29 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Korupsi di Dinas PU Deliserdang Rp112 miliar, Amri Tambunan Diduga Terlibat

MEDAN- Bupati Deliserdang Amri Tambunan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dinilai bertanggung jawab atas dugaan penyimpangan dana anggaran proyek pemeliharaan dan pembangunan jalan dan jembatan di Dinas PU Deliserdang APBD Tahun Anggaran (TA) 2010 sebesar Rp112 miliar. Sebab jika dilihat secara administrasi dan hukum kenegaraan, tanggung jawab penuh anggaran dipangku bupati sebagai aktor utama dalam pengendalian dana tersebut.

DIDUGA: Bupati Deliserdang, Amri Tambunan,  dianggap bertanggung jawab oleh beberapa pihak terkait kasus korupsi  ada  Dinas PU Deliserdang.//redyanto/Sumut Pos
DIDUGA: Bupati Deliserdang, Amri Tambunan, dianggap bertanggung jawab oleh beberapa pihak terkait kasus korupsi yang ada di Dinas PU Deliserdang.//redyanto/Sumut Pos

Penggiat Hukum Kenegaraan pada Laboratorium Hukum dan Konstitusi USU Medan, Joko Riskiyono mengungkapkan bupati sebagai Kuasa Pengguna Anggaran tentunya mengetahui pertanggungjawaban fungsional dan struktural dari Sekda, Kadis, dan runtutan pemerintah ke bawah lainnya.
“Kalau dia Kadis tentu akan mempertanggungjawabkan pada Sekda secara struktural lalu secara teknis menyampaikan laporan pada bupati,” jelas Joko Riskiyono, Senin (25/3).

Tambah Joko bahwa semua anggaran yang keluar harus disetujui bupati. Semua anggaran yang berjalan atas sepengetahuan bupati. Maka dari itu bupati bertanggung jawab selaku Kepala Daerah. “Pada kasus dugaan korupsi PU DS jelas sekali Bupati harus bertanggung jawab karena kuasa pengguna anggaran dalam proyek tersebut,” katanya.

Kasipenkum Kejati Sumut sebelumnya, Marcos Simaremare mengatakan Amri Tambunan tidak terlibat dalam dugaan korupsi ini sesuai dengan tidak adanya keterangan saksi yang menyatakan keterlibatan bupati. Pernyataan ini dibantah Joko yang mengatakan bahwa anggaran tersebut yang perlu diproses dan disidik hingga terjadi kerugian negara.

“Secara teknis ya memang bupati ‘gak mungkin mengetahui semua pengerjaan proyek dan swakelola itu, namun dalam Kuasa Pengguna Anggaran tentunya bupati mengetahui bentuk dan aliran dana tersebut, ini kan tindakan berantai,” ketusnya.

Menurut Joko hal tersebut tercantum dalam UU Tipikor juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. “Kalau dirujuk pada UU Tipikor juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana, bupati bisa diminta pertanggungjawaban sesuai pasal tersebut yakni turut serta dan bersama-sama,” katanya.

Hal senada juga disampaikan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, Surya Adinata. Namun, Surya lebih mengkritik pola penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Kejatisu yang harus lebih proaktif dalam menuntaskan kasus ini. Surya menilai Kejatisu seharusnya memeriksa dan tidak tebang pilih dalam mengusut dugaan kerugian negara ini.”Hal ini dilakukan untuk menghindari opini negatif masyarakat pada penegak hukum ini,” pintanya.
Surya menambahkan, dugaan korupsi yang begitu besar tidaklah mungkin seorang bupati tidak mengetahui hal tersebut walaupun secara teknis semua kegiatan di Dinas PU dikerjakan oleh bawahannya, tentunya monitoring ada pada bupati.

“Dilihat dari anggaran yang begitu besar, tidak mungkin bupati tak mengetahui semua aliran dana tersebut. Bupati sebagai kepala daerah harus memonitoring semua dana yang dikucurkan,” katanya.

LBH juga meminta pada Kejatisu untuk melakukan penyidikan lebih besar lagi karena dugaan keuangan negara yang dirugikan juga cukup besar. “Pengelolaan dana itu cukup besar, maka dari itu Kejatisu harus lebih tegas lagi melakukan penyidikan yang lebih besar. Jangan tebang pilih yang dikhawatirkan opini negatif Kejatisu mengambil kesempatan dalam kasus tersebut,” katanya.

