26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Dulu Enak, Masuk Organisasi Buruh Malah Pahit

Foto: Indra/PM Ratusan buruh bertahan di depan PT Hockinda, menuntut agar dipekerjakan kembali.
Foto: Indra/PM
Ratusan buruh bertahan di depan PT Hockinda, menuntut agar dipekerjakan kembali.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sebanyak 669 buruh korban PHK bertahan di depan PT. Hockinda Citra Lestari di Jl. Binjai KM 12,5 Kab Deliserdang, Rabu (24/9). Para buruh itu terlihat berteduh di bawah tenda yang terbuat dari terpal.

Salah seorang buruh bernama Hetli Situmorang mengaku, hidupnya tergantung pada pabrik yang memproduksi kompor hock minyak tanah itu. Pasalnya, ia dan suaminya merupakan karyawan di pabrik itu.

“Saya kerja di sini mulai tahun 2000. Saat itu gaji saya Rp16 ribu per harinya,” ucapnya memulai pembicaraan. Selain gaji setiap minggu, pihak perusahaan kerap memberikan perhatian kepada para buruh. “Dulu, selain gaji kami Rp16 ribu perharinya. Kami masih ada menerima uang masuk lagi. Mulai dari uang sabun, uang beras dan lain sebagainya. Pokoknya saat itu enak kerja di sini,” ungkapnya.

Namun hal tersebut hanya dirasakannya hingga tahun 2005 saja. Sejak tahun 2005, sebuah organisasi buruh bernama Skoci yang diketuai Heri, terbentuk di dalam pabrik.

Awalnya, buruh menilai mereka akan mendapatkan perlindungan dari Skoci jika mendapat penindasan. Namun saat buruh mengadu, Skoci malah menakut-nakuti mereka. “Kalau kami menanya mengenai kekurangan gaji kami, kami diancam akan dikeluarkan,” kenangnya kala itu.

Parahnya lagi, gaji para buruh kerap mendapat potongan hingga Rp90 ribu tiap bulannya. “Tidak tahu kami untuk apa uangnya itu. Kalau sekarang potongannya sampai Rp30 ribu sampai 90 ribu perbulan,” ungkapnya.

Bahkan tahun 2007 mereka pun tidak pernah mendapatkan slip gaji. “Hanya nanda tangani aja kami setiap gajian tanggal 5. Slip gajinya gak pernah kami terima sejak tahun 2007 sampai sekarang,” ungkapnya.

Teman Hetli yang di sampingnya mengatakan, PHK terhadap 669 buruh diduga akibat aksi mereka Juni 2014 lalu. Saat itu, buruh berdemo menuntut kenaikan gaji dari hanya Rp1,505 juta per bulan. “Usai demo, gaji kami naik menjadi Rp1,8 juta,” ungkap perempuan bernama Yanti tersebut.

Namun gaji itu mereka rasakan sekali saja. Setelahnya, mereka di-PHK. “Sial kali kami bang. Hanya sekali aja kami nerima gaji itu setelah naik. Sejak itu kami diberhentikan bang,” ungkapnya.

Karena itulah, mereka bertahan di depan pabrik tersebut hingga tuntutan mereka pun dipenuhi. Karena sampai saat ini mereka mengaku tidak mengetahui apa penyebab mereka dipecat.

“Banyak produksinya ini bang. Ada 8 macam yang diproduksi di sini. Bukan cuma kompor minyak aja. Di sini itu ada produksi open biasa, open listrik, open untuk home industri, pentilator sirkulasi air, tangki air, dan stenlis tempat cuci piring. Makanya kami heran kenapa kami diberhentikan,” katanya.

Meski telah di-PHK, tapi para buruh mengaku selalu masuk seperti hari kerja yakni pukul 07.00 WIB. “Berangkat dari rumah kayak kami masih kerja bang. Siap itu, kami di sini. Makan di sini dan masak di sini. Kami pun sudah menganggap tenda ini seperti rumah kami bang,” ucapnya.

