya.  (uma)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/