Sebagaimana diketahui, dalam dugaan korupsi ini, tiga orang telah menjadi terdakwa di kursi pesakitan Pengadilan Tipikor Medan. Dua diantara mendapat hak istimewa dengan pengalihan tahan rumah dari majelis hakim, yakni terdakwa Faisal Kadis PU Deliserdang dan Elvian Bendahara Pengeluaran Dinas PU Deliserdang. Sementara Agus Sumantri, Bendahara Umum Daerah (BUD) Pemkab Deliserdang masih dalam pengajuan hak keistimewaan tersebut pada majelis hakim.

Dalam berkas terpisah ketiga terdakwa dijerat pasal berlapis. Dalam dakwaan Agus Sumantri didakwa merugikan negara sebesar Rp84,19 miliar dari APBD Tahun Anggaran (TA) 2010 sebesar Rp112 miliar. Terdakwa Faisal dan Elvian diduga merugikan sebesar Rp80 miliar dugaan korupsi pengerjaan proyek swakelola tahun 2008-2010 dari Rp105 miliar anggaran yang dikucurkan.

Modusnya dalam dakwaan JPU menyatakan terdakwa Agus Sumantri melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan Faisal Kadis PU Deliserdang dan Elvian Bendahara Pengeluaran Dinas PU Deliserdang.

Terdakwa Agus Sumantri selaku Bendahara Umum Daerah (BUD) Pemkab Deliserdang menyetujui dan menandatangani SP2D (Surat Perintah Pencairan Dana). Dimana SP2D tersebut diterbitkan berdasarkan SPP (Surat Perintah Pembayaran) yang diajukan Elvian kepada terdakwa Agus Sumantri. Namun SP2D tersebut tanpa didukung dokumen-dokumen pembayaran yang sah.

Kemudian, atas persetujuan terdakwa, dana tersebut beralih ke rekening Dinas PU Deliserdang untuk pembayaran proyek-proyek yang telah selesai dikerjakan Tahun Anggaran 2008 dan 2009 senilai Rp83,93 miliar yang menyimpang dari peruntukan semula. Selain itu, berdasarkan print out rekening koran Dinas PU Deliserdang ditemukan transaksi atas nama Elvian Rp1,36 miliar yang tidak jelas dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga total kerugian negara mencapai Rp84,19 miliar.

Kemudian, Faisal selaku Kadis PU atas inisiatif sendiri mengalihkan kegiatan- kegiatan yang terdaftar dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Dinas PU Deliserdang dari kegiatan bersifat tender (lelang) menjadi kegiatan swakelola. Itu dilakukan terdakwa Faisal dengan alasan untuk menerapkan pola partisipatif, efisiensi waktu dan dana, serta menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pengelola anggaran, hutang dan piutang di Dinas PU Deliserdang.
Padahal, menurut jaksa, terdakwa mengetahui untuk mengalihkan kegiatan bersifat tender menjadi swakelola harus melalui perencanaan yang dituangkan dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK) dan kemudian diajukan ke badan legislatif (DPRD) untuk dibahas dan mendapat persetujuan. Selain itu, terdakwa Faisal juga menggunakan anggaran tahun 2010 tersebut untuk membayar kegiatan-kegiatan pada tahun anggaran sebelumnya, yakni 2007,2008, 2009 dan 2010. Terdakwa juga menunjuk perusahaan-perusahaan yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), sehingga mengurangi pendapatan negara dari pajak.

Sementara terdakwa Elvian selaku Bendahara Pengeluaran Dinas PU Deliserdang, memproses pencairan anggaran Dinas PU Deliserdang yang diperuntukkan membayar kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan pada tahun anggaran sebelumnya, dan kegiatan swakelola tersebut tanpa disertai alat bukti yang sah dan lengkap. Dengan beralihnya kegiatan tender menjadi swakelola, proses keluarnya dana APBD menjadi ganti uang yang diproses terdakwa Elvian dan menjadi dasar bagi Agus Sumantri untuk menerbitkan SP2D.