Saat disinggung bagaimana mereka menanggulangi biaya anak-anak mereka yang masih butuh pendidikan, Yanti mengaku tidak tahu. “Tidak tahulah bang. Suami saya pun diberhentikan,” pungkasnya yang diamini para buruh lainnya. (ind/man/deo)

Foto: Indra/PM Ratusan buruh bertahan di depan PT Hockinda, menuntut agar dipekerjakan kembali.
Foto: Indra/PM
Ratusan buruh bertahan di depan PT Hockinda, menuntut agar dipekerjakan kembali.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sebanyak 669 buruh korban PHK bertahan di depan PT. Hockinda Citra Lestari di Jl. Binjai KM 12,5 Kab Deliserdang, Rabu (24/9). Para buruh itu terlihat berteduh di bawah tenda yang terbuat dari terpal.

Salah seorang buruh bernama Hetli Situmorang mengaku, hidupnya tergantung pada pabrik yang memproduksi kompor hock minyak tanah itu. Pasalnya, ia dan suaminya merupakan karyawan di pabrik itu.

“Saya kerja di sini mulai tahun 2000. Saat itu gaji saya Rp16 ribu per harinya,” ucapnya memulai pembicaraan. Selain gaji setiap minggu, pihak perusahaan kerap memberikan perhatian kepada para buruh. “Dulu, selain gaji kami Rp16 ribu perharinya. Kami masih ada menerima uang masuk lagi. Mulai dari uang sabun, uang beras dan lain sebagainya. Pokoknya saat itu enak kerja di sini,” ungkapnya.

Namun hal tersebut hanya dirasakannya hingga tahun 2005 saja. Sejak tahun 2005, sebuah organisasi buruh bernama Skoci yang diketuai Heri, terbentuk di dalam pabrik.

Awalnya, buruh menilai mereka akan mendapatkan perlindungan dari Skoci jika mendapat penindasan. Namun saat buruh mengadu, Skoci malah menakut-nakuti mereka. “Kalau kami menanya mengenai kekurangan gaji kami, kami diancam akan dikeluarkan,” kenangnya kala itu.

Parahnya lagi, gaji para buruh kerap mendapat potongan hingga Rp90 ribu tiap bulannya. “Tidak tahu kami untuk apa uangnya itu. Kalau sekarang potongannya sampai Rp30 ribu sampai 90 ribu perbulan,” ungkapnya.

Bahkan tahun 2007 mereka pun tidak pernah mendapatkan slip gaji. “Hanya nanda tangani aja kami setiap gajian tanggal 5. Slip gajinya gak pernah kami terima sejak tahun 2007 sampai sekarang,” ungkapnya.

Teman Hetli yang di sampingnya mengatakan, PHK terhadap 669 buruh diduga akibat aksi mereka Juni 2014 lalu. Saat itu, buruh berdemo menuntut kenaikan gaji dari hanya Rp1,505 juta per bulan. “Usai demo, gaji kami naik menjadi Rp1,8 juta,” ungkap perempuan bernama Yanti tersebut.

Namun gaji itu mereka rasakan sekali saja. Setelahnya, mereka di-PHK. “Sial kali kami bang. Hanya sekali aja kami nerima gaji itu setelah naik. Sejak itu kami diberhentikan bang,” ungkapnya.

Karena itulah, mereka bertahan di depan pabrik tersebut hingga tuntutan mereka pun dipenuhi. Karena sampai saat ini mereka mengaku tidak mengetahui apa penyebab mereka dipecat.

“Banyak produksinya ini bang. Ada 8 macam yang diproduksi di sini. Bukan cuma kompor minyak aja. Di sini itu ada produksi open biasa, open listrik, open untuk home industri, pentilator sirkulasi air, tangki air, dan stenlis tempat cuci piring. Makanya kami heran kenapa kami diberhentikan,” katanya.

Meski telah di-PHK, tapi para buruh mengaku selalu masuk seperti hari kerja yakni pukul 07.00 WIB. “Berangkat dari rumah kayak kami masih kerja bang. Siap itu, kami di sini. Makan di sini dan masak di sini. Kami pun sudah menganggap tenda ini seperti rumah kami bang,” ucapnya.

Saat disinggung bagaimana mereka menanggulangi biaya anak-anak mereka yang masih butuh pendidikan, Yanti mengaku tidak tahu. “Tidak tahulah bang. Suami saya pun diberhentikan,” pungkasnya yang diamini para buruh lainnya. (ind/man/deo)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/