31 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

ABG Dijual Seharga Rp700 Ribu

Penjual Anak di Bawah Umur Dibekuk

TERSANGKA: Wanita berinisial LW diduga sebagai pelaku penjual ABG saat diperiksa.//ari sisworo/sumut pos
TERSANGKA: Wanita berinisial LW diduga sebagai pelaku penjual ABG saat diperiksa.//ari sisworo/sumut pos

MEDAN-Satuan Petugas (Satgas) People Smuggling Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Pol dasu) mengamankan seorang wanita berinisial LW, warga Jalan Karya II Helvetia Medan. Dia diduga sebagai pelaku perdagangan manusia. Dia ditangkap petugas dari salah satu hotel di Kota Medan, Senin (23/7) malam.

Kasubdit Satgas People Smuggling Polda Sumut, AKBP Juliana Situmorang saat ditemui Selasa (24/7) siang mengatakan, pelaku tertangkap tangan saat melakukan transaksi penjualan wanita kepada petugas.

“Tersangka yaitu LW (Lindasari Wahyuni) alias Sari (24) warga Jalan Karya II Helvetia Medan.  Sementara korbannya berinisial CAS (19) masih sekolah kelas II di salah satu SMA Swasta di Medan,” ujarnya.
Juliana mengatakan, rencananya pelaku akan menjual korbannya dengan harga Rp700 ribu. Dari hasil penjualan tersebut, tersangka mendapat keuntungan Rp150 ribu.

“Tersangka yang kami amankan juga pernah menjual perempuan bernama RA dan AG kepada laki-laki hidung belang. Harga yang ditawarkan pelaku di bawah Rp1 juta,” sebut Juliana. Saat ini tersangka sudah diamankan di markas Polda Sumutn
bersama barang bukti berupa uang Rp700 ribu dan satu unit handphone.

Tersangka terancam dikenakan Pasal 2 dan Pasal 10 UU Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, dengan ancaman hukuman di atas 10 tahun penjara.

CAS yang berparas cantik dan saat itu mengenakan kaos hitam dan celana jeans hitam mengakui jika profesinya sebagai wanita panggilan.
“Saya sudah kenal dengan Sari kurang lebih dua bulan. Saya ditelpon Sari untuk datang ke hotel. Katanya, ada tamu. Kami tidak mempersoalkan masalah ini. Karena sudah sama-sama tahu,” akunya.

Namun, Sari membantah pengakuan CAS tersebut. Perempuan yang mengenakan baju putih dan blazer kuning serta celana jeans warna biru dongker itu mengatakan dirinya tidak ada menelepon korban untuk menemani tamu di hotel.
“Tidak ada saya telpon dia (CAS, Red),” aku Sari sambil sesekali memalingkan wajahnya.

Kekerasan Terhadap Anak Terus Meningkat
Kekerasan seksual yang dialami anak  di Sumatera Utara untuk tahun 2012 masih tinggi. Dari data yang tercatat di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Sumut, sejak Januari hingga Juli 2012 KPAID menerima 36 kasus pengaduan kekerasan seksual atau sebesar 29 persen dari 110 pengaduan yang diterima.

Angka pengaduan  tersebut merupakan laporan tertinggi dari 20 jenis kasus yang diterima oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
“Kita sangat prihatin dengan masih tingginya angka kekerasan seksual yang dialami oleh anak.  Apalagi bersamaan dengan peringatan Hari Anak nasional (HAN) yang jatuh setiap tanggal 23 Juli. Bukannya semakin berkurang namun kekerasan seksual yang dialami anak justru terus meningkat,” ujar Ketua KPAID Sumut, Zahrin Piliang, saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa  (24/7).

Bahkan, bilang Zahrin, persentase angka kekerasan sexual  yang dialami anak di Sumatera Utara untuk tahun 2012, lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya, yakni sebanyak  46 kasus atau sebesar 28.22 persen ,dari 163 pengaduan yang telah diterima KPAID.
“ Ini masih pertengahan Juli, dan kemungkinan pada akhir tahun pengaduan terhadap kekerasan seksual yang dialami anak bisa saja bertambah. Angka ini juga belum mewakili keseluruhannya, mengingat masih banyak orangtua yang enggan mengadukan kekerasan seksual yang dialami anaknya karena masih menganggap tabu dan merasa malu,”ungkapnya.

Melihat kondisi tersebut, Zahrin menilai ada tiga faktor yang menyebabkan mengapa anak sering mengalami kekerasan seksual. Di antaranya yakni, lemahnya pengawasan keluarga dalam memberikan perlindungan terhadap perkembangan anak.