Jaksa menyatakan, terdakwa Agus Sumantri dijerat dengan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 8, Pasal 18 ayat (3), Pasal 9 UU Tipikor Nomor 31 Tahun 1999 jo sebagaimana yang telah diubah menjadi UU Tipikor Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana. (far)

MEDAN- Bupati Deliserdang Amri Tambunan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dinilai bertanggung jawab atas dugaan penyimpangan dana anggaran proyek pemeliharaan dan pembangunan jalan dan jembatan di Dinas PU Deliserdang APBD Tahun Anggaran (TA) 2010 sebesar Rp112 miliar. Sebab jika dilihat secara administrasi dan hukum kenegaraan, tanggung jawab penuh anggaran dipangku bupati sebagai aktor utama dalam pengendalian dana tersebut.

DIDUGA: Bupati Deliserdang, Amri Tambunan,  dianggap bertanggung jawab oleh beberapa pihak terkait kasus korupsi  ada  Dinas PU Deliserdang.//redyanto/Sumut Pos
DIDUGA: Bupati Deliserdang, Amri Tambunan, dianggap bertanggung jawab oleh beberapa pihak terkait kasus korupsi yang ada di Dinas PU Deliserdang.//redyanto/Sumut Pos

Penggiat Hukum Kenegaraan pada Laboratorium Hukum dan Konstitusi USU Medan, Joko Riskiyono mengungkapkan bupati sebagai Kuasa Pengguna Anggaran tentunya mengetahui pertanggungjawaban fungsional dan struktural dari Sekda, Kadis, dan runtutan pemerintah ke bawah lainnya.
“Kalau dia Kadis tentu akan mempertanggungjawabkan pada Sekda secara struktural lalu secara teknis menyampaikan laporan pada bupati,” jelas Joko Riskiyono, Senin (25/3).

Tambah Joko bahwa semua anggaran yang keluar harus disetujui bupati. Semua anggaran yang berjalan atas sepengetahuan bupati. Maka dari itu bupati bertanggung jawab selaku Kepala Daerah. “Pada kasus dugaan korupsi PU DS jelas sekali Bupati harus bertanggung jawab karena kuasa pengguna anggaran dalam proyek tersebut,” katanya.

Kasipenkum Kejati Sumut sebelumnya, Marcos Simaremare mengatakan Amri Tambunan tidak terlibat dalam dugaan korupsi ini sesuai dengan tidak adanya keterangan saksi yang menyatakan keterlibatan bupati. Pernyataan ini dibantah Joko yang mengatakan bahwa anggaran tersebut yang perlu diproses dan disidik hingga terjadi kerugian negara.

“Secara teknis ya memang bupati ‘gak mungkin mengetahui semua pengerjaan proyek dan swakelola itu, namun dalam Kuasa Pengguna Anggaran tentunya bupati mengetahui bentuk dan aliran dana tersebut, ini kan tindakan berantai,” ketusnya.

Menurut Joko hal tersebut tercantum dalam UU Tipikor juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. “Kalau dirujuk pada UU Tipikor juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana, bupati bisa diminta pertanggungjawaban sesuai pasal tersebut yakni turut serta dan bersama-sama,” katanya.

Hal senada juga disampaikan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, Surya Adinata. Namun, Surya lebih mengkritik pola penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Kejatisu yang harus lebih proaktif dalam menuntaskan kasus ini. Surya menilai Kejatisu seharusnya memeriksa dan tidak tebang pilih dalam mengusut dugaan kerugian negara ini.”Hal ini dilakukan untuk menghindari opini negatif masyarakat pada penegak hukum ini,” pintanya.
Surya menambahkan, dugaan korupsi yang begitu besar tidaklah mungkin seorang bupati tidak mengetahui hal tersebut walaupun secara teknis semua kegiatan di Dinas PU dikerjakan oleh bawahannya, tentunya monitoring ada pada bupati.

“Dilihat dari anggaran yang begitu besar, tidak mungkin bupati tak mengetahui semua aliran dana tersebut. Bupati sebagai kepala daerah harus memonitoring semua dana yang dikucurkan,” katanya.

LBH juga meminta pada Kejatisu untuk melakukan penyidikan lebih besar lagi karena dugaan keuangan negara yang dirugikan juga cukup besar. “Pengelolaan dana itu cukup besar, maka dari itu Kejatisu harus lebih tegas lagi melakukan penyidikan yang lebih besar. Jangan tebang pilih yang dikhawatirkan opini negatif Kejatisu mengambil kesempatan dalam kasus tersebut,” katanya.