Selain itu, kekerasan seksual yang dialami anak juga dipengaruhi akan lemahnya pengawasan sosial dari lingkungan tempat anak bersosialisasi. “Contohnya saja kalau dulu jika melihat ada anak yang terlau jauh bermainnya dan ada terkesan menyimpang atas perbuatan yang dilakukan, para orang tua dulu  tidak segan untuk menegurnya. Namun saat ini hal itu sudah tidak lagi dan cenderung lebih bersikap acuh,”ucapnya.

Zahrin juga menganggap, lemahnya pengawasan pemerintah terhadap perkembangan teknologi turut mendukung faktor peningkatan atas tindakan kekerasan seksual yang dialami anak. “Fenemona yang ada saat ini masyarakat urban sudah bersinggungan dengan masyarakat perkotaan  satu contoh yakni warnet. Kini warnet sudah tidak terlalu sulit untuk ditemui hingga pelosok-pelosok desa.

Dengan menjamurnya  perkembangan warnet  yang mencakup pendalaman tanpa ada pengawasan ketat dari pemerintah dan instansi lainnya, secara otomatis memudahkan masyarakat untuk mengakses situs porno sehingga memicu perbutan asusila dan bentuk kekerasan seksual,” terangnya.

Bahkan, sambung Zahrin, keprihatinan atas kondisi tersebut tidak didukung oleh tindakan tegas dari aparatur penegak hukum. Menurutnya, banyak kasus yang ditemui KPAID di lapangan, dimana aparat penegak hukum tidak memberikan tindakan tegas terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak.  Satu contoh kasus yakni petugas kepolisian melepaskan seorang pelaku kekerasan sexual dengan alasan hasil visum tidak menemukan jika ada kerusakan pada alat vital korban meskipun pelcehan seksual memang dilakukannya.

Selain itu banyak kasus yang tidak tuntas P21 nya atau bolak-balik antara kejaksaan dan kepolisian sehingga pelaku bebas berkeliaran. “Seharusnya aparatur penegak hukum lebih tegas dalam menindak pelaku kekerasan sexual  untuk menciptakan efek jera bagi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya. Namun jika hal ini tidak bisa diciptakan otomatis praktik-praktik kekerasan sexual akan terus meningkat setuiap tahunnya,” ujar Zahrin mengakhiri. (uma/mag-12/ari)

Penjual Anak di Bawah Umur Dibekuk

TERSANGKA: Wanita berinisial LW diduga sebagai pelaku penjual ABG saat diperiksa.//ari sisworo/sumut pos
TERSANGKA: Wanita berinisial LW diduga sebagai pelaku penjual ABG saat diperiksa.//ari sisworo/sumut pos

MEDAN-Satuan Petugas (Satgas) People Smuggling Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Pol dasu) mengamankan seorang wanita berinisial LW, warga Jalan Karya II Helvetia Medan. Dia diduga sebagai pelaku perdagangan manusia. Dia ditangkap petugas dari salah satu hotel di Kota Medan, Senin (23/7) malam.

Kasubdit Satgas People Smuggling Polda Sumut, AKBP Juliana Situmorang saat ditemui Selasa (24/7) siang mengatakan, pelaku tertangkap tangan saat melakukan transaksi penjualan wanita kepada petugas.

“Tersangka yaitu LW (Lindasari Wahyuni) alias Sari (24) warga Jalan Karya II Helvetia Medan.  Sementara korbannya berinisial CAS (19) masih sekolah kelas II di salah satu SMA Swasta di Medan,” ujarnya.
Juliana mengatakan, rencananya pelaku akan menjual korbannya dengan harga Rp700 ribu. Dari hasil penjualan tersebut, tersangka mendapat keuntungan Rp150 ribu.

“Tersangka yang kami amankan juga pernah menjual perempuan bernama RA dan AG kepada laki-laki hidung belang. Harga yang ditawarkan pelaku di bawah Rp1 juta,” sebut Juliana. Saat ini tersangka sudah diamankan di markas Polda Sumutn
bersama barang bukti berupa uang Rp700 ribu dan satu unit handphone.

Tersangka terancam dikenakan Pasal 2 dan Pasal 10 UU Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, dengan ancaman hukuman di atas 10 tahun penjara.

CAS yang berparas cantik dan saat itu mengenakan kaos hitam dan celana jeans hitam mengakui jika profesinya sebagai wanita panggilan.
“Saya sudah kenal dengan Sari kurang lebih dua bulan. Saya ditelpon Sari untuk datang ke hotel. Katanya, ada tamu. Kami tidak mempersoalkan masalah ini. Karena sudah sama-sama tahu,” akunya.