Sebagaimana diketahui, dalam dugaan korupsi ini, tiga orang telah menjadi terdakwa di kursi pesakitan Pengadilan Tipikor Medan. Dua diantara mendapat hak istimewa dengan pengalihan tahan rumah dari majelis hakim, yakni terdakwa Faisal Kadis PU Deliserdang dan Elvian Bendahara Pengeluaran Dinas PU Deliserdang. Sementara Agus Sumantri, Bendahara Umum Daerah (BUD) Pemkab Deliserdang masih dalam pengajuan hak keistimewaan tersebut pada majelis hakim.

Dalam berkas terpisah ketiga terdakwa dijerat pasal berlapis. Dalam dakwaan Agus Sumantri didakwa merugikan negara sebesar Rp84,19 miliar dari APBD Tahun Anggaran (TA) 2010 sebesar Rp112 miliar. Terdakwa Faisal dan Elvian diduga merugikan sebesar Rp80 miliar dugaan korupsi pengerjaan proyek swakelola tahun 2008-2010 dari Rp105 miliar anggaran yang dikucurkan.

Modusnya dalam dakwaan JPU menyatakan terdakwa Agus Sumantri melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan Faisal Kadis PU Deliserdang dan Elvian Bendahara Pengeluaran Dinas PU Deliserdang.

Terdakwa Agus Sumantri selaku Bendahara Umum Daerah (BUD) Pemkab Deliserdang menyetujui dan menandatangani SP2D (Surat Perintah Pencairan Dana). Dimana SP2D tersebut diterbitkan berdasarkan SPP (Surat Perintah Pembayaran) yang diajukan Elvian kepada terdakwa Agus Sumantri. Namun SP2D tersebut tanpa didukung dokumen-dokumen pembayaran yang sah.

Kemudian, atas persetujuan terdakwa, dana tersebut beralih ke rekening Dinas PU Deliserdang untuk pembayaran proyek-proyek yang telah selesai dikerjakan Tahun Anggaran 2008 dan 2009 senilai Rp83,93 miliar yang menyimpang dari peruntukan semula. Selain itu, berdasarkan print out rekening koran Dinas PU Deliserdang ditemukan transaksi atas nama Elvian Rp1,36 miliar yang tidak jelas dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga total kerugian negara mencapai Rp84,19 miliar.

Kemudian, Faisal selaku Kadis PU atas inisiatif sendiri mengalihkan kegiatan- kegiatan yang terdaftar dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Dinas PU Deliserdang dari kegiatan bersifat tender (lelang) menjadi kegiatan swakelola. Itu dilakukan terdakwa Faisal dengan alasan untuk menerapkan pola partisipatif, efisiensi waktu dan dana, serta menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pengelola anggaran, hutang dan piutang di Dinas PU Deliserdang.
Padahal, menurut jaksa, terdakwa mengetahui untuk mengalihkan kegiatan bersifat tender menjadi swakelola harus melalui perencanaan yang dituangkan dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK) dan kemudian diajukan ke badan legislatif (DPRD) untuk dibahas dan mendapat persetujuan. Selain itu, terdakwa Faisal juga menggunakan anggaran tahun 2010 tersebut untuk membayar kegiatan-kegiatan pada tahun anggaran sebelumnya, yakni 2007,2008, 2009 dan 2010. Terdakwa juga menunjuk perusahaan-perusahaan yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), sehingga mengurangi pendapatan negara dari pajak.

Sementara terdakwa Elvian selaku Bendahara Pengeluaran Dinas PU Deliserdang, memproses pencairan anggaran Dinas PU Deliserdang yang diperuntukkan membayar kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan pada tahun anggaran sebelumnya, dan kegiatan swakelola tersebut tanpa disertai alat bukti yang sah dan lengkap. Dengan beralihnya kegiatan tender menjadi swakelola, proses keluarnya dana APBD menjadi ganti uang yang diproses terdakwa Elvian dan menjadi dasar bagi Agus Sumantri untuk menerbitkan SP2D.

Jaksa menyatakan, terdakwa Agus Sumantri dijerat dengan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 8, Pasal 18 ayat (3), Pasal 9 UU Tipikor Nomor 31 Tahun 1999 jo sebagaimana yang telah diubah menjadi UU Tipikor Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana. (far)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/