Namun, Sari membantah pengakuan CAS tersebut. Perempuan yang mengenakan baju putih dan blazer kuning serta celana jeans warna biru dongker itu mengatakan dirinya tidak ada menelepon korban untuk menemani tamu di hotel.
“Tidak ada saya telpon dia (CAS, Red),” aku Sari sambil sesekali memalingkan wajahnya.

Kekerasan Terhadap Anak Terus Meningkat
Kekerasan seksual yang dialami anak  di Sumatera Utara untuk tahun 2012 masih tinggi. Dari data yang tercatat di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Sumut, sejak Januari hingga Juli 2012 KPAID menerima 36 kasus pengaduan kekerasan seksual atau sebesar 29 persen dari 110 pengaduan yang diterima.

Angka pengaduan  tersebut merupakan laporan tertinggi dari 20 jenis kasus yang diterima oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
“Kita sangat prihatin dengan masih tingginya angka kekerasan seksual yang dialami oleh anak.  Apalagi bersamaan dengan peringatan Hari Anak nasional (HAN) yang jatuh setiap tanggal 23 Juli. Bukannya semakin berkurang namun kekerasan seksual yang dialami anak justru terus meningkat,” ujar Ketua KPAID Sumut, Zahrin Piliang, saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa  (24/7).

Bahkan, bilang Zahrin, persentase angka kekerasan sexual  yang dialami anak di Sumatera Utara untuk tahun 2012, lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya, yakni sebanyak  46 kasus atau sebesar 28.22 persen ,dari 163 pengaduan yang telah diterima KPAID.
“ Ini masih pertengahan Juli, dan kemungkinan pada akhir tahun pengaduan terhadap kekerasan seksual yang dialami anak bisa saja bertambah. Angka ini juga belum mewakili keseluruhannya, mengingat masih banyak orangtua yang enggan mengadukan kekerasan seksual yang dialami anaknya karena masih menganggap tabu dan merasa malu,”ungkapnya.

Melihat kondisi tersebut, Zahrin menilai ada tiga faktor yang menyebabkan mengapa anak sering mengalami kekerasan seksual. Di antaranya yakni, lemahnya pengawasan keluarga dalam memberikan perlindungan terhadap perkembangan anak.

Selain itu, kekerasan seksual yang dialami anak juga dipengaruhi akan lemahnya pengawasan sosial dari lingkungan tempat anak bersosialisasi. “Contohnya saja kalau dulu jika melihat ada anak yang terlau jauh bermainnya dan ada terkesan menyimpang atas perbuatan yang dilakukan, para orang tua dulu  tidak segan untuk menegurnya. Namun saat ini hal itu sudah tidak lagi dan cenderung lebih bersikap acuh,”ucapnya.

Zahrin juga menganggap, lemahnya pengawasan pemerintah terhadap perkembangan teknologi turut mendukung faktor peningkatan atas tindakan kekerasan seksual yang dialami anak. “Fenemona yang ada saat ini masyarakat urban sudah bersinggungan dengan masyarakat perkotaan  satu contoh yakni warnet. Kini warnet sudah tidak terlalu sulit untuk ditemui hingga pelosok-pelosok desa.

Dengan menjamurnya  perkembangan warnet  yang mencakup pendalaman tanpa ada pengawasan ketat dari pemerintah dan instansi lainnya, secara otomatis memudahkan masyarakat untuk mengakses situs porno sehingga memicu perbutan asusila dan bentuk kekerasan seksual,” terangnya.

Bahkan, sambung Zahrin, keprihatinan atas kondisi tersebut tidak didukung oleh tindakan tegas dari aparatur penegak hukum. Menurutnya, banyak kasus yang ditemui KPAID di lapangan, dimana aparat penegak hukum tidak memberikan tindakan tegas terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak.  Satu contoh kasus yakni petugas kepolisian melepaskan seorang pelaku kekerasan sexual dengan alasan hasil visum tidak menemukan jika ada kerusakan pada alat vital korban meskipun pelcehan seksual memang dilakukannya.

Selain itu banyak kasus yang tidak tuntas P21 nya atau bolak-balik antara kejaksaan dan kepolisian sehingga pelaku bebas berkeliaran. “Seharusnya aparatur penegak hukum lebih tegas dalam menindak pelaku kekerasan sexual  untuk menciptakan efek jera bagi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya. Namun jika hal ini tidak bisa diciptakan otomatis praktik-praktik kekerasan sexual akan terus meningkat setuiap tahunnya,” ujar Zahrin mengakhiri. (uma/mag-12/ari)